Ahlus Sunnah wal Jamaah & Ijtihad

Sebagian kecil masyarakat ada yang mengidentikkan pengertian Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan masalah khilafiyah sekitar tahlil, talqin, qunut, bacaan ushalli dalam mengawali salat, dan lain sebagainya. Sebenarnya masalah yang terkait dengan Ahlus sunnah wal jamaah jauh lebih mendasar, bukan hanya permasalahan yang sering dipertentangkan sebagai khilafiyah tersebut. Karena itu kiranya generasi muda perlu mendapatkan pemahaman yang wajar tentang masalah ini guna menghindari pertikaian, perselisihan, dan percekcokan yang tidak diketahui permasalahan yang sebenarnya.
Indeks
1. Asal kata
2. Pengertian
3. Analisis
4. Proses perkembangan
5. Prinsip kebenaran
6. Argumentasi
7. Perilaku ahlus sunnah wal jamaah
8. Berijtihad vs bermadzhab
9. Persyaratan ijtihad
10. Reorientasi agamawi
11. Kesimpulan
Asal kata
Nabi Muhammad saw dalam salah satu haditsnya bersabda bahwa umat Islam nantinya terpecah dalam berbagai kelompok yang berbeda pendapat sebanyak 73 golongan. Dari seluruh golongan tersebut, yang selamat, tidak di neraka, hanya satu yaitu yang disebut dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah,
Ketika ditanya tentang artinya, beliau menjawab singkat:
مَا اََنَا عَلَيْهِ اْليَوْمَ وَاَصْحَابِيْ
Segala yang aku berada di atasnya sekarang bersama para sahabatku, atau segala yang aku lakukan bersama sahabat-sahabatku.
Dari hadits tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa:
 istilah ahlus sunnah wal jamaah sudah pernah dipergunakan oleh Nabi saw sendiri.
 secara garis besar sudah diterangkan pula artinya.
Pengertian
Berdasar hadits tersebut dapat diuraikan pengertian sebagai berikut:
 Kata ahlun, ahlu atau ahli, berarti kaum atau golongan.
 Kata assunnah artinya tingkah laku, kebiasaan, ucapan, perbuatan atau sikap Nabi saw. Sama persis dengan arti hadits, bahkan ada pendapat bahwa assunnah lebih mendalam dari pada hadits, yaitu sikap yang berulang-ulang menjadi kebiasaan atau karakteristik.
 Kata wa atau wal adalah kata sambung, berarti "dan".
 Kata aljamaah, semula berarti kelompok. Dalam hal ini pengertiannya sudah mengkhusus menjadi kelompok sahabat Nabi. Istilah sahabat Nabi artinya sudah mengkhusus pula, yaitu mereka yang beriman kepada Nabi dan hidup sezaman atau pernah berjumpa dengan beliau.
Analisis
Arti kata demi kata tersebut dapat dianalisis sebagai berikut:
 Kata ahlu sudah jelas.
 Kata assunnah dalam arti sempit hanya mencakup hadits, belum mencakup al-Quran, sumber pertama dari ajaran Islam. Tetapi kalau diingat bahwa Nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah tidak pernah seujung rambut pun berbeda sikap dengan firman Allah (al-Quran), maka dapat dipastikan bahwa mengikuti assunnah pasti mengikuti al-Quran. Bahkan al-Quran itu dapat sampai kepada kita melalui beliau. Jadi ahlussunnah pasti ahlul Quran, tidak bisa lain.
 Kata wa menunjukkan bahwa kedua hal yang disebut sebelum dan sesudahnya adalah sama, meskipun tidak sederajat.
 Kata aljamaah berarti para sahabat, terutama sahabat terkemuka. Mereka adalah orang-orang paling dekat dan selalu bersama Nabi. Mereka buka saja membaca atau mendengar sesuatu hadits, tetapi juga menghayati sesuatu yang tersurat pada hadits karena para sahabat, terutama sahabat terkemuka mengetahui:
• sebab musabab sesuatu hadits timbul,
• situasi pada saat timbul sesuatu hadits, dan
• hubungan sesuatu hadits dengan hadits yang lain, dengan ayat al-Quran, dengan kebiasaan atau tingkah laku Nabi sehari-hari dan sebagainya.
Kalau kita membaca sebuah hadits diibaratkan melihat sebuah potret, maka mereka lebih mengetahui obyek yang dipotret dan mengenal daerah sekitarnya, mengenal orang-orang yang ada pada potret itu. Mereka lebih menghayati hadits atau sunnah.
Faktor penghayatan mereka sangat penting sekali nilainya sebagai bahan pertimbangan utama untuk menyimpulkan sesuatu pendapat mengenai arti sesuatu hadits. Memang penghayatan atau pendapat para sahabat terkemuka tidak termasuk sumber hukum agama Islam sebagaimana al-Quran dan al-Hadits yang sahih. Tetapi mengabaikan atau meremehkan pendapat/penghayatan para sahabat terkemuka adalah suatu sikap yang kurang bijaksana. Apalagi kalau pengabaian atau peremehan hanya berdasar atas pendapat pihak yang meyakinkan penghayatan dan ketajaman analisisnya.
Bukan suatu hal yang mustahil ada sesuatu sikap atau tingkah laku Nabi yang dilihat dan dihayati oleh para sahabat terkemuka tetapi beritanya tidak sampai kepada kita. Mungkin tidak terbaca oleh kita, atau mungkin tidak tercatat oleh para pencatat hadits. Itulah antara lain sebabnya, masalah tarawih 20 rakaat, berdasar pendapat atau penghayatan sahabat Umar bin Khattab dan tidak ditentang oleh para sahabat lainnya diterima sebagai sesuatu yang benar. Demikian pula adzan dua kali untuk salat Jumat berdasar pendapat sahabat Utsman bin Affan. Sudah tentu nash sharih selalu didahulukan dari pendapat siapa pun.
Penilaian yang tinggi terhadap penghayatan para sahabat terbukti dengan bunyi hadits di atas, yang oleh Nabi sendiri dirangkaikan antara assunnah dengan aljamaah. Nabi pernah bersabda yang maksudnya bahwa para sahabatnya adalah ibarat bintang-bintang, yang dengan siapa saja kalau kamu sekalian mau ikut, maka kamu sekalian akan mendapat petunjuk. Meskipun demikian, tetaplah al-Hadits merupakan sumber kedua dari agama Islam di samping al-Quran, sedangkan penghayatan para sahabat terkemuka adalah petunjuk utama untuk mencapai garis kebenaran yang ada pada al-Quran dan al-Hadits.
Dengan pengertian inilah kata assunnah dengan aljamaa dirangkaikan. Assunnah diartikan sebagaimana diuraikan di atas, dan aljamaah diartikan penghayatan dan amalan para sahabat terkemuka sebagai petunjuk pembantu untuk mencapai ketepatan memahami dan mengamalkan assunnah. Oleh karena itu disimpulkan pengertian:
 assunnah wal jamaah: persis sama dengan
مَا اََنَا عَلَيْهِ اْليَوْمَ وَاَصْحَابِيْ
, yaitu:
a. ajaran yang dibawa, dikembangkan, dan diamalkan oleh Nabi Muhammad saw, dan
b. dihayati, diikuti, dan diamalkan pula oleh para sahabat.
 ahlussunnah wal jamaah ialah golongan yang berusaha selalu berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah.
Secara popular dan mudah, tetapi berbau reklame dan agitasi dapat dirumuskan bahwa ahlussunnah wal jamaah adalah golongan yang paling setia kepada Nabi Muhammad saw.
Proses perkembangan
Sinyalemen Nabi tentang golongan dan perbedaan yang timbul ternyata benar. Maklum, bahwa hal yang disabdakan oleh beliau selalu berdasar wahyu Allah. Setelah beliau wafat mulai timbul orang-orang yang kemudian menjadi kelompok dan golongan, yang berangsur-angsur membedakan diri, memisahkan diri, dan mulai menyimpang dari garis lurus assunnah wal jamaah.
Faktor utama yang menyebabkan pembedaan, pemisahan, dan penyimpangan ialah sikap tatharruf atau ekstrimisme, berlebih-lebihan di dalam memegang pendirian atau melakukan sesuatu perbuatan. Sebagaimana adat dunia, tiap ada yang berlebihan ke kanan, biasanya timbul pihak yang berlebihan ke kiri.
Hal yang menonjol dalam sejarah ialah kebangkitan golongan Syiah yang berlebihan mencintai famili Nabi, sehingga menyalahkan sahabat Abu Bakar ra dan lain-lain. Sikap berlebihan ini makin lama makin hebat dan menimbulkan tandingan yang berlebihan pula, tetapi berlawanan arah.
Kemudian muncul golongan Khawarij yang terlalu kaku, radikal. Semula mereka tergolong Syiah, tetapi ketika ada usaha kompromi antara Syiah dan anti Syiah, maka golongan ini melepaskan diri dan menamakan diri Khawarij. Kalau golongan Syiah dapat disebut terlalu emosional sentimental atau terlalu mengikuti perasaan, maka golongan Khawarij dapat disebut terlalu radikal anarkis yang memusuhi semua pihak, tidak mau diatur.
Pada zaman berikutnya muncul lagi golongan Mu'tazilah yang terlalu memuja akal, sehingga kalau ada dalil nash yaitu al-Quran dan al-Hadits yang tidak atau kurang sesuai dengan selera pikiran, maka dipaksakan penafsiran menurut selera mereka yang terlalu rasionalistis.
Semula perbedaan atau penyimpangan kecil, makin lama membesar dan makin parah. Tiap penyimpangan disusul dengan penyimpangan, bercabang-cabang menjadi semrawut.
Hal-hal lain yang menambah keparahan perbedaan atau penyimpangan, bahkan penyelewengan dan bentrokan adalah:
 Kepentingan famili, politik, dan kekuasaan, Kepentingan politik telah menimbulkan golongan pro dan kontra Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib, berkelanjutan dengan golongan Umawiyah dan Abbasiyah.
 Infiltrasi kaum munafik yang berpura-pura Islam. Infiltrasi kaum munafik secara halus telah banyak menimbulkan pertentangan antara lain pernah ada 'anti Aisyah'.
 Sisa-sisa kepercayaan lama dan israiliyat yang sedikit banyak masih ada pada pemeluk Islam baru dari berbagai unsur seperti Majusi, Yahudi, Nasrani, dan lain-lain terselundup di kalangan kaum muslimin baik disengaja maupun tidak. Dongeng-dongeng yang tidak ada dasarnya dalam Islam adakalanya dianggap seperti dari Islam.
 Pengaruh filsafat barat, Yunani. Filsafat Yunani yang diungsikan dari barat karena dimusuhi oleh kaum Masehi banyak diterima, diterjemahkan, dan dikembangkan oleh sarjana-sarjana Islam. Disamping kemajuan berpikir yang positif, hal ini berakibatsampingan timbul sikap terlalu akal-akalan sehingga akidah Islam yang mudah dan logis menjadi rumit dan sulit.
Disamping penyimpangan dan penyelewengan yang semrawut, masih cukup kuat dan besar kaum muslim yang tetap berada pada jalan lurus dengan tokoh para ulama shalihin mukhlishin, ahli agama yang beramal saleh dan yang ikhlas. Mereka juga disebut ulama salaf yang berusaha, berjuang, dan bekerja keras memelihara, mempertahankan, menyiarkan, dan mengembangkan assunnah wal jamaah serta membentengi umat Islam dari unsur-unsur penyelewengan.
Prinsip kebenaran
Selain perjuangan praktis insidental mengajarkan assunnah wal jamaah dan menolak serangan atau penyelewengan, mereka juga berusaha keras mempersenjatai umat Islam dengan prinsip, metoda, dan haluan untuk tetap berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah agar terbentengi dari penyelewengan. Metoda, haluan atau pedoman dimaksud antara lain:
 nash yang qath'iy, yaitu al-Quran dan hadits sahih yang jelas tegas artinya selalu didahulukan.
 ar-ra'yu, akal pikiran dipergunakan dalam hal nash tidak qath'iy atau tidak ada /nash/nya.
 penggunaan ar-ra'yu untuk menyimpulkan hukum agama yang lazim disebut ijtihad hanya dilakukan oleh mereka yang memenuhi syarat yang ketat supaya hasilnya selalu berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah.
 bagi yang tidak mampu memenuhi syarat tersebut dipersilakan mengikuti hasil ijtihad para ahli yang memenuhi syarat.
 sikap tawassuth yaitu sikap tegak lurus yang tidak membelok ke kanan atau ke kiri dan sikap tawazun yaitu sikap berkeseimbangan yang tidak berat sebelah harus selalu menjadi pedoman dalam segala hal ketika menghadapi segala masalah agar tidak terjerumus kepada penyelewengan.
Metoda yang dibekalkan oleh para ulama salaf, shalihin, mukhlishin kepada umat Islam adalah agar selalu berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah. Tokoh paling terkenal di kalangan Islam yang pendapat dan hasil ijtihadnya diakui oleh dunia Islam sepanjang sejarah sebagai pendapat yang berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah antara lain:
 Bidang akidah, tauhid, atau kepercayaan: Imam Abul Hasan al-Asy'ariy dan Imam Abu Mansur al-Maturidiy.
 Bidang syariah, fikih, atau hukum: Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi'iy, dan Imam Hambali.
Sebenarnya masih banyak lagi selain yang disebut di atas, namun merekalah yang paling terkenal yang pendapat, hasil ijtihadnya, dan hasil perumusannya dapat dibukukan serta dipelajari sampai sekarang.
Argumentasi
Berdasarkan pedoman yang telah dibekalkan oleh para ulama salaf shalihin mukhlishin tersebut dapat dikemukakan argumentasi:
1. Nash qath'iy yang harus didahulukan sebelum penggunaan akal pikiran adalah memang sudah menjadi konsekuensi wajar atas syahadat kita, yaitu bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah yang membawa konsekuensi taat kepada al-Quran; dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad utusan Allah yang membawa konsekuensi taat kepada al-Hadits.
2. Ar-ra'yu yang dipergunakan adalah berdasar hadits ketika Nabi Muhammad saw mengutus sahabat Muadz bin Jabal ke Yaman. Sahabat tersebut memberikan jawaban atas ujian yang dilakukan oleh Nabi, bahwa ia akan selalu memberikan hukum berdasar al-Quran dan al-Hadits; kalau tidak ditemukan maka dia akan berijtihad yaitu menggunakan ra'yu. Nabi membenarkan jawaban sahabat Muadz.
3. Penggunaan ar-ra'yu yang harus dilakukan dengan memenuhi syarat ketat adalah wajar, karena dalam hal ini yang dicari bukanlah hal-hal duniawi tetapi hukum agama yang membawa konsekuensi ukhrawi. Hadits Nabi menerangkan bahwa barang siapa menafsirkan al-Quran dengan pendapat atau selera sendiri, maka baginya disiapkan tempat di neraka. Kesembronoan dalam menggunakan ra'yu atau ijtihad akan membawa konsekuensi yang berat, bukan saja dosa akibat salah karena sembrono, tetapi juga dosa para pengikutnya yang harus terpikul.
4. Keharusan seseorang yang tidak mampu memenuhi syarat berijtihad sendiri dan dipersilakan untuk mengikuti pendapat para ahli agama yang ahli ijtihad adalah wajar. Orang yang tidak tahu harus bertanya kepada yang tahu, yang tidak ahli harus bertanya kepada yang ahli. Firman Allah dalam al-Anbiya' ayat 7 yang artinya:
Bertanyalah kepada ahli agama kalau kamu sekalian tidak tahu.
Siapakah yang ahli agama itu? Mereka adalah para ulama mujtahidin, yang memenuhi persyaratan ijtihad dan hasil ijtihadnya dapat diketahui dengan mudah karena terbukukan dengan lengkap. Mengikuti hasil ijtihad ahli agama inilah yang disebut bermadzhab atau taklid.
5. Umat Islam yang harus bersikap tawassuth, jalan tengah lurus, dan tawazun, berkeseimbangan, adalah memang watak atau karakteristik agama Islam dan demikian pula perintah Allah. Banyak ayat yang menunjukkan karakteristik Islam dan kaum muslim. Hal ini juga dapat dibuktikan bahwa tiap kebenaran itu selalu berada di tengah-tengah antara dua kesalahan. Kebenaran selalu berada pada yang berkeseimbangan. Sikap tawassuth dan tawazun adalah karakteristik yang menonjol bagi ahlus sunnah wal jamaah dalam semua bidang. Bahkan gaya hidup dan kehidupannya ditandai dengan karakter ini. Sudah barang tentu sikap tawassuth harus tidak menyeleweng dari kaidah agama yang lebih mutlak.
Perilaku ahlus sunnah wal jamaah
Seorang ahlus sunnah wal jamaah dalam realisasi kongkrit berperilaku sebagai berikut:
1. Mula-mula belajar pada seorang ulama atau guru agama yang memberikan pelajaran berdasar atas hasil ijtihad seorang mujtahid dan menerima kebenaran semua pelajaran tersebut.
2. Kemudian mempelajari dalil yang menjadi dasar pelajaran tersebut sehingga lebih mantap.
3. Bagi yang berkemampuan atau berkesempatan dapat dilanjutkan dengan memperbanding sesuatu pedapat dengan pendapat lain, menilai argumentasinya dan seterusnya.
4. Mungkin kalau benar-benar dapat mencapai syarat-syarat kemampuan dan keikhlasan dapat berijtihad sendiri. Tetapi pada umumnya hanya sampai kepada kemampuan 'punya pendapat' sendiri di dalam satu hal tetapi masih dalam rangkaian pendapat para mujtahid sebelumnya.
5. Berhati-hati dalam mengemukakan sesuatu pendapat sendiri karena harus pula mengakui kekuatan pendapat pihak lain sehingga selalu bersikap toleran, tawassuth, dan tawazun.
Dengan berbekal pedoman dari ulama salaf dalam proses pembinaan yang berabad-abad lamanya, terwujudlah golongan yang lazim disebut kaum kiyahi dengan santri-santrinya yang pada umumnya disebut dan menyebut diri ahlus sunnah wal jamaah. Suatu sebutan yang sama sekali tidak salah, tetapi harus segera diingatkan bahwa ahlus sunnah wal jamaah tidaklah terbatas hanya pada mereka saja. Mereka dengan tekun dan penuh disiplin ketat belajar dan memperdalam ilmu agama Islam serta pengamalannya menurut garis assunnah wal jamaah. Tetapi setiap muslim dapat menjadi ahlus sunnah wal jamaah yang baik asal mau mengikuti jejak dan mengikuti bekal yang diberikan oleh ulama salaf, tokoh pembela dan pejuang assunnah wal jamaah. Dengan mengikuti jejak mereka kita akan tetap berada di atas garis kebenaran assunnah wal jamaah.
Anggapan bahwa ahlus sunnah wal jamaah tidak menggunakan akal pikirannya, hanya bertaklid buta saja, adalah suatu anggapan yang keliru. Anggapan bahwa kaum kiyahi dan santri tidak tahu dalil sesuatu masalah, hanya ikut-ikutan saja adalah anggapan yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Mungkin di kalangan mereka masih sedikit orang yang pandai berkomunikasi, berdialog, dan menyampaikan pikirannya dalam media massa modern seperti buku, majalah, dan sebagainya dengan menggunakan bahasa banyak dan mudah dipahami oleh masyarakat yang disebut masyarakat modern. Mereka lebih mengarahkan sasaran komunikasinya di kalangan intern. Hal ini merupakan tantangan bagi ahlus sunnah wal jamaah dan juga bagi semua pihak agar komunikasi menjadi lebih lancar, lebih terbuka, dan lebih baik. Saling pengertian yang lebih baik secara timbal balik sangat diperlukan.
Kaum muslim di Indonesia wajib melipatgandakan rasa syukur kepada Allah, karena pada umumnya tidak terdapat perbedaan pendapat yang besar dalam masalah keagamaan. Hal yang perlu kita garap adalah penyempurnaan kehidupan beragama kita, bukan mempertajam perbedaan pendapat. Untuk itu perlu memperdalam pengetahuan dan memperbanyak amal keagamaan, bukan perdebatan yang emosional. Diharapkan pengertian bagi generasi muda Islam terhadap hal seperti ini agar tidak membuat sempalan sendiri dengan jaringan liberal.
Berijtihad vs bermadzhab
Berbicara tentang ahlus sunnah wal jamaah lazim dikaitkan dengan masalah ijtihad dan madzhab. Memang kedua hal tersebut ada hubungannya. Ijtihad yang pada uraian yang lalu diartikan juga penggunaan ra'yu adalah usaha keras untuk menyimpulkan hukum agama atas sesuatu hal berdasar dari al-Quran dan/atau hadits, karena hal yang dicari hukumnya tidak ada nash yang sharih, jelas, tegas, atau qath'iy, pasti.
Ijtihad adalah usaha yang diperintahkan oleh agama Islam untuk mendapat hukum sesuatu yang tidak ada nash sharih dan qath'iy dalam al-Quran dan/atau hadits. Ijtihad dilakukan dengan beberapa metoda, yang paling terkenal adalah cara qiyas atau analogi dan ijma' atau kesepakatan para mujtahidin. Hasil berijtihad yang berwujud pendapat hukum itulah yang disebut madzhab yang asal artinya tempat berjalan.
Hasil ijtihad atau madzhab seorang mujtahid biasanya diterima dan diikuti oleh orang lain. Sementara orang lain yang tidak berkemampuan berijtihad sendiri yang menerima dan mengikuti hasil ijtihad disebut bermadzhab kepada mujtahid tersebut. Ibaratnya yang berijtihad adalah produsen dan yang bermadzhab adalah konsumen.
Persyaratan ijtihad
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, menurut ahlus sunnah wal jamaah bahwa ijtihad atau penggunaan ra'yu dalam menyimpulkan hukum agama harus disertai persyaratan yang ketat agar hasilnya tidak menyalahi assunnah wal jamaah. Persyaratan ijtihad cukup banyak, tetapi pada pokoknya adalah:
1. Kemampuan ilmu agama dengan al-Quran dan al-Hadits dan segala kelengkapannya seperti bahasa Arab, tafsir, dan lain-lain.
2. Kemampuan menganalisis, menghayati, dan menggunakan metoda kaidah yang dapat dipertanggungjawabkan.
3. Semuanya dilakukan atas dasar akhlak atau mental yaitu keikhlasan mengabdi kepada Allah dalam mencari kebenaran, bukan sekedar mencari-cari argumentasi untuk membenar-benarkan kecenderungan selera dan nafsu atau kepentingan lain.
Jika dikomparasikan dengan produsen, persyaratan yang diperlukan adalan memiliki bahan baku, pengetahuan tentang bahan, dan teknologi yang benar untuk menghasilkan produksi yang benar dan bermanfaat. Kiranya tidak sulit dipastikan bahwa tidak semua orang dapat dan mampu melakukan ijtihad. Padahal semua orang Islam sudah harus melakukan perintah dan menjauhi larangan Allah, meskipun belum mampu berijtihad. Karena itu ada dua alternatif:
 Berijtihad sendiri, yang dapat dilakukan oleh mereka yang memenuhi persyaratan. Jumlah mereka sangat sedikit.
 Menerima dan mengikuti hasil ijtihad atau madzhab orang lain, yang dapat dilakukan oleh semua orang. Kenyataan juga menunjukkan bahwa hampir semua orang Islam melakukannya, setidak-tidaknya pada waktu permulaan yang cukup panjang, bahkan seumur hidup karena tidak pernah mencapai kemampuan untuk berijtihad sendiri.
Mungkin ada orang yang merasa mampu berijtihad sendiri. Tetapi kalau diteliti, seringkali baru mencapai taraf 'merasa' mampu, namun belum benar-benar mampu. Oleh karena itu ahlus sunnah wal jamaah mengambil haluan bermadzhab bagi kebanyakan kaum muslimin, yang dapat dilakukan oleh semua orang.
Bermadzhab sering disebut dengan bertaklid. Pengertian taklid hendaknya jangan digambarkan seperti kerbau yang dicocok hidungnya, taklid buta, atau membuta tuli tanpa ada kesempatan menggunakan akal pikiran, tanpa boleh mempelajari dalil al-Quran dan al-Hadits. Pada taraf permulaan memang demikian. Setiap pelajaran yang diberikan oleh ulama, kiyahi, serta guru hendaknya diterima dan diikuti. Selanjutnya setiap muslim didorong dan dianjurkan untuk mempelajari dalil dan dasar pelajaran tersebut dari al-Quran dan al-Hadits.
Bermadzhab bukanlah tingkah laku orang bodoh saja, tetapi merupakan sikap yang wajar dari seorang yang tahu diri. Ahli hadits paling terkenal, Imam Bukhari masih tergolong orang yang bermadzhab Syafi'iy. Jadi, ada tingkatan bermadzhab. Makin tinggi kemampuan seseorang, makin tinggi tingkat bermadzhabnya sehingga makin longgar keterikatannya, dan mungkin akhirnya berijtihad sendiri.
Ada alternatif lain yang disebut ittiba', yaitu mengikuti hasil ijtihad orang lain dengan mengerti dalil dan argumentasinya. Beberapa hal yang dapat dikemukakan tentang ittiba' antara lain:
 Usaha untuk menjadikan setiap muslim dapat melakukan ittiba' adalah sangat baik, wajib didorong dan dibantu sekuat tenaga. Namun mewajibkan ittiba' atas setiap muslim dengan pengertian bahwa setiap muslim harus mengerti dan mengetahui dalil atau argumentasi semua hal yang diikuti kiranya tidak akan tercapai. Kalau sudah diwajibkan, maka yang tidak dapat melakukannya dianggap berdosa. Jika demikian, berapa banyak orang yang dianggap berdosa karena tidak mampu melakukan ittiba'?
 Sebenarnya ittiba' adalah salah satu tingkat bermadzhab atau taklid yang lebih tinggi sedikit. Dengan demikian hanya terjadi perbedaan istilah, bahwa ittiba' tidak diwajibkan, melainkan sekedar anjuran dan didorong sekuat tenaga.
Kalau kita hayati kenyatannya, perbedaan faham mengenai masalah ijtihad dan taklid atau bermadzhab lebih banyak bersifat teoritis saja, sedangkan dalam praktek tidak banyak berbeda. Tak ada pihak anti ijtihad dan anti bermadzhab dalam arti murni dan mutlak. Pihak yang menamakan diri golongan bermadzhab sesungguhnya ingin juga mampu berijtihad karena hal tersebut diperintahkan agama sebagaimana disebut dalam hadits. Namun ketahudirian dan melihat kenyataan kemampuan yang dimiliki, ditempuhlah jalan yang lebih selamat dari kekeliruan di bidang agama yang membawa konsekuensi ukhrawi dan hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan serta dibenarkan berdasar al-Quran dan al-Hadits. Jalan tersebut adalah sistem bermadzhab.
Pihak yang menamakan diri sebagai golongan ijtihad sebenarnya dalam kenyataannya tidak mampu berijtihad sendiri. Mereka tetap mengikuti hasil ijtihad orang lain juga, melepaskan diri dari madzhab lama dan mengikuti madzhab baru. Di antara mereka ada yang dapat mengerti atau mengetahui beberapa dalil serta argumentasi 'hasil ijtihad' baru, tetapi lebih banyak yang tidak mengetahuinya.
Pertentangan yang timbul biasanya tidak bertitik tolak pada inti masalah, namun sudah berada di luarnya. Permasalahan yang timbul sering disebabkan ulah dan sikap mereka yang sok tahu, tetapi sebenarnya mereka tidak tahu apa-apa.
Penyakit lain di kalangan umat Islam yang sangat mengganggu usaha kerukunan umat adalah terlalu berorientasi atau berkiblat kepada kepentingan golongan dan kurang berorientasi kepada pendirian keagamaan dan kepada agama. Upaya yang dilakukan adalah terlalu ingin memenangkan golongan masing-masing atau orang-orang di dalam golongan tersebut dan kurang terarah kepada kemenangan agama Islam dan pendirian keagamaan. Mereka akhirnya merasa puas kalau berhasil menyingkirkan golongan atau orang lain dan dapat merebut posisinya tanpa banyak memikirkan apakah posisi tersebut menguntungkan atau merugikan umat dan agama.
Penyakit yang sangat parah tersebut menghasung upaya pembinaan generasi muda yang penuh pengertian atas tanggung jawabnya pada masa depan. Penanganan dan pemupukan serta pengembangan bibit pengertian ke arah persatuan umat mutlak diperlukan demi kejayaan umat masa depan. Di tengah kerisauan menghadapi masalah generasi muda yang terkadang merisaukan kiranya perlu dipelihara sikap optimisme. Jika sikap optimisme hilang, maka menyebabkan kehilangan antusiasme, semangat, dan gairah yang berakibat kehilangan segala-galanya.
Sepanjang sejarah, tiap generasi tua yang pasti akan mengakhiri kiprahnya dalam peredaran zaman selalu melihat dengan telti kesalahan generasi muda yang akan menggantikan dengan penuh rasa khawatir. Kekhawatiran seperti itu adalah wajar, namun tidak boleh berlebihan yang dapat mengarah kepada peremehan, tidak percaya kepada generasi muda yang pasti akan menggantikan.
Karena itu generasi tua yang sadar akan memberikan bimbingan dengan penuh kasih sayang dan penuh kepercayaan. Dengan demikian tidak perlu meremehkan dan mencurigai generasi muda. Keberhasilan generasi tua dapat diceritakan, namun kegagalannya tidak boleh disembunyikan. Hal ini dimaksudkan untuk membuat generasi muda dapat mengambil pelajaran secara wajar, baik dari sisi keberhasilan maupun kegagalan atau kebelumberhasilan generasi tua. Keberhasilan perlu dikembangkan dan kegagalan perlu dipelajari penyebabnya serta dicari solusi agar dapat keluar dari kegagalan.
Reorientasi agamawi
Salah satu hal yang dipandang belum berhasil adalah kerukunan umat secara mantap. Berulangkali umat Islam Indonesia berhasil membentuk wadah kerukunan, namun belum berhasil memelihara dan mengembangkannya secara mantap. Melihat gelagat yang dapat dibaca dari situasi dunia Islam pada umumnya dan kaum muslimin Indonesia khususnya, kita dapat menancapkan harapan bahwa proses sejarah mengarah kepada masa depan Islam yang gemilang.
Terkadang kita perlu prihatin melihat beberapa kondisi yang tidak mengenakkan, terutama melihat posisi berbagai organisasi Islam, meski potensi sesuatu umat tidak hanya bergantung kepada posisi organisasinya saja. Banyak faktor lain yang ikut menentukan potensi tersebut.
Mari kita coba untuk merenungkan diri kembali. Orientasi umat Islam yang selama ini terpencar dan berserakan kiranya perlu dikembalikan ke pusatnya, yaitu masalah agamawi, atau berorientasi agamawi. Kita perlu berusaha dan bekerja keras, belajar, dan berupaya meningkatkan potensi agama Islam di Indonesia.
Perjuangan untuk menumbuhkan, memelihara, dan mengembangkan potensi agama dan umat bukan hanya tugas satu generasi saja. Perjuangan adalah tugas seluruh generasi secara berkesinambungan. Generasi tua harus sadar bahwa umur dan kesempatan sudah hampir pupus dan pada gilirannya pasti habis. Kemudi dan tanggung jawab pasti beralih ke tangan generasi muda, bagaimana pun kondisi generasi muda saat ini.
Karena itu kiranya perlu menjadikan generasi muda sebagai manusia sejarah dan manusia pejuang yang sanggup berdiri sendiri. Mereka tidak boleh menjadi anak-anak yang hanya pandai membanggakan hasil karya nenek moyangnya. Pepatah Arab mengatakan:
اِنَّ الْفَتَى مَنْ يَقُوْلُ هَا اَنَا ذَا * لَيْسَ الْفَتَى مَنْ يَقُوْلُ كَانَ اَبِيْ ...
Generasi muda ialah mereka yang berani berkata: "Inilah aku!", bukan mereka yang hanya dapat berkata: "Aku keturunan tokoh anu ..."
Kesimpulan
1. Ahlus sunnah wal jamaah adalah golongan yang selalu berusaha tetap di atas garis kebenaran assunnah wal jamaah, yaitu yang mempergunakan dasar al-Quran dan al-Hadits sebagai sumber utama agama Islam serta penghayatan para sahabat terkemuka sebagai petunjuk untuk mencapai garis kebenaran yang ada pada al-Quran dan al-Hadits.
2. Penggunaan ar-ra'yu atau akal untuk menyimpulkan hukum agama atas sesuatu masalah yang tidak ada nash sharih/jelas dalam al-Quran dan al-Hadits disebut dengan ijtihad; yang dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain qiyas/analogi dan ijmak atau kesepakatan para mujtahid. Karena hanya sedikit orang yang mampu memenuhi persyaratan mujtahid, maka ada alternatif untuk menerima dan mengikuti hasil ijtihad orang lain yang disebut dengan bermadzhab.
3. Generasi muda perlu memahami akar masalah antara mampu berijtihad, merasa mampu berijtihad, atau tahu diri tentang kemampuannya dalam memahami masalah agama agar tidak terjadi pertikaian dan membuat kelompok-kelompok baru yang menyendiri.
4. Generasi tua perlu memberikan bimbingan terhadap generasi muda yang pada gilirannya akan menggantikan kemudi dalam perjalanan sejarah berikutnya, bagaimanapun kondisi keberagamaan generasi mudanya saat ditinggalkan.
Penyusun
A. Muchith Muzadi (Jember, 21 Muharram 1395)
Editor:
Ahmed Machfudh(Jakarta, 21 Dzulhijjah 1425)
Kembali ke atas

Ayat Mutashabihat dan Kritik Terhadap Peringkatnya
Indeks > Artikel > Ayat Mutasyabihat
Pendahuluan
Al-Qur'an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad sebagai sumber ajaran agama Islam yang utama.1 Semua isi kandungannya merupakan pedoman kuat serta hujjah yang ampuh. Kitab suci yang menakjubkan ini merupakan pegangan umat manusia, sekaligus pelita dalam hidup dan kehidupan agar dapat meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.2 Di dalamnya terkandung ayat atau makna yang antar satu dengan lainnya saling menyempurnakan dan membenarkan, tidak ada pertentangan. Seluruh ayatnya bersifat Qot'i al-Wurud, yang jelas diyakini eksistensinya sebagai wahyu Allah.3
Diperlukan persyaratan yang sangat berat dan penguasaan beberapa disiplin keilmuan agar seseorang dapat dan mampu menterjemahkan serta menafsirkan al-Qur'an dengan baik dan benar. Ia setelah benar-benar mahir dalam ilmu bahasa arab, ilmu kalam dan ilmu usul juga dituntut harus menguasai pula ilmu-ilmu pokok al-Qur'an yang meliputi ilmu tentang:
 Mawatin al-Nuzul (tempat-tempat turunnya ayat),
 Tawarikh al-Nuzul (masa turunnya ayat),
 Asbab al-Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat),
 Qira'at (bacaan-bacaan al-Qur'an),
 Tajwid (cara membaca al-Qur'an dengan baik dan benar),
 Gharib al-Qur'an (kata-kata yang ganjil dalam al-Qur'an),
 I'rab al-Qur'an (struktur kalimat),
 al-Wujuh wa al-Naza'ir (kata-kata al-Qur'an yang multi makna),
 al-Muhkam wa al-Mutashabihat,
 al-Nasikh wa al-Mansukh (ayat yang menghapuskan atau dihapuskan ayat lain),
 Bada'i al-Qur'an (keindahan nilai sastra al-Qur'an),
 I'jaz al-Qur'an (kemukjizatan al-Qur'an),
 Tanasub al-Qur'an (keserasian antara ayat-ayat al-Qur'an),
 Aqsam al-Qur'an (sumpah-sumpah al-Qur'an),
 Amthal al-Qur'an (perumpaan-perumpaan dalam al-Qur'an),
 Jidal al-Qur'an (bentuk dan cara argumantasi dalam al-Qur'an), dan
 Adab Tilawah al-Qur'an (adab dalam membaca al-Qur'an).4
Ilmu al-Muhkam wa al-Mutashabihat termasuk didalam ilmu-ilmu pokok al-Qur'an karena di dalam al-Qur'an memuat ayat-ayat mutashabihat (yang mengandung ambiguitas) di samping ayat-ayat yang tergolong muhkamat (yang pengertiannya telah tegas dan jelas).5 Ambiguitas ini disebabkan banyak terjadinya kemiripan dalam segi balaghah-nya, i'jaz-nya atau sulitnya memilah bagian-bagian manakah yang lebih utama.6 Sehingga menimbulkan pengertian yang tidak tegas atau samar-samar (timbul beberapa pengertian) dikarenakan ketidakjelasan dalam segi lafadnya, rancu maknanya atau rancu dalam hal kedua-duanya (lafad dan maknanya).
Ayat-ayat yang bersifat mutasyabihat ini terutama dapat kita temukan dalam pembahasan yang tergolong furu' (cabang) agama yang bukan termasuk dalam masalah pokok agama. Sehingga memungkinkan bagi seorang mujtahid yang handal ilmunya untuk dapat mengembalikan ayat-ayat mutasyabihat tersebut kepada maksud dan arti yang bersifat jelas (muhkam) dengan cara mengembalikannya (masalah furu') kepada masalah pokok.7
Pengertian Ayat Mutashabihat dan Pandangan Ulama
Secara bahasa (etimologi), kata mutashabihat berasal dari kata tashabuh yang berarti "keserupaan" dan "kemiripan". Tashabaha dan ishtabaha berarti saling menyerupai satu dengan lainnya hingga tampak mirip sehingga perbedaan yang ada diantara keduanya menjadi samar. Sehingga ungkapan orang-orang bani Israil kepada nabi Musa yang berbunyi "inna al-baqara tashabaha 'alayna"8 berarti "sesungguhnya sapi itu sangat mirip di mata kami".9 Jadi makna mutashabih adalah ungkapan yang memperlihatkan bahwa sesuatu itu sama dengan sesuatu yang lain dalam satu atau beberapa sisi atau sifat, atau yang membuat sesuatu yang tidak dapat dijangkau akal, dengan mudah dapat dipahami.10
Tim penerjemah/penafsir al-Qur'an Departemen Agama memberikan catatan terhadap ayat mutasyabihat sebagai ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang di maksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui, seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan hal yang ghaib seperti ayat mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.11
Terdapat tiga ayat yang sering muncul dipermukaan dan menjadi perdebatan apabila kita membicarakan ayat-ayat muhkam dan mutashabihat al-Qur'an. Pertama, bahwa semua ayat al-Qur'an adalah bersifat muhkam, berdasarkan Q.S Hud:1
الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ ءَايَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِير
"Alif Lam Ra, (Inilah) kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan sempurna dan dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi Allah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui".12
Kedua, bahwa semua ayat al-Qur'an adalah mutashabihat, berdasarkan Q.S al-Zumar: 23,
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ
"Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik, (yaitu) al-Qur'an yang (kualitas ayat-ayatnya) serupa dan berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah dengan kitab itu . Dia menunjukkan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpin pun."13
Ketiga, bahwa sebagian ayat-ayat al-Qur'an terdiri dari ayat yang tergolong muhkamat dan sebagian lainnya tergolong mutashabihat. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-Imron:7,
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
"Dialah (Allah) yang menurunkan al-Kitab kepadamu. Diantara isinya terdapat ayat-ayat muhkamat yaitu pokok-pokok al-Kitab (Umm al-Kitab), dan yang lain ayat-ayat) mutashabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutashabihat untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutashabihat Semuanyaitu berasal dari sisi Tuhan kami". Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran (dari padanya) melainkan orang-orang yang berakal".14
Sebenarnya ketiga pendapat diatas tidak ada yang kontroversi. Yang dimaksudkan dalam ayat pertama adalah seluruh ayat-ayat al-Qur'an mengandung kesempurnaan susunan dan tidak ada pertentangan diantara ayat-ayatnya. Ia laksana bangunan besar yang sangat kokoh sepanjang jaman. Pengertian ayat kedua adalah seluruh ayat al-Qur'an mengandung segi kesamaan dalam hal kesempurnaan kebenarannya, kebaikan dan kemukjizatannya, baik aspek lafad atau isinya. Sehingga tidak ada kemungkinan sebagian ayat al-Qur'an melebih-lebihkan atas ayat lainnya. Ayat ketiga mempunyai pengertian bahwa didalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang makna (dalalah)-nya disebutkan secara jelas/eksplisit (muhkam) dan ada yang makna (dalalah)-nya disebutkan secara samar/ implisit (mutashabihat).15
Al-Zarqani dalam mengartikan ayat-ayat mutashabihat mengatakan bahwa ia merupakan perbandingan dari ayat-ayat muhkamat. Selanjutnya beliau menjelaskan keduanya, bahwa:
 Menurut ulama Hanafiah
Ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang dalalahnya jelas, terang dan tidak mengandung adanya naskh. Sedangkan ayat-ayat mutashabihat adalah ayat-ayat yang samar dan tidak dapat diketahui pengertiannya baik secara naqli maupun aqli, sesuatu yang ketentuannya dirahasiakan oleh Allah, seperti terjadinya kiamat, makna al-ahruf al-muqatta'ah (huruf-huruf hijaiyyah yang terputus-putus) pada beberapa permulaan surat.
 Menurut ulama Ahl al-Sunnah
Ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang pengertiaanya dapat diketahui baik secara lahiriah ataupun dengan takwil. Sedang ayat mutashabihat adalah ayat yang ketentuannya hanya diketahui Allah.
 Menurut Ibn 'Abbas dan ulama Ushul
Ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang hanya mengandung satu pengertian. Sedang ayat-ayat mutashabihat mengandung beberapa pengertian.
 Menurut Imam Ahmad
Ayat muhkamat adalah ayat yang bisa berdiri sendiri dan tidak membutuhkan penjelasan. Sedang mutashabihat tidak dapat berdiri sendiri dan masih butuh penjelasan. Karena adanya perbedaan dalam pengertiannya.
 Menurut ulama muta'akhirin
Ayat muhkamat adalah ayat yang jelas dan tidak rancu. Sedang ayat mutashabihat adalah kebalikannya.16
Ulama-ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan ayat-ayat mutashabihat sebagaimana di atas dikarenakan adanya perbedaan dalam memahami kedudukan dan status lafad والراسخون في العلم pada surah al-Imran:7. Mereka memperdebatkan apakah lafad tersebut merupakan kalimat lanjutan dari kalimat sebelumnya, yaitu dengan menganggap huruf و (wa/dan) sebagai harf 'atfi (kata penghubung) sehingga pengertiannya:
"Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya...",
ataukah sebagai kalimat baru, yaitu dengan menganggap huruf و (wa) tersebut sebagai huruf ibtida' (berfungsi sebagai permulaan pokok kalimat) sehingga pengertiannya menjadi,
"Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya..."
Bagi kelompok pertama, ayat-ayat mutashabihat itu dapat dipahami karena menurut mereka, al-Qur'an justru diturunkan pada umat manusia untuk dipahami, termasuk di dalamnya ayat-ayat mutashabihat. Akan tetapi bagi kelompok kedua, ayat-ayat mutashabihat tidak dapat dipahami oleh manusia, karena menurut mereka, ayat-ayat tersebut diturunkan untuk menguji iman manusia.
Klasifikasi Ayat Mutashabihat dan Kontroversinya
Secara garis besar para ulama mengklasifikasikan ayat-ayat mutashabihat ke dalam dua kategori:
1. Berdasarkan aspek lafad, makna dan kedua-duanya (lafad dan maknanya)
a. Secara lafad
Ayat-ayat mutashabihat yang ambiguitasnya berawal dari ketidakjelasan bentuk lafad ayat, seperti pada kata "al-yad" (tangan) dan kata "al-ain" (mata) yang mempunyai banyak pengertian. Sebagaimana tercantum dalam surat al-Shaad:75,
termasuk didalamnya karena lafad yang terkandung tidak dapat diketahui secara pasti.17
b. Secara makna
Ayat yang mengandung ambiguitas karena rancu dalam kandungan maknanya. Hal ini ditunjukkan pada ayat-ayat yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah (mutashabih al-sifat/antromorfisme), hari kiamat, nikmat surga dan siksa neraka. Seperti ayat 5, surat Taha:
-nya Allah di atas 'arsh.
c. Secara lafad dan makna
Ayat yang merngandung ambiguitas karena rancu dalam segi lafad dan sekaligus kandungan maknanya. Sebagaimana yang tercantum dalam Qur'an surat at-Taubah:5,

فَإِذَا انْسَلَخَ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Kata dan makna al-musyrikin (jamak dari kata al-musyrik) dapat berarti seluruh kaum musyrikin, sebagian atau orang-orang tertentu saja.
2. Klasifikasi berdasarkan bisa tidaknya ayat mutashabihat diketahui manusia
a. Ayat yang sama sekali tidak bisa diketahui manusia hanya Allah saja yang mengetahuinya secara pasti. Sebagaimana ayat-ayat tentang hakikat sifat-sifat Allah, tentang kiamat, dan hal-hal yang ketentuannya di tangan Allah (seperti munculnya "dabbah", binatang yang keluar pada saat terjadi kiamat, munculnya "dajjal", dll.).
b. Ayat yang setiap orang bisa mengetahuinya dengan mencermati dan mempelajarinya secara mendalam. Sebagaimana ayat-ayat yang susunannya masih global, ringkas dan mengandung kata-kata "asing".
c. Ayat yang hanya bisa diketahui oleh orang-orang tertentu (ulama khusus) dan mempunyai pengetahuan yang mendalam.18
Metode Penafsiran Ulama terhadap Ayat-Ayat Mutashabihat
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa perbedaan pemahaman ulama atas ayat-ayat mutashabihat berpangkal pada perbedaan mereka dalam memahami surat Ali 'Imran ayat 7. Perbedaan inilah yang menyebabkan mereka berbeda pula dalam metode penafsiran ayat-ayat mutashabihat.
Al-Suyuti mengatakan bahwa hanya sedikit dari ulama yang meyakini bahwa lafad والراسخون في العلم adalah kelanjutan dari lafad sebelumnya و (berfungsi sebagai harf athf). Sedangkan kebanyakan para tokoh ahli tafsir di kalangan sahabat, tabi'in dan selanjutnya, terutama pengikut Ahl al-Sunnah meyakini bahwa lafad tersebut adalah berdiri sendiri و adalah harf ibtida' dan terpisah dari kalimat sebelumnya.
Berkaitan dengan ini, terdapat dua golongan yang berbeda didalam metode penafsiran ayat-ayat mutashabihat, mereka adalah golongan salaf dan golongan khalaf.19
Golongan salaf (ada yang menyebut sebagai madhhab al-mufawwidah, aliran yang menyerahkan permasalahan kepada Allah) berpendapat bahwa menentukan maksud dari ayat-ayat mutashabihat yang hanya berdasarkan kaidah-kaidah kebahasaan dan penggunaannya di kalangan bangsa Arab hanyalah akan menghasilkan kesimpulan yang bersifat zanni (tidak pasti). Padahal sebagian dari ayat-ayat mutashabihat termasuk persoalan akidah yang dasar pijakannya tidak cukup hanya dengan argumen yang bersifat zanni tetapi harus bersifat qat'i (pasti). Karena untuk mendapatkan dasar yang bersifat qat'i tidak ada jalannya, maka mereka bersikap tawaqquf (tidak mengambil keputusan dan menyerahkannya kepada Allah).20
Mereka berpegangan pada sebuah hadis yang berarti:
Al-Darimi meriwayatkan hadith dari Sulayman bin Yasar bahwa seorang laki-laki yang bernama Ibn Subaygh datang ke Madinah, kemudian bertanya tentang mutasyabih dalam al-Qur'an maka Umar datang seraya menyediakan sebatang pelepah kurma untuk (memukul) orang tersebut.
Umar bertanya:
"Siapakah anda?"
Ia menjawab:
"Saya adalah 'Abd Allah b. Subaygh".
Kemudian 'Umar mengambil pelepah kurma dan memukulkannya hingga kepalanya berdarah.
Dalam riwayat lain dikatakan:
Kemudian 'Umar memukulnya dengan pelepah kurma hingga mengakibatkan punggungnya terluka. Kemudian 'Umar meninggalkannya hingga sembuh. Kemudian 'Umar mendatanginya kembali dan meninggalkannya lagi hingga sembuh. Kemudian 'Umar memanggilnya supaya kembali. Maka orang itu berkata kalau anda hendak membunuhku, maka bunuhlah aku dengan cara yang baik". Maka 'Umar membolehkannya untuk pulang ke negerinya. Dan 'Umar menulis surat kepada Abu Musa al-Ash'ari agar tidak seorangpun dari kalangan muslimin bergaul dengan orang itu".21
Golongan khalaf (biasa disebut juga dengan madhhab al-Mu'awwilah, golongan yang melakukan pentakwilan terhadap ayat-ayat mutashabihat) beranggapan bahwa sikap yang harus diambil dalam hal ini adalah menghilangkan dari keadaan "kegelapan" yang apabila dibiarkan ayat-ayat mutashabihat tidak bermakna, akan menimbulkan kebingungan manusia. Sehingga selama dimungkinkan untuk diadakannya penakwilan terhadapnya maka akalpun mengharuskan untuk melakukannya. Mereka menyandarkan pada hadis yang diriwayatkan Ibn 'Abbas.22
Golongan al-Mutawassitin kemudian muncul dan mengambil posisi ditengah dua golongan ini (salaf dan khalaf). Diantara yang termasuk didalamnya adalah Ibn al-Daqiq al-'Id. Ia berpendapat apabila penakwilan ayat-ayat mutashabihat itu berada "dekat" dengan wilayah ilmu bahasa Arab, maka penakwilan tersebut bisa diterima. Tetapi bila berada "jauh" darinya maka kita bersikap tawaqquf.23
Dengan melihat kondisi di atas maka dapat dipahami bahwa hanya sebagian kecil dari golongan ulama yang memandang bahwa ayat-ayat mutashabihat bisa diketahui maksudnya secara pasti.24 Sedang sebagian besar dari para ulama tetap meyakini bahwa yang mengetahui secara pasti tentang ayat-ayat mutashabihat adalah Allah sendiri, sementara orang-orang yang mendalam ilmunya dengan mantap mengimaninya.
Tinjauan Kritis Ayat-Ayat Mutashabihat
Membicarakan masalah pro dan kontra pendapat para ulama terhadap ayat-ayat mutashabihat adalah merupakan persoalan yang rumit. Diperlukan pendekatan takwil dan tafsir dan penguasaan semua ilmu pokok al-Qur'an untuk menilai pandangan dan pendapat para ulama berkaitan dengan ayat-ayat ini. Namun membiarkannya lewat begitu saja bukan merupakan solusi terbaik.
Penulis meyakini bahwa bentuk-bentuk tashbih memang sengaja digunakan Allah dalam sebagian kecil kalam-Nya. Dengan pola ini, Allah menjelaskan sesuatu yang konsepsional kepada kehidupan yang aktual. Bentuk semacam ini pula dipergunakan dalam al-Qur'an sebagai upaya mendekatkan penjelasan ajaran-ajarannya melalui ilustrasi yang mampu ditangkap akal dan indra manusia. Pola seperti ini sekaligus membuat susunan redaksi al-Qur'an jauh lebih indah, sehingga nikmat untuk dibaca, disimak dan dihayati sekaligus menjadi bukti bahwa al-Qur'an adalah bener-benar kalamullah. Sebagimana sikap yang telah ditunjukkan oleh golongan al-Mutawassitin terhadap ayat-ayat mutashabihat di atas.
Keyakinan bahwa segala sesuatu yang berasal dari Allah pastilah tidak mungkin tidak mengandung sebuah nilai dan hanya bersifat sia-sia. Ketersia-siaan ini justru akan menjadikan kita terjerumus dalam pandangan yang bersifat apatis dan acuh tak acuh. Dalam beberapa kesempatan, Allah malah "sengaja" memberikan ruang dan kesempatan pada manusia untuk berusaha sekuat mungkin menyingkap tabir-tabir rahasia yang memang sengaja ditutupi oleh-Nya. Terlebih-lebih dalam menyingkap dan mengungkap ayat-ayat yang tidak bersentuhan oleh akidah yang hanya didasarkan oleh adanya rasa ketakutan akan berbuat dosa karena menyalahi dari makna dan maksud sebenarnya.
Hanya saja penggunaan akal yang berlebih-lebihan dengan tanpa didasari oleh kemampuan yang mencukupi, tentu bukanlah perbuatan yang dianjurkan. Ijtihad tetap diperlukan dengan segala ilmu, syarat dan batasan-batasannya. Bukankah mengambil manfaat dan pelajaran dari segala yang masih bersifat "setengah terbuka", bukan dengan cara menduga-duganya? Keberagaman pendapat terhadap ayat-ayat mutashabihat justru malah memberikan khazanah dan peluang yang semakin lebar pada manusia untuk selalu berusaha dan memacu dalam membuka rahasia-rahasia ayat-ayat mutashabihat.
Hikmah Ayat-Ayat Mutashabihat
Perbedaan dan perdebatan dalam memahami ayat-ayat mutashabihat, tetaplah memberikan keyakinan bahwa ayat-ayat mutashabihat ini memberikan banyak manfaat kepada manusia. Diantaranya:
1. Ayat-ayat mutashabihat menjadi dalil betapa lemah dan terbatasnya kemampuan manusia. Betapa luas dan mahirnya manusia tetaplah Tuhan sendirilah yang mengetahui hakekat sebuah kebenaran.
2. Keberadaannya menjadi cobaan dan ujian bagi manusia (khususnya ayat mengenai hari kiamat, siksa neraka, nikmat surga, datangnya dajjal, dabbah). Mereka mau percaya atau tidak terhadap hal-hal yang gaib sebagai pembuktian atas kualitas iman mereka.
3. Menambah wawasan, karena dengan sendirinya seorang peneliti didorong untuk membandingkan pandangannya atau pandangan madhhab-nya mengenai maksud ayat-ayat mutashabihat tersebut dengan pandangan orang lain atau madhhab lain, sehingga ia akan menyimpulkan atau sampai pada pendapat yang dekat dengan kebenaran.
4. Sebagai isyarat bahwa secara umum kandungan al-Qur'an mencakup kalangan Khawas (orang-orang tertentu) dan awam. Sifat orang awam adalah sulit untuk memahami esensi sesuatu. Misalnya, mereka sulit memahami suatu wujud yang tidak mempunyai materi atau dimensi. Dalam hal ini bahasa yang digunakan adalah bahasa yang sederhana yang sesuai dengan kemampuan mereka agar mereka dapat mencernanya, akan tetapi di balik itu terkandung makna yang sebenarnya.
5. Sebagai rahmat bagi manusia yang lemah dan tidak tahu segala-galanya, agar meraka tidak malas dan dan berusaha untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Sebagaimana ayat-ayat tentang kematian dan hari kiamat.
6. Dengan terkandungnya muhkam dan mutashabih dalam al-Qur'an, maka memaksa orang untuk meneliti dan menggunakan argumen-argumen akal. Dengan dekian ia akan terbebas dari kegelapan taqlid. Hal ini merupakan indikasi atas kedudukan akal dan keabsahan untuk memeganginya. Sekiranya seluruh ayat al-Qur'an adalah muhkam, maka tentu tidak memerlukan argumen akal dan tetaplah akal akan terabaikan.
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, terdapat beberapa kesimpulan berkaitan dengan ayat-ayat mutashabihat yang dapat dijadikan pelajaran:
1. Bahwa ayat-ayat mutashabihat adalah ayat-ayat yang dapat menimbulkan ambiguitas dalam makna dan maksudnya dan masih memerlukan penjelasan-penjelasan. Para ulama mempunyai pandangan yang berbeda terhadap ayat-ayat mutashabihat ini karena perbedaan ulama dalam menafsirkan Qur'an Ali 'Imran ayat 7.
2. Dalam menyikapi dan menafsirkannya, hanya sebagian kecil ulama yang mentakwilkannya. Sedang sebagian besar lainnya menggunakan cara dengan menyerahkan sepenuhnya maksud dari ayat-ayat tersebut kepada Allah.
3. Dalam memahami dan menyikapi ayat-ayat mutashabihat diperlukan keahlian dan kemahiran dalam segala ilmu pokok al-Qur'an agar tidak terjebak dalam pemahaman yang salah.
4. Bagaimanapun hebatnya kontroversi yang terjadi terhadap ayat-ayat mutashabihat, ia tetap memberikan manfaat yang sangat besar bagi manusia.
Bibliografi
Ash-ashiddieqy, T. M. Hasbi,
Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur'an, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
Denffer, Ahmad Von,
'Ulum al-Qur'an An Introduction to Sciences of the Qur'an, Liecester: The Islamic Foundation, 1989.
al-Kirmani, Mahmud b. Hamzah b. Nasr,
Al-Burhan fi Tawjih Mutashabih al-Qur'an, Beirut: Dar al-Kutub al 'Ilmiyyah, 1986.
al-Qattan, Manna' Khalil,
Mabahith fi 'Ulum al-Qur'an, terj., Jakarta: Litera Antar Nusa. 2001.
al-Sabbagh, Muhammad b. Lutfi,
Lamahat fi 'Ulum wa Ittijahat al-Tafsir, Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1990.
al-Salih, Subhi,
Mabahith fi 'Ulum al-Qur'an, Beirut: Dar al-'Ilm fi al-Malayin, 1988
al-Suyuti, Jalal al-Din,
Al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an, Vol. II, Beirut: Muassasat al-Kutub al-Thaqafiyyah, 1996.
Shalthut, Mahmud,
Al-Islam Aqidah wa Syari'at, Mesir: Dar al-Qalam, 1986.
Shihab, Quraish M. dan tim,
Sejarah dan 'Ulum al-Qur'an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
Tim Penerjemah Depag RI,
al-Qur'an dan Terjemahannya, Surabaya: Jaya Sakti, 1997.
Ushama, Thameem,
Methodologies of the Qur'anic Exegesis, Kuala Lumpur, Pustaka Hayathi, 1995.
Watt, W. Montgomery, Bell, Richard
Pengantar al-Qur'an, Terj. Lilian D. Tedjasudhana, Jakarta: INIS, 1998.
al-Zarqani, Muhammad 'Abd al-'Azim,
Manahil al-'Urfan fi 'Ulum al-Qur'an, Vol II, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
1 Muhammad abd al-Azhim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur'an Vol II (Bairut: Dar al-Fikr, 1996), 19.
2 Thamem Ushama, Methodologies of The Qur'anic Exegisis (Kuala Lumpur; Pustaka Hayathi, 1995),1.
3 Mahmud Shalthut, al-Islam Aqidah wa Syari'at (Mesir: Dar al-Qalam, 1986), 507.
4 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur'an (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), 102-107.
5 Al-Kirmani, menjelaskan terdapat 594 ayat (9,5%) mutashabihat dari 6236 ayat dalam al-Qur'an. Dan al-Shanqiti mengatakan, terdapat 525 ayat muhkamat yang membahas tentang tauhid, ibadah dan mu'amalah. Baca Mahmud b. Hamzah b. Nasr al-Kirmani, al-Burhan fi Tawjih Mutashabih al-Qur'an (Bairut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1986).
6 Subhi al-Salih, Mabahith fi 'Ulum al-Qur'an (Bairut: Dar al-'Ilm, 1988), 281.
7 Manna' Khalil al-Qattan, Mabahith fi 'Ulum al-Qur'an, terj. (Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 2001), 303.
8 Qur'an surah al-Baqarah: 70.
9 Al-Zarqani, Manahil, 270.
10 M. Quraish Shihab dan tim, Sejarah dan 'Ulum al-Qur'an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), 120.
11 Depag RI., Al-Qur'an dan Terjemahnya (Jakarta: Bumi Restu, 1976), 76.
12 Depag RI., Al Qur'an dan Terjemahnya (Semarang, Toha Putra, 1989), 326.
13 Ibid, 749.
14 Ibid, 76.
15 Al-Zarqani, Manahil, 271.
16 Ibid, 275-276.
17 Ahmad Von Denffer, 'Ulum al-Qur'an An Introduction to the Sciences of the Qur'an (Liecester: the Islamic Foundation, 1980), 81. Mengenai al-ahruf al-muqatta'ah, para sarjana barat menggambarkannya sebagai huruf-huruf misterius, meskipun banyak diantara mereka yang berusaha untuk meraba-raba makna yang terkandung. Mereka memandang huruf-huruf tersebut sebagai singkatan dari nama-nama para pengumpul al-Qur'an sebelum Zayd Ibn Thabit. Kelompok surat yang diawali dengan "Ha-Mim" diduga bersal dari orang-orang yang singkatan namanya menjadi "Ha-Mim". Hirschfeld, misalnya mencoba memandang huruf "Sad" sebagai kependekan dari nama Hafsah, "Kaf" sebagai Abu Bakr dan "Mim" sebagai 'Uthman, sedang "Alif-Lam-Mim" kependekan dari nama al-Mughirah. Sedang Eduard Gussens menduga bahwa huruf-huruf tersebut merupakan judul dari surat-surat yang tidak digunakan. Meski demikian pada akhirnya tetaplah huruf-huruf tersebut menjadi misteri. Tidak ada argumen yang cukup valid dari mereka untuk mendukung hipotesa mereka. Lihat W. Montgomery Watt, Richard Bell: Pengantar al-Qur'an, terj. Lilian D. Tedjasudhana (Jakarta: INIS, 1998), 55-56.
18 Al-Zarqani, Manahil ..., 280-281. Ulama berpeda pendapat dalam memandang pengklasifikasian golongan ke-dua ini. Al-Sabbagh memandang bahwa hanya jenis pertama (dalam klasifikasi ke-2) yang termasuk mutashabihat. Sedang lainnya termasuk muhkamat, sebab muhkamat terbagi menjadi 2, yaitu ayat yang bisa diketahui oleh siapa saja dan yang diketahui oleh orang-orang tertentu. Lihat Muhammad b. Lutfi al-Sabbagh, Lamahat fi "Ulum al-Qur'an wa Ittijahat al-Tafsir (Bairut: Al-Maktab al-Islami, 1990), 157-158.
19 Al-Salih, Mabahith, 218.
20 Al-Zarqani, Manahil, 287.
21 Mushtafa Zayd, Dirasat fi al-Tafsir (Kairo: Dar al-Fikr al-'Arabi, 1970), 63.
22 Ketika membaca ayat 7 surat Ali 'Imran ini, Ibn 'Abbas mengatakan, "Saya termasuk orang yang mengetahui ta'wilnya...". Ini adalah sebagai bukti dari do'a nabi kepadanya. Lihat al-Suyuti, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an. Vol. II (Bairut: Muassasah al-Kutub al-Thaqafiyah, 1996), 7.
23 Al-Zarqani, Manahil, 289. 23 Diantara golongan ini adalah golongan Mu'tazilah, Syiah dan beberapa tokoh 'Asy'ariyah seperti Imam al-Haramain al-Juwaini. Lihat Tim, Ensiklopedi Islam vol. I (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993). 315.
24 Di antara golongan ini adalah golongan Mu'tazilah, Syiah dan beberapa tokoh 'Asy'ariyah seperti Imam al-Haramain al-Juwaini. Lihat Tim, Ensiklopedi Islam vol. I (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993). 315.
Penulis: M. Aqim Adlan
Penulis adalah guru Madrasah Aliyah Tribakti (Lirboyo) Kediri.

Dialektika Gaya Bahasa Al-Qur'an dan Budaya Arab Pra-Islam
Indeks > Artikel > Dialektika Gaya Bahasa Quran
Indeks
1. Pendahuluan
2. Konteks Sosio-Historis Arabia Pra-Islam
3. Dialektika Gaya Bahasa al-Qur'an
4. Dialektika Gaya Bahasa al-Qur'an dan Konteks Sosio-Historis Arabia Pra-Islam
5. Penutup
6. Referensi
Pendahuluan
Allah SWT memberikan satu kelebihan kepada umat manusia berupa akal pikiran, agar ia mampu menjalankan tugas dan misinya sebagai khalifatullah fi al-ardl. Juga karena kasih sayang-Nya, kemudian Allah menurunkan wahyu berupa al-Qur'an melalui Jibril kepada Nabi SAW untuk dijadikan referensi dalam kehidupan.
Sejak Tuhan "berbicara" itulah maka Islam lahir sebagai agama, ia bukan hanya sebagai fakta historis, melainkan sebuah kehadiran Tuhan dalam bentuk "kalam". Seluruh kebudayaan Islam memulai langkahnya dengan fakta sejarah bahwa manusia disapa Tuhan dengan bahasa yang Dia ucapkan sendiri.
Dari sisi motif pewahyuan, pada mulanya manusia (Muhammad) adalah obyek dari kitab suci. Ia diwahyukan Tuhan untuk menyapa manusia dan mengajaknya ke jalan keselamatan. Tetapi dalam perjalanannya, ketika wahyu telah menjelma menjadi teks, maka ia berubah menjadi obyek, sementara manusia berperan sebagai subyek.
Tercatat dalam sejarah bahwa al-Qur'an diturunkan secara evolusi dan berkesinambungan (tadrij) selama lebih kurang 23 tahun. Hal ini memberikan kesan bahwa al-Qur'an benar-benar berdialog. Sekaligus mengoreksi kehidupan umat manusia (M. Faruq al-Nabhan: 1981:83).
Dengan kalimat lain, al-Qur'an yang turun berangsur-angsur mengenal konteks sosial dan konteks psikologis masyarakat Arab. Sebab itu, dalam studi ulumul Qur'an dikenal konsep asbab al-nuzul dan nasikh mansukh di mana isi dan pesan al-Qur'an menjalin dialektika dan selalu memperhatikan kemaslahatan hidup manusia.
Gaya bahasa al-Qur'an memiliki hakikat yang khusus, berbeda dengan bahasa-bahasa yang lain. Hal ini karena sifat hakikat al-Qur'an itu sendiri, yaitu sebagai sarana komunikasi antara Tuhan dengan makhluk-Nya.
Sedangkan bahasa dalam pengertian umum hanya merupakan sarana komunikasi antara manusia satu dengan yang lainnya. Atomisme logis mengatakan bahwa hakikat bahasa adalah melukiskan dunia sehingga struktur logis bahasa sepadan dengan struktur logis dunia. Sementara positivisme logis lebih jauh mengatakan bahwa makna bahasa harus dapat diverifikasi secara empiris dan logis.
Berbeda dengan bahasa al-Qur'an, ia bukan hanya mengacu pada dunia melainkan mengatasi ruang dan waktu, bersifat metafisik, mengacu pada dimensi Ilahiyah dan adikodrati.
Mengingat hakikat bahasa al-Qur'an yang mengacu pada dimensi tersebut di atas, maka untuk memahami ayat-ayat al-Qur'an tidak mungkin hanya berdasarkan pada kaidah-kaidah linguistik semata. Sebab itu dalam upaya mengatasi stagnasi bahasa, terutama kaitannya dengan dimensi Ilahiyah, dimensi metafisik, dan dimensi adikodrati, maka sangat realistis bilamana kemudian dikembangkan bahasa metafor dan analogi (majaz-tasybih).
Karena bahasa metafor dan analogi dapat memberikan jembatan rasio manusia yang terbatas dengan dimensi Ilahiyah, metafisik, adikodrati yang serba tidak terbatas, bahkan juga mengatasi ruang dan waktu. Hal ini berdasarkan pada suatu kenyataan tentang hakikat bahasa bahwa bahasa sebagai simbol pasti memiliki suatu acuan. Karena itu, tidak mengherankan apabila di dalam bahasa al-Qur'an banyak ditemukan ungkapan metaforik-simbolik, atau yang populer di kalangan pemikir muslim disebut majaz.
Selain faktor di atas, ungkapan metaforis yang disajikan al-Qur'an sangat terkait dengan faktor psikologis dan peradaban masyarakat Arab secara umum. Ia merupakan hasil proses dialektis dan jawaban Muhammad atas konteks yang dihadapi.
Dalam konteks tertentu al-Qur'an perlu menyampaikan dengan bahasa metaforis, dan pada konteks yang lain harus diungkapkan dengan bahasa yang tegas dan lugas. Sehingga al-Qur'an itu didesain dan dikonstruk sesuai dengan konteksnya. Dengan begitu, pemahaman baru terhadap al-Qur'an bukan berarti mereduksi, tetapi membuktikan sejauh mana al-Qur'an mampu berdialog dengan realitas.
Dalam kajian bahasa disebutkan, terpisahnya teks dari pengarangnya dan dari situasi sosial yang melahirkannya, maka berimplikasi sebuah teks bisa tidak komunikatif lagi dengan realitas sosial yang melingkupi pihak pembaca. Sebab, sebuah karya tulis pada umumnya merupakan respon terhadap situasi yang dihadapi oleh penulis dalam ruang dan waktu tertentu. Karena itu, dalam tradisi tafsir, terutama di kalangan Sunni, permasalahan di atas dapat dikembalikan dan dibatasi pada analisa asbab al-nuzul atau konteks sosio-historis di seputar turunnya al-Qur'an (Komaruddin Hidayat: 1996:140).
Dengan demikian, analisis konteks cukup berperan dalam memahami peristiwa pewahyuan, sebab ayat-ayat al-Qur'an tidak akan dapat dimengerti kecuali dengan melihat konteks saat wahyu diturunkan. Mengutip Mustansyir (2001: 155) sebagai berikut:
Wittgenstein menegaskan bahwa arti suatu kata bergantung pada penggunaannya dalam kalimat, sedangkan arti suatu kalimat bergantung pada penggunaannya dalam bahasa.
Artinya, kita bisa terjebak ke dalam kerancuan bahasa manakala kita menjelaskan pengertian suatu kata dengan memisahkannya dari situasi yang melingkupinya. Baik secara tersirat maupun tersurat dalam al-Qur'an banyak dijumpai ungkapan-ungkapan yang disajikan dengan gaya bahasa meteforik-simbolik mengenai fenomena kehidupan masyarakat Arab pra-Islam. Mereka adalah sebuah komunitas yang pertama kali disapa oleh al-Qur'an.
Pengungkapan dengan gaya bahasa tersebut pada saat al-Qur'an diturunkan memang sangat diperlukan, sebab secara psikologis maupun sosiologis masyarakat Arab sudah memiliki keyakinan yang kuat, berwatak kasar, berpikiran sempit, dan hidup tidak pasti.
Selain mengandung misteri dan mitos yang setiap saat akan melahirkan nuansa, imajinasi dan jawaban konseptual dengan mengaitkannya pada konteks sosial dan psikologis pembaca, bahasa metaforis juga memiliki kekuatan yang bisa mempertemukan antara ikatan emosional dan pemahaman kognitif sehingga seseorang dimungkinkan untuk mampu melihat dan merasakan sesuatu yang berada jauh di belakang teks. Dan juga diyakini, bahwa bahasa metaforis memiliki kekuatan yang bisa membangkitkan imajinasi kreatif untuk membuka wilayah pemahaman baru yang batas akhirnya belum diketahui.
Berangkat dari fenomena di atas, maka dalam makalah ini penulis mengangkat satu judul "Dialektika Gaya Bahasa al-Qur'an dan Budaya Arab Pra-Islam (Sebuah Kajian Sosiologi Bahasa)". Untuk memperoleh hasil yang maksimal penulis terlebih dahulu memaparkan konteks sosio-historis Arabia pra-Islam sebagai obyek dan sasaran wahyu al-Qur'an diturunkan. Kemudian penulis akan menyajikan bagaimana bentuk dan gaya bahasa al-Qur'an mendeskripsikan fenomena yang berkembang di tengah kehidupan masyarakat Arab.
Konteks Sosio-Historis Arabia Pra-Islam
Kondisi geografis
Posisi Jazirah Arabia berada di dekat persimpangan tiga benua, sebelah barat dibatasi Laut Merah, sebelah timur dibatasi Teluk Persia, sebelah selatan dibatasi lautan India, dan sebelah utara dibatasi Suriah dan Mesopotamia (Syukri Faishal: 1973:1).
Secara garis besar Jazirah Arabia terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian tengah dan bagian pesisir. Daerah bagian tengah berupa padang pasir (shahra') yang sebagian besar penduduknya adalah suku Badui yang mempunyai gaya hidup pedesaan (nomadik), yaitu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.
Sedangkan bagian pesisir penduduknya hidup menetap dengan mata pencaharian bertani dan berniaga (penduduk kota). Karena itu mereka sempat membina berbagai macam budaya, bahkan kerajaan (Badri Yatim: 2000:9).
Adanya dua macam kondisi geografis yang berbeda ini mengakibatkan terjadinya dualisme karakter penduduk, yakni antara kaum Badui dan penduduk kota (Effat al-Sharqawi:1986:37).
Keadaan alam yang tidak ramah, bila musim panas suhu matahari terasa membakar, dan sebaliknya, jika musim dingin cuaca berubah menjadi sangat dingin selain mempengaruhi watak, sikap, dan perangai yang tercermin dalam kebudayaannya juga dapat memperlihatkan cara atau gaya hidup yang kasar dan primitif. Dikarenakan situasi yang tidak kondusif, maka secara historis mereka harus menjalani kehidupan yang keras, gigih dan lebih mengutamakan kekuatan fisik. Menghadapi kenyataan ini mereka dipaksa memiliki sifat keberanian untuk bisa bertahan hidup (A. Latif Osman:2000:24).
Bagi masyarakat Arab dunia yang fana ini merupakan satu-satunya dunia yang eksis. Eksistensi di luar batas dunia merupakan hal yang nonsen. Konsepsi tentang eksistensi yang mencirikan pandangan dunia pagan Arab ini direkam dalam berbagai bagian al-Qur'an. Mereka berkata, "Kehidupan kita hanyalah di dunia ini, kita mati dan kita hidup serta tidak ada yang membinasakan kita kecuali masa" (QS. 45:24).
Kemungkinan akan dibangkitkannya manusia dalam kehidupan mendatang sama sekali merupakan konsepsi yang asing dan berada di luar benak mereka. Sehingga pengejaran terhadap kenikmatan semu duniawi yang dilakukan dengan berbagai cara menjadi fenomena umum di Arabia (Taufik Adnan Amal: 2001:17).
Sosio-Kultural Arabia
Kebiasaan mengembara membuat orang-orang Arab senang hidup bebas, tanpa aturan yang mengikat sehingga mereka menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan. Pada musim paceklik dan musim panas, mereka terbiasa melakukan perampasan sebagai sarana hidup.
Peperangan antar kabilah untuk merebut sumber mata air menjadi tradisi yang kuat, bahkan berlanjut dari generasi ke generasi. Karena itu, mereka membutuhkan keturunan yang banyak terutama anak laki-laki untuk menjaga kehormatan kabilahnya.
Sementara anak perempuan, dalam pandangan mereka dianggap sebagai makhluk inferioritas yang tidak memberikan kontribusi apa pun, maka dengan terpaksa harus dikubur "hidup-hidup" (Ashgar Ali Engineer: 1999:21).
Jika malam tiba, mereka mengisinya dengan hiburan malam yang sangat meriah. Sambil meminum minuman keras para penyanyi melantunkan lagu-lagu dengan iringan musik yang iramanya menghentak-hentak dari tetabuhan yang terbuat dari kulit.
Dalam keadaan mabuk jiwa mereka melayang-layang penuh dengan khayalan, kenikmatan, dan keindahan. Dan dengan bermabuk-mabukan itu pula mereka dapat melupakan kesulitan dan kekerasan hidup di tengah padang pasir (Badri Yatim dan H.D. Sirojuddin AR:1997:42).
Namun di balik watak dan prilaku keras mereka memiliki jiwa seni yang sangat halus dalam bidang sastra, khususnya syair. Kepandaian dalam menggubah syair merupakan kebanggaan, dan setiap kabilah akan memposisikan pada tempat yang terhormat. Maka tidak heran kalau pada masa itu muncul para penyair ternama, semisal Umru' al-Qais, al-Nabighah al-Dubyani, A'sya, Harits bin Hillizah al-Yasykari, Antarah al-Absi, Zuhair bin Abi Sulma, Lubaid bin Rabi'ah dan lainnya.
Mereka mengekspresikan syairnya di pasar Ukkadz yang terletak di antara Tha'if dan Nakhlak. Syair-syair yang berkualitas tinggi kemudian digantung di sekitar Ka'bah dan dianggap sebagai hasil karya sasrta yang bermutu (muallaqat) (Abdul Aziz:1402:75).
Sebelum Islam datang, tradisi pendidikan mereka terbatas pada tradisi lisan. Pewarisan pengetahuan berlangsung dari mulut ke mulut (oral), dan dari generasi ke generasi. Materi pendidikan mencakup pengetahuan dan ketrampilan dasar sesuai dengan kondisi kehidupan setempat saat itu. Dengan kebanyakan penduduk yang masih nomad dan peternakan sebagai sumber daya utama, maka materi pendidikan mencakup teknik dasar beternak secara alamiah, mengetahui lokasi lahan tempat rumput subur, menunggang kuda, dan pengetahuan dasar tentang arah untuk menghindari kesesatan di tengah padang pasir.
Pada kehidupan nomad seperti ini, kita tidak tahu apakah upaya pewarisan ini terjadi secara sistimatis dan terencana, atau berlangsung sebagai bagian dari hidup itu sendiri. Yang pasti, apa yang kita sebut sebagai pendidikan pada saat itu jelas berbeda dengan apa yang kita pahami di era modern.
Sisi lain yang menarik dari kegiatan pendidikan mereka adalah dominannya syair sebagai media ekspresi pemeliharaan buah pikiran dan tradisi yang mengakar. Bagi masyarakat Arab, mengungkapkan sesuatu dalam bentuk syair mempunyai nilai lebih dibanding dengan ungkapan bebas (prosa). Sehingga tidak mengherankan kalau syair merupakan salah satu bagian penting dari kegiatan budaya dan intelektual mereka dari dulu sampai sekarang (Hasan Asari:1995:104).
Situasi Keberagamaan
Kerasnya situasi gurun pasir membuat masyarakat Arab sering menghadapi rasa putus asa dan ketakutan. Maka untuk meneguhkan hatinya, mereka mempercayai takhayyul yang dianggap dapat memberikan keteguhan, kekuatan, dan kemakmuran. Selain itu, ada juga kepercayaan yang bersumber dari cerita rekaan berupa legenda yang tertuang dalam syair-syair atau cerita mengenai kepercayaan dan peribadatan yang mereka percayai sebagai suatu agama.
Dalam kajian antropologis, mungkin inilah salah satu alasan mengapa manusia beragama? Agama menambah kemampuan manusia untuk menghadapi kelemahan hidupnya. Agama dapat memberi dukungan psikologis waktu terjadi tragedi, kecemasan, dan krisis. Agama juga memberi kepastian dan arti bagi manusia, karena secara naturalistis nampaknya di dunia ini penuh dengan hal-hal yang probabilistis (Roger M. Keesing dan Samuel Gunawan:1992:93).
Suku nomad padang pasir tidak mempunyai agama formal atau doktrin tertentu. Mereka menganut apa yang disebut dengan humanisme suku, di mana yang paling penting adalah keunggulan manusia dan kehormatan sukunya (W. Montgomery Watt:1961:51).
Keadaan ini berbeda dengan penduduk kota Mekkah. Karena mereka tinggal di sebuah kota dan sibuk dengan perdagangannya, maka mereka memerlukan agama formal. Apalagi bagi kelas bawah yang mengalami kesulitan materi yang disebabkan oleh ketimpangan dalam distribusi kekayaan, sehingga mereka memerlukan semacam ketenangan spiritual. Sedangkan masyarakat pertanian mengembangkan peribadatannya sendiri yang dikaitkan dengan kesuburan tanah.
Pemujaan ini secara perlahan berkembang dari bentuk yang abstrak menjadi bentuk yang konkrit. Al-Syahrastani, seorang sejarawan muslim mengatakan bahwa terdapat 360 berhala di sekitar Ka'bah, yang paling terkenal adalah Hubal yang dibawa oleh Amr bin Lahi dari Belka di Syiria ke Arabia dengan tujuan agar bisa mendatangkan hujan.
Tiga patung tuhan lainnya yang terkenal di Mekkah adalah Manat, Lata, dan Uzza, menurut Tor Andrae persembahan buat ketiganya sudah berlangsung lama. Dengan menilik namanya, Manat yang dipuja oleh suku Hudzail yang suka berperang dan mengarang puisi serta tinggal di selatan Mekkah nampaknya ia menjadi model dewa perempuan yang menentukan nasib dan keberuntungan. Sedangkan Lata dikenal pada masa Heroditus, dan bermakna "Dewi". Dalam sejarah Arab Lata mempunyai kedudukan sebagai Dewi Semit garis ibu, kesuburan, dan langit terutama di kawasan Semit barat. Sedangkan Uzza yang berarti perkasa dan terhormat berada di Nakla.
Dari penjelasan di atas dipahami, bahwa ketiga patung tersebut adalah perempuan, dan ketiganya dikaitkan dengan ritus kesuburan tanah atau pemujaan ibu yang berasal dari wilayah utara atau negara-negara Mediterranian. Karena di Mekkah sistem patriarki lebih menonjol, sehingga sistem matrilineal secara struktural tidak menjadi bagian dari masyarakat.
Dalam struktur masyarakat superioritas laki-laki lebih dominan, maka tuhan-tuhan perempuan tidak dipuja dalam upacara meminta kesuburan. Satu-satunya kesimpulan yang bisa dikemukakan adalah bahwa tuhan-tuhan itu berasal dari daerah yang di situ pertanian sangat menonjol, yaitu kawasan subur di utara (W. Montgomery Watt: 1961:50).
Di antara mereka masih ada suku-suku yang menganut agama hanif berdasarkan kepada ajaran-ajaran yang telah disampaikan Nabi Ibrahim AS. Ka'bah tetap dihormati dan dijadikan sebagai satu-satunya rumah peribadatan. Namun lambat laun sendi-sendi ketauhidan sudah mulai retak dan hancur. Maka di atas runtuhnya nilai-nilai tauhid itu, patung dan berhala pujaan mereka ditaruh di sekitar Ka'bah. Mungkin pada saat itu Ka'bah merupakan simbol pertemuan keagamaan yang dikenal bangsa Arab sebelum Islam, tetapi pertemuan itu dalam rangka keanekaan dan perbedaan kepercayaan. Karena itu, ritus dan tata upacara mereka dalam melaksanakan ibadah haji beraneka sesuai dengan perbedaan kepercayaan dan sesembahannya.
Dinamika Politik
Masyarakat Arab, baik yang nomadik maupun yang menetap hidup dalam budaya kesukuan Badui. Organisasi dan identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam suatu rentang komunitas yang luas. Kelompok beberapa keluarga membentuk kabilah (klan) dan setiap kabilah membentuk suku yang dipimpin oleh seorang syaikh. Mereka sangat menekankan hubungan kesukuan, sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan.
Secara sosiologis, menurut Soerjono Soekamto (1969:41) dengan mengutip pendapat Ibn Khaldun, bahwa faktor yang menyebabkan bersatunya manusia dalam suku-suku, klan, negara dan sebagainya adalah rasa solidaritas. Faktor inilah yang menyebabkan adanya ikatan usaha atau kegiatan bersama.
Sementara menurut Kinloch, hubungan antar kelompok itu menjadi kuat karena terdapat beberapa ciri atau kriteria yang sama, di antaranya:
 ciri fisiologis
 kriteria kebudayaan
 kriteria ekonomi
 kriteria pelaku
(Kamanto Sunarto: tt:145)
Watak dan loyalitas kesukuan ini oleh Ibn Khaldun disebut sebagai ashabiyah yang menjadi faktor penting dalam membentuk kelompok politik yang solid. Ashabiyah menurutnya tidak hanya meliputi satu keluarga saja yang dihubungkan oleh tali kekeluargaan, tetapi ia juga meliputi hubungan yang timbul akibat terjadinya persekutuan (Zainab al-Khudairi: 1995:143).
Ashabiyah, seperti diketahui, hanya terdapat di kalangan orang-orang desa, sementara di kalangan orang-orang kota kadar ashabiyah jauh mengecil. Sekalipun solidaritas sosial masih ditemukan. Ada satu faktor yang membuat kuatnya semangat ashabiyah di kalangan masyarakat desa, yaitu kerasnya kehidupan karena mereka khawatir terhadap serangan dari luar. Jadi ashabiyah-lah yang menghubungkan antara individu yang satu dengan individu yang lain, sehingga mereka menjadi kuat dan musuh-musuh akan mejadi segan (Zainab al-Khudairi:1995:147).
Di kalangan suku sering terjadi konflik atau ghazwa (perang antar suku). Di antara penyebabnya adalah perselisihan untuk merebut kepemimpinan, kekuasaan, kekuatan, perebutan sumber mata air, perebutan padang rumput untuk gembala ternak, dan sebagainya. Perselisihan itu tidak menjadi padam dengan berakhirnya perang. Tetapi ia tetap diekspresikan dalam bentuk gubahan syair yang membangkitkan semangat suku.
Menurut sebagian para peneliti, perang antar suku ini menyingkapkan karakteristik semangat fanatisme dan sifat cepat marah bangsa Arab yang kadang kala membangkitkan pikiran khas kaum Badui untuk cepat melakukan kebajikan, dan kadang kala mendorong berbuat hal yang tercela. Selain itu, ia juga menyingkapkan relung-relung moral bangsa Arab yang diwarnai dengan individualisme, keras kepala, dan sulit dikendalikan. Semua ini membentuk keangkuhan dan kesombongan dalam berperang untuk mempertahankan sukunya, apakah sukunya itu benar atau salah (Effat al-Sharqawi: 1986:48).
Keadaan Perekonomian
Mekkah merupakan pusat keagamaan dan perdagangan, selain terdapat beberapa pasar yang terkenal untuk melakukan transaksi, seperti pasar Ukkazh, Majnah, dan Dzi al-Majaz. Di samping sebagai aktivitas transaksi, pasar juga berfungsi sebagai panggung seni untuk unjuk kemampuan mengekspresikan karya-karya sastra, terutama dalam bentuk gubahan syair.
Menurut Effat (1986:41), ditinjau dari aspek budaya pada zaman dahulu Semenanjung Arabia terbagi menjadi dua bagian. Pertama, kawasan yang sedikit sekali terkena dampak budaya luar. Dan kedua, kawasan yang mempunyai hubungan begitu erat dengan luar. Penduduk bagian pertama yang diwakili penduduk jantung Semenanjung Arabia, betapapun tertutupnya telah berhasil merealisasikan salah satu fase partisipasi ekonomi di antara mereka. Ini nampak gamblang dalam kekohesifan suku dalam kawasan ini. Menurut hukum mereka, kekayaan suku adalah milik suku dan menjadi usaha bersama yang dinikmati seluruh anggota sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Sebaliknya, semua anggota berusaha mengembangkan kekayaan itu sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Dalam dua sistem sosial yang berkembang di Semenanjung Arabia, yaitu sistem suku dan sistem kaum pengembara, terdapat kecendrungan ke arah partisipasi dan kerjasama ekonomi. Jadi, kedermawanan Arab yang sering digambarkan secara terinci di dalam sastra jahili maksudnya adalah sebagai usaha perwujudan partisipasi ekonomi. Tampaknya, sulitnya kehidupan di padang pasir, kerasnya sendi-sendi ekonomi, dan bayang-bayang kelaparan bisa memaksa setiap orang untuk terpanggil dalam partisipasi ekonomi tersebut.
Sementara itu di daerah perkotaan dan kawasan yang bertetangga dengan negara-negara besar, penduduknya mempunyai sistem ekonomi yang berbeda dengan sistem ekonomi kaum Badui tadi. Penduduk daerah perkotaan lebih banyak bergerak di sektor perdagangan, sejalan dengan adanya jalur-jalur perdagangan di sana. Yang terkenal profesional dan penggerak mata rantai perdagangan ini ialah orang-orang Yaman, sedangkan orang-orang Hijaz yang membeli komoditi tersebut dijual di pasar Syam dan Mesir. Karenanya tidak heran apabila di Mekkah dan Yaman terjadi kesenjangan status sosial yang begitu lebar (Effat al-Sharqawi: 1986:43).
Meskipun Madinah memiliki peran sentral dalam evolusi eksternal misi kenabian Muhammad, namun komersial Mekkalah yang tampaknya paling mendominasi ungkapan-ungkapan dalam al-Qur'an. Kafilah-kafilah dagang yang biasanya pergi ke selatan di musim dingin, dan ke utara di musim panas dirujuk dalam al-Qur'an (106:2).
Istilah tijarah (perniagaan) disebutkan sebanyak sembilan kali, dan ia merupakan tema sentral yang tercermin dalam perbendaharaan kata yang digunakan dalam kitab suci tersebut. W. Montgomery Watt (1998:5) mengutip C.C. Torry, menyimpulkan bahwa istilah-istilah perniagaan digunakan dalam kitab suci tersebut untuk mengungkapkan butir-butir doktrin yang paling mendasar, bukan sekedar kiasan ilustratif.
Ungkapan-ungkapan di dunia perniagaan memang menghiasi lembaran-lembaran al-Qur'an dan digunakan untuk mengungkapkan ajaran Islam yang asasi. Hisab, suatu istilah yang lazim digunakan untuk perhitungan untung-rugi dalam dunia perniagaan muncul di beberapa tempat dalam al-Qur'an sebagai salah satu nama hari kiamat (yaum al-hisab), ketika perhitungan terhadap segala perbuatan manusia dilakukan dengan cepat (sari' al-hisab). Sementara kata hasib (pembuat perhitungan) dinisbatkan kepada Tuhan dalam kaitannya dengan perbuatan manusia. Setiap orang akan bertanggungjawab atas segala perbuatan yang telah dilakukannya.
Juga ungkapan lainnya yang lazim digunakan dalam masyarakat niaga Mekkah, seperti menjual (bay') dan membeli (isytara) pada umumnya digunakan al-Qur'an untuk mengungkapkan gagasan-gagasan keagamaan Islam yang mendasar. Dalam al-Qur'an (9:111) disebutkan, "Sesungguhnya Tuhan telah membeli orang-orang beriman diri dan harta mereka dengan memberikan surga kepada mereka ……. maka bergembiralah dengan transaksi yang telah kamu lakukan dan itulah kemenangan yang besar".
Orang-orang beriman dinyatakan sebagai orang-orang yang menjual (yasyruna) kehidupan dunia ini dengan kehidupan akhirat (QS. 4:74). Sementara orang-orang yang tidak beriman dikatakan telah membarter (isytarau) kesesatan dengan petunjuk (QS. 2:16), atau kekafiran dengan keimanan (QS. 3:177). Lebih jauh kata bay' di beberapa tempat dalam al-Qur'an juga dihubungkan dengan pengadilan akhirat, dan disebutkan bahwa pada hari itu tidak ada lagi transaksi (QS: 2:254 & 14:31) (Taufik Adnan Amal: 2001:14).
Dialektika Gaya Bahasa al-Qur'an
Paradigma majaz: Analisis Historis
Dalam kajian gaya bahasa Arab modern konsep majaz lazim digunakan oleh para sarjana klasik sebagai lawan dari istilah haqiqah. Berkaitan dengan persoalan majaz, secara historis setidaknya ada tiga kelompok berbeda pandangan yang memposisikan majaz sebagai lawan dari haqiqah.
Pertama, Mu'tazilah yang secara dogmatis ajarannya banyak bersinggungan dengan majaz. Mereka menjadikan majaz sebagai senjata untuk memberikan interpretasi terhadap teks-teks yang tidak sejalan dengan pemikiran mereka.
Kedua, Dzahiriyah, kelompok yang menolak keberadaan majaz baik dalam bahasa maupun dalam al-Qur'an, dan sebagai konsekuensi mereka juga menolak adanya ta'wil (interpretasi). Pada intinya mereka menentang dengan keras pemahaman terhadap teks yang melampaui bahasa. Dan ketiga, Asy'ariyah yang mengakui adanya majaz dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Paling tidak mereka memposisikan diri secara moderat di antara dua kelompok di atas (Nasr Hamid Abu Zaid:1994:122)
Perbedaan pendapat berkenaan dengan eksistensi majaz dalam al-Qur'an disebabkan karena perbedaan analisis dan kesimpulan mengenai asal-usul bahasa. Kalangan Mu'tazilah berkeyakinan bahwa bahasa semata-mata merupakan konvensi murni manusia. Sementara kalangan Dzahiriyah berkeyakinan bahwa bahasa merupakan pemberian Tuhan (tawqifi) yang diajarkan kepada Adam, dan setelah itu beralih kepada anak keturunannya. Berbeda dengan kelompok Asy'ariyah yang menyatakan, bahasa merupakan kreativitas manusia, akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa Tuhan juga berperan dalam memberikan kemampuan kepada manusia.
Meminjam istilah Komaruddin (1996:29), secara garis besar terdapat tiga teori mengenai asal-usul bahasa, yaitu: teologis, naturalis dan konvensionalis. Pendukung aliran teologis mengatakan, manusia bisa berbahasa karena anugerah Tuhan, pada mulanya Tuhan mengajarkan kepada Adam selaku nenek moyang seluruh manusia. Teori kedua, naturalis, beranggapan bahwa kemampuan manusia berbahasa merupakan bawaan alam, sebagaimana kemampuan untuk melihat, mendengar maupun berjalan. Dan teori ketiga, konvensionalis, berpandangan bahwa bahasa pada awalnya muncul sebagai produk sosial. Ia merupakan hasil konvensi yang disepakati dan kemudian dilestarikan oleh masyarakat.
Pertentangan mengenai asal-usul bahasa jauh sebelum pemikir muslim telah muncul dan menjadi polemik di kalangan filosof Yunani. Apakah bahasa itu dikuasai alam, nature atau fisei, ataukah bahasa itu bersifat konvensi atau nomos. Pendapat yang menyatakan bahwa bahasa adalah bersifat alamiah (fisei) yaitu bahasa mempunyai hubungan dengan asal-usul, sumber dalam prinsip-prinsip abadi dan tak dapat diganti di luar manusia itu sendiri, dan karena itu tak dapat ditolak. Kaum naturalis dengan tokoh-tokohnya, seperti Cratylus dalam dialog dengan Plato mengatakan bahwa semua kata pada umumnya mendekati benda yang ditunjuk. Jadi ada hubungan antara komposisi bunyi dengan apa yang dimaksud. Bahasa bukanlah hanya bersifat fisis belaka, melainkan telah mencapai makna secara alamiah, atau fisei.
Sebaliknya, kaum konvensionalis berpendapat bahwa makna bahasa diperoleh dari hasil-hasil tradisi, kebiasaan berupa persetujuan bersama. Karena itu, bahasa dapat berubah dalam perjalanan zaman. Bahasa bukanlah pemberian Tuhan, melainkan bersifat konvensional. Demikian pendapat Hermogenes saat berdialog dengan Plato (Kaelan, M.S:1998:28).
Secara etimologis kata majaz tidak ditemukan dalam al-Qur'an, namun akar kata dari kata majaz, yaitu j-w-z, seperti jawwaza (memotong) dan tajawwaza (melewati) ada dalam al-Qur'an. Joseph van Ess, seperti yang dikutip Nur Kholis (2005:183) menyatakan, bahwa pada abad pertama Hijriyah kata majaz dalam kerangka argumentasi teologis, secara substantif telah dipergunakan. Pengertian substantif yang dimaksud adalah sebagai makna yang melewati batas-batas leksikal dan bukan arti yang sebenarnya. Salah satu contoh adalah interpretasi Joseph terhadap argumentasi-argumentasi teologis yang dikemukakan oleh Hasan Muhammad Ibn al-Hanafiyah (w. 100 H) yang dipahaminya sebagai pemahaman majazi. Pemahaman Joseph terhadap ungkapan Ibn al-Hanafiyah berangkat dari paradigma yang dibangun Jahm ibn Safwan (w. 128 H) yang menyatakan, "niemand handle realiter aussr Gott allein" (Tidak ada yang bisa melakukan sesuatu kecuali Tuhan semata_. Jahm berpendapat, bahwa kemampuan manusia melakukan sesuatu hanyalah merupakan ungkapan majazi, sehingga seolah-olah bisa dikatakan dalam ungkapan lain, "tumbuh-tumbuhan bergerak" atau "matahari terbenam", yang sejatinya adalah Tuhan-lah yang melakukannya.
Khususnya pada era Bani Umayyah, sulit untuk memisahkan antara argumentasi-argumentasi teologis dengan beberapa tendensi yang ada di luar tafsir dalam karya-karya tafisr klasik. Karena dalam sejarah kesarjanaan klasik telah didapatkan data sekaligus bahwa pemikiran-pemikiran teologis begitu kuat mewarnai penafsiran al-Qur'an. Misalnya karya Abu Ubaidah (w. 207 H) yang berjudul "Majaz al-Qur'an" menurut banyak peneliti dianggap sebagai karya paling awal yang secara eksplisit menggunakan kata majaz. Kajian John Wansbrough terhadap karya Abu Ubaidah menemukan sebanyak 39 model dan jenis ungkapan yang kesemuanya disebut dengan majaz. Akan tetapi majaz yang dimaksud tidak ada hubungannya secara eksplisit dengan majaz dalam pengertian kajian sastra Arab modern.
Adalah Abu Ziyad al-Farra' (w. 210) seorang linguis yang beralian Kuffah juga menggunakan derivasi kata majaz, yaitu tajawwuz (melampaui). Maksud tajawwuz di sini bisa berarti melampaui batas-batas leksikal dan gramatikalnya, tidak lagi terpaku pada makna dasar yang dimiliki sebuah kalimat. Misalnya ketika al-Farra' menafsirkan ayat "fama rabihat tijaratuhum" (maka tidaklah beruntung perniagaan mereka) (QS: 2:16). Kalimat di atas menurut al-Farra' melampaui batas-batas aturan kebahasaan Arab keseharian. Pemakaian "perniagaan yang menguntungkan" itu tidak lazim, dan yang dipakai adalah "pedagang yang mendapatkan untung dalam perniagaannya", atau "perniagaan anda untung, dan perniagaan anda merugi" (Nur Kholis: 2005:189).
Pengembangan konsep dari istilah majaz kemudian dilakukan oleh seorang teolog dan kritikus sastra berhaluan Mu'tazilah, adalah al-Jahiz (w. 155 H). Ia banyak mengembangkan teori bahasa dan filsafat bahasa. Karya berjudul "al-Bayan wa al-Tabyin" dan "al-Hayawan" merupakan karya yang memuat analisis teori bahasa yang mencerminkan pemikiran Mu'tazilah. Menurut al-Jahiz, majaz dipahami sebagai lawan dari haqiqah. Dalam karya-karyanya ia tidak hanya menggunakan satu-satunya kata majaz sebagai konsep inti, tetapi ia juga menggunakan beberapa kata yang memiliki arti senada, seperti matsal dan isytiqaq yang dalam penggunaannya mengarah kepada makna sesuatu yang lain. Terkait dengan majaz, al-Jahiz menetapkan dua persyaratan sehingga memungkinkan terjadinya peralihan makna: pertama, terdapat relasi atau hubungan antara makna leksikal dan makna hasil peralihan, dan kedua, peralihan makna tersebut merupakan hasil konvensi pengguna bahasa, bukan rekayasa individu.
Juga seorang teolog yang beraliran Sunni, Ibn Qutaibah (w. 276 H) dalam karyanya yang berjudul "Ta'wil Musykil a-Qur'an" memuat beberapa pembahasan tentang konsep majaz. Secara teoritis ia membagi majaz dalam dua kategori:
 majaz lafdzi
 majaz ma'nawi
Ibn Qutaibah mendefinisikan majaz sebagai bentuk gaya tutur, atau seni bertutur. Untuk itu kata majaz yang dipergunakan mencakup peminjaman kata (isti'arah), perumpamaan (tam-tsil), resiprokal (maqlub), susun balik (taqdim wa ta'khir), eliptik (hadzf), pengulangan kata (tikrar), ungkapan tidak langsung (ikhfa'), ungkapan langsung (idzhar), sindiran (kinayah), dan sebagainya (Abd al-Fattah Lasyin: 1985:129). Menurut pengertian di atas, ungkap Qutaibah, dalam al-Qur'an banyak ditemukan kata majaz sebagai lawan dari haqiqah. Dalam hal ini haqiqah dimengerti sebagai kata yang bermakna leksikal, atau makna apa adanya. Lebih jauh ia menyatakan, bahwa penolakan terhadap majaz dalam al-Qur'an berarti semua ungkapan kalimat dalam al-Qur'an merupakan kebohongan, karena ia bukan pengertian yang sesungguhnya. Ketika majaz dipahami sebagai bentuk kebohongan, maka semua kata kerja yang dipakai untuk binatang dan tumbuhan adalah salah. Juga dengan ungkapan komunitas, karena manusia mengatakan pohon tumbuh besar, bukit berdiri tegak, dan sebagainya.
Konsep majaz berikutnya dikembangkan oleh seorang ahli al-Qur'an, ahli gramatika, dan ahli filologi adalah Sibawaihi (w. 180 H), ia menyatakan majaz adalah seni bertutur yang memungkinkan terjadinya perluasan makna. Tokoh gramatik lainnya yang juga memberikan kontribusi terhadap konsep majaz adalah al-Mubarrad (w. 286 H), ia mengatakan majaz merupakan seni bertutur dan berfungsi untuk mengalihkan makna dasar yang sebenarnya. Begitu pula dengan Ibn Jinni (w. 392 H), seorang linguis yang turut menguraikan definisi majaz. Ia mengatakan, majaz sebagai lawan dari haqiqah, dan makna haqiqah adalah makna dari setiap kata yang asli, sedangkan majaz adalah sebaliknya, yaitu setiap kata yang maknanya beralih kepada makna lainnya. Dan tidak ketinggalan, al-Qadi Abd Jabbar (w. 417 H), seorang teolog beraliran Mu'tazilah mengatakan, majaz adalah peralihan makna dari makna dasar atau leksikal ke makna lainnya yang lebih luas. Konvensi bahasa dan maksud penutur merupakan prasyarat terjadinya ungkapan majazi, dengan begitu Abd Jabbar membagi dua model majaz, yaitu majaz dalm konvensi dan majaz dalam maksud penutur (Nur Kholis:2005:199).
Adalah Abd al-Qahir al-Jurjani (w. 471 H) melalui penalaran dua konsep yakni majaz versus haqiqah, ia mengatakan sebuah kata yang mengacu kepada makna asal atau makna dasar, tanpa mengundang kemungkinan makna lain disebut dengan haqiqah. Sedangkan majaz adalah ketika seseorang mengalihkan makna dasar ke makna lainnya karena alasan tertentu, atau ia bermaksud melebarkan medan makna dari makna dasarnya. Secara teoritik, menurut al-Jurjani majaz adalah peralihan makna dari yang leksikal menuju yang literer, atau dari yang denotatif menuju yang konotatif. Secara implisit, definisi di atas mengacu pada pengertian majaz mufrad, yakni majaz dalam kosa kata, sekaligus ia menunjukkan jenis majaz yang kedua yaitu majaz dalam kalimat. Pembagian ini dilandasi pada pertimbangan bahwa seseorang bisa merangkai majaz baik dalam bentuk kosa kata maupun dalam bentuk kalimat. Dan penggunaan ini sangat bergantung pada konteksnya (Nur Kholis:2005:202).
Termasuk katagori ungkapan majaz yang pernah berkembang di kalangan sarjana muslim klasik adalah tasybih. Istilah tasybih pertama kali dipakai pada era al-Mubarrad (w. 286 H) dan Ibn al-Mu'taz (w. 296 H), meskipun kata tersebut juga muncul pada era al-Farra' dan Abu Ubaidah, namun hanya sebatas sebagai tambahan penjelasan kebahasaan dan belum sampai pada pengertian sebagai diskursus ilmu bayan. Al-Jahiz (w. 255 H) misalnya, meskipun dalam banyak karya ia tidak menjadikan tasybih sebagai obyek kajiannya, namun ia sudah mengulas dan mempergunakannya sebagai penopang argumentasinya akan keindahan ungkapan al-Qur'an (Fadlal Hasan Abbas:1987:18).
Al-Mubarrad (w. 285 H) dalam karyanya yang berjudul "al-Kamil" memberikan ulasan tentang tasybih. Uraian al-Mubarrad dinilai oleh para kritikus sastra kontemporer sebagai sumbangan yang sangat berarti terhadap perkembangan tasybih dalam diskursus retorik Arab. Ia berpendapat, tasybih merupakan seni bertutur yang paling sering dipakai dalam bahasa Arab. Kajian khusus mengenai tasybih telah dilakukan oleh Ibn Abi 'Awn (w. 323 H), di mana ia tidak saja membahas tasybih secara komprehensif, melainkan juga pelbagai macam syair semenjak era klasik sampai era Abbasiyah. Dalam karyanya "al-Tasybihat", ia menempatkan ayat-ayat al-Qur'an sebagai pijakan dan basis keindahan serta kesempurnaan kei'jazan al-Qur'an. Tetapi kajian tasybih secara spesifik sebagai elemen ilmu bayan dalam kerangka sebagai dogma kei'jazan al-Qur'an baru diangkat oleh al-Rummani (w. 386 H). Dibandingkan para sarjana sebelumnya, al-Rummani bukan saja membahas tasybih pada tataran teoritis tetapi ia sudah masuk bagaimana al-Qur'an bisa dilacak keindahan sastranya melalui tasybih. Embrio pemikiran tasybih di atas kemudian disempurnakan oleh Abd al-Qahir al-Jurjani (w. 471 H), di mana ia lebih menjelaskan perbedaan antara tasybih dan tamstil.
Berkenaan dengan kajian tasybih maka pada tahapan berikutnya memunculkan tema sentral lainnya, yaitu isti'arah. Ia merupakan pengembangan dari tasybih, hanya saja perbedaannya kalau isti'arah salah satu saja dari tharafan tasybih yang muncul. Sastrawan Arab pertama kali menggunakan istilah isti'arah adalah Abu Amr bin al-'Ala' (w. 154 H), kemudian diikuti oleh Ibn Qutaibah (w. 276 H), al-Mubarrad (w. 285 H), Tsa'lab (w. 291 H), Qadamah (w. 337 H), al-Jurjani (w. 366 H), al-Rumani (w. 384 H), Abu Hilal (w. 395 H), Ibn Rasyiq (w. 463 H), dan Abd al-Qahir (w. 471 H), dan kemudian disempurnakan sehingga menjadi bagian dari ilmu al-bayan pada masa al-Sakaki (w. 626 H) _(Abd al-Fattah Lasyin:1985:160).:
Al-Qur'an menggunakan isti'arah bukan hanya sekedar sebagai proses peminjaman kata, seperti lazimnya digunakan dalam syair Arab, tetapi juga meminjam persamaan yang bisa dicerna secara nalar, atau sebagai persamaan yang diambil berdasarkan kemiripan akal. Sehingga prinsip peminjaman dalam al-Qur'an ini dimaksudkan untuk menarik perhatian para pendengar dan pembaca al-Qur'an sebagai resiptornya.
Selain tasybih dan isti'arah tema lain yang menjadi perbincangan adalah kinayah. Konsep ini telah muncul semenjak era Abu Ubaidah (w. 207 H), al-Farra' (w. 210 H) dan al-Jahiz (w. 255 H). Penggunaan kinayah banyak dilakukan oleh mereka dalam hubungannya dengan ayat-ayat al-Qur'an. Hanya saja konsep yang mereka kembangkan belum ditemukan penjelasan yang mendetail, khususnya terkait dengan kritik sastra Arab. Mereka menggunakan kinayah sebatas sebagai perangkat penjelasan tanpa memasuki kepada kajian yang bersifat teoritis.
Selain al-Mubarrad (w. 258 H), adalah al-Jurjani (w. 471 H) yang juga pernah melakukan kajian di mana ia menempatkan kinayah sejajar dengan format ungkapan puitik lainnya, seperti isti'arah, tasybih dan matsal sebagai elemen pembangun teori konstruksinya. Penjelasan al-Jurjani ini selaras dengan pembagian mengenai ungkapan, yakni makna dan makna dari makna. Makna adalah isi dari kosa kata yang bisa dipahami seseorang tanpa melalui perantara. Sedangkan makna dari makna adalah makna yang tidak bisa didapatkan langsung dari bunyi sebuah kata, melainkan melalui perangkat, dan perangkat tersebut di antaranya adalah isti'arah, tasybih, matsal, dan kinayah.
Dialektika Gaya Bahasa al-Qur'an dan Konteks Sosio-Historis Arabia Pra-Islam
Pada bagian ini penulis hanya memaparkan beberapa gaya bahasa al-Qur'an yang secara metaforis menjalin dialektika dengan konteks sosio-historis Arabia pra-Islam. Di antaranya adalah:
Majaz (Metafora)
Menurut Abd al-Qahir al-Jurjani (w. 471 H) majaz adalah kebalikan haqiqah. Sebuah kata yang mengacu kepada makna asal atau makna dasar, tanpa mengundang kemungkinan makna lain disebut dengan haqiqah. Sedangkan majaz adalah sebaliknya, yaitu perpindahan makna dasar ke makna lainnya, atau pelebaran medan makna dari makna dasar karena ada alasan tertentu. Secara teoritik, majaz adalah peralihan makna dari yang leksikal menuju yang literer, atau dari yang denotatif menuju yang konotatif karena ada alasan-alasan tertentu.
Misalnya dalam surat al-Baqarah ayat 19:
يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ
Mereka menyumbat telinganya dengan (anak) jarinya
Kata "ashabi'" di atas secara leksikal maknanya adalah jari-jari. Kiranya mustahil bagi orang-orang munafik Mekkah menyumbat telinganya dengan semua jari karena takut bunyi guntur yang mematikan. Tetapi yang dimaksud "ashabi'" dalam ayat tersebut adalah sebagian dari jari-jari, bukan semuanya. Pemahaman semacam ini berdasarkan konsep teori di atas disebut dengan majaz, salah satu alasannya adalah menyampaikan ungkapan dalam bentuk plural (jama') namun yang dimaksudkan adalah sebagian saja.
Andaikata itu pun bisa terjadi, yaitu menutup telinga dengan semua jarinya pasti dilakukan karena mereka benar-benar mengalami ketakutan yang luar biasa. Situasi ini digambarkan oleh al-Qur'an karena pada awal misi kenabian Muhammad di Mekkah banyak orang yang menyatakan "beriman" kepada Nabi, tetapi mereka masih menyembunyikan kekafiran di dalam hatinya (munafik). Kondisi keyakinan mereka dipaparkan begitu panjang lebar dalam al-Qur'an, khususnya dalam surat al-Baqarah.
Kalau kita mengamati secara cermat ungkapan-ungkapan dalam al-Qur'an maka akan ditemukan beberapa ayat yang menggunakan bentuk penghalusan bahasa (eufimisme). Barangkali ungkapan tersebut muncul karena ada beberapa faktor, baik yang bersifat historis maupun bersifat etis. Konsekuensi logis dari ungkapan itu akan menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para mufassir. Karena kebanyakan gaya bahasa eufimisme berimplikasi menjadi sebuah bahasa yang multi interpretatif (ambigu). Misalnya saja dalam surat al-Nisa' ayat 43 disebutkan:
أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
Atau kamu menyentuh perempuan kemudian kamu tidak mendapat air maka bertayamumlah dengan tanah yang suci.
Secara leksikal kata "laamastum" berarti saling menyentuh, tetapi jika melihat konteks keseluruhan ayat maka yang dimaksudkan dengan "laamastum" menurut jumhur ulama adalah berhubungan badan (jama'tum), sekalipun ada sebagian berpendapat lain, yaitu menyentuh.
Penggunaan majaz pada ayat di atas sangat dimaklumi. Sebab secara geografis, keadaan alam Arabia yang kering dan tandus sangat memaksa orang-orang Arab untuk hidup berpindah-pindah dari satu wadi ke wadi yang lain (nomad) guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebiasaan ini membuka peluang yang cukup besar akan terjadinya peperangan antara satu kabilah dengan kabilah lainnya.
Sikap permusuhan antara kabilah ini menyebabkan munculnya sifat buruk, yaitu mereka tidak menyukai anak perempuan karena tidak bisa diajak berperang dan hidup keras. Mereka berharap anak keturunan laki-laki yang banyak untuk regenerasi dalam kesatuan kabilah. Karena hanya dengan itu kekuatan dan kehormatan kabilah dapat terjaga.
Dikarenakan faktor cuaca yang tidak bersahabat dan suasana kehidupan yang gersang, maka harapan yang menyelimuti kehidupan mereka terkontaminasi oleh khayalan-khayalan kotor yang mengakibatkan timbulnya al-syahwah al-hayawaniyah (nafsu binatang). Munculnya nafsu binatang ini bersamaan dengan gaya hidup nomad (tanaqqul) yang harus mereka jalani sangat berpengaruh terhadap karakter dan tabiat mereka, yaitu terbentuknya sikap mendua terhadap wanita. Seringkali mereka menaruh rasa cinta kepada wanita lain, dan bahkan lebih dari pada itu mereka menyukai hidup "berpoligami" (Husein al-Hajj Hasan: 1990:18).
Kondisi ini seringkali mengilhami para penyair untuk menuangkan karya sastranya dengan bertemakan al-ghazal (romance). Jadi, perbincangan mengenai kecantikan seorang wanita di kalangan para penyair jahili bukan merupakan sesuatu yang tabu. Bahkan dalam pandangan mereka tema al-ghazal tak ubahnya seperti garam dalam masakan.
Karena latar seperti itu sehingga bahasa-bahasa al-Qur'an yang membicarakan tentang perempuan dan yang terkait dengannya selalu menggunakan bahasa yang halus, sopan, dan etis. Secara psikologis, kalau bahasa yang digunakan itu vulgar atau sesuai dengan konteksnya mungkin akan memancing munculnya sifat-sifat di atas yang sudah menjadi karakter hidup mereka. Karena itu, untuk memendam sifat-sifat tersebut al-Qur'an sengaja menyampaikan dengan bahasa yang sopan.
Begitu pula dalam ayat al-Qur'an ketika Allah membicarakan kedudukan dan posisi seorang isteri di hadapan sang suami ia digambarkan seperti ladang tempat bercocok tanam (har-tsun). Perhatikan ayat berikut:
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam itu bagaimana saja kamu kehendaki. (QS. 2:223).
Secara harfiah memahami ayat di atas seakan-akan ada kebebasan bagi sang suami. Namun tidak demikian, sekalipun dalam kenyataannya superioritas laki-laki terhadap perempuan sangat mendominasi saat itu tetapi Islam telah memberikan aturan yang jelas dan adil. Seorang isteri diibaratkan seperti ladang karena pada ayat sebelumnya (ayat 222) membicarakan kondisi perempuan yang menstruasi. Islam memberikan tuntunan bahwa perempuan yang sedang menstruasi tidak boleh diperlakukan seperti dalam keadaan normal. Maka untuk melunakkan dan meluluhkan hati mereka al-Qur'an menggambarkan seorang isteri seperti ladang jika ia dalam keadaan suci.
Dalam fenomena masyarakat Arab ladang memang menjadi simbol ketenangan dan kemakmuran hidup. Peperangan yang terjadi antara kabilah salah satunya disebabkan karena mereka berebut ladang sebagai sumber mata pencahariannya. Supaya mereka tetap mencintai isterinya seperti semula maka ia digambarkan dalam al-Qur'an seperti ladang. Karena dalam tradisi masyarakat Arab pra-Islam apabila isteri itu dalam keadaan menstruasi ia ditinggalkan begitu saja, tidak diberi nafkah sehingga statusnya tidak jelas.
Tradisi dan budaya yang mendeskriditkan posisi perempuan ini kemudian diperbaiki oleh Islam dengan cara yang halus agar kaum perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan kaum laki-laki.
Dalam pandangan ulama ahli balaghah (ahli gaya bahasa) konsep majaz sesungguhnya tidak ada perbedaan yang krusial dengan isti'arah (peminjaman kata). Perbedaan keduanya terletak pada alaqah (relasi antara makna dasar dengan makna lain). Jika alaqah-nya musyabahah (ada kesesuaian antara makna dasar dengan makna lain) maka disebut isti'arah, dan sebaliknya, jika 'alaqah-nya ghairu musyabahah (tidak ada kesesuaian) maka disebut majaz (Ahmad al-Hasyimi: 1960:291).
Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut:
وَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ جَعَلْنَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِالآخِرَةِ حِجَابًا مَسْتُورًا
Dan apabila kamu membaca al-Qur'an niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup. (QS. 17:45).
Bentuk majaz pada ayat di atas adalah kalimat "hijaban masturan" (dinding yang tertutup). Menurut mayoritas ahli tafsir maksudnya adalah dinding yang menutup, karena kata "masturan" bermakna menjadi sasaran, bukan sebagai pelaku. Jadi, arti yang tepat pada kata "masturan" adalah "satiran" (yang menutup). Di sini 'alaqah-nya adalah ghairu musyabahah, yaitu tidak adanya kesesuaian antara makna dasar (_masturan_--yang ditutup) dengan makna lain (satiran). Pemahaman ini terjadi hanya berdasarkan pada logika dan kebiasaan semata, bukan dari sisi struktur kalimatnya.
Berbeda dengan ungkapan isti'arah berikut ini:
... وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا ...
Dan kepalaku telah ditumbuhi uban. (QS: 19:4)
Secara leksikal kata "isyta'ala" bermakna menyala, "al-ra'su" bermakna kepala, dan "syaiba" bermakna uban. Namun kurang tepat jika ungkapan tersebut diterjemahkan "dan kepalaku menyala uban". Karena yang lebih pas adalah "dan kepalaku telah ditumbuhi uban". Perpindahan (penggunaan) makna "isyta'ala" (menyala) kepada "nabata" (tumbuh) adalah sesuai (musyabahah), karena dalam ungkapan itu ada kata "al-ra'su".
Maksudnya, kata "nabata" diserupakan dengan "isyta'ala" karena begitu banyaknya uban yang tumbuh di kepala. Kemudian kata "nabata" dibuang dan yang menjadi qarinah (indikator) adalah kata "syaiba" (uban). Qarinah yang dimaksud adalah kata atau keadaan yang tidak memperbolehkan sebuah kata diterjemahkan atau dipahami secara leksikal (haqiqi).
Keindahan dan kesempurnaan ungkapan dalam ayat ini tidak hanya terletak atau berpulang pada peminjaman kata (isti'arah) yang digunakan, melainkan juga berpulang pada kekhususan formulasi kalimat dalam ayat itu sendiri. Formulasi yang dimaksud adalah pilihan gaya tutur yang dipakai serta relasi antar struktur bagian kalimat yang satu dengan bagian lainnya. Kata "isyta'ala" dalam konteks ini mengacu kepada rambut yang memutih, meskipun secara leksikal dianggap mengacu kepada kata "al-ra'su".
Rahasia dari ungkapan ini terletak pada kata "isyta'ala" yang mengacu kepada rambut yang memutih, seolah rambut terbakar sehingga seluruhnya berubah menjadi warna putih. Makna dasar dari ungkapan ayat di atas adalah "rambut yang memutih", akan tetapi dengan struktur kalimat dalam ayat itu maknanya berkembang menjadi "rambut kepala memutih dengan tidak meninggalkan sisa sehelai rambut pun yang berwarna hitam".
Tasybih (Simile)
Secara etimologis tasybih berarti penyerupaan. Sedangkan secara terminologis adalah menyerupakan dua perkara atau lebih yang memiliki kesamaan dalam hal tertentu (Ahmad al-Hasyimi: 1960:247). Para sastrawan Arab menjelaskan bahwa tasybih merupakan elemen vital dalam karya sastra.
Menurut mereka tasybih memiliki empat unsur utama, yaitu:
 sesuatu yang diperbandingkan (al-musyabbah)
 obyek perbandingan (al-musyabbah bih)
 alasan perbandingan (wajh al-syibh)
 perangkat perbandingan (adat al-tasybih).
Sedangkan al-musyabbah dan musyabbah bih disebut tharafan al-tasybih, yaitu dua pilar yang harus ada dalam ungkapan kalimat yang berbentuk tasybih. Apabila salah satu yang muncul, apakah itu musyabbah atau musyabbah bih maka pembahasan ini bukan termasuk kategori tasybih, melainkan masuk pada kajian isti'arah. Karena itu, konsep majaz, isti'arah, dan tasybih mempunyai kaitan dan saling berhubungan.
Ahmad Badawi (1950:190) mengatakan, tasybih berfungsi memperjelas makna serta memperkuat maksud dari sebuah ungkapan. Sehingga orang yang mendengarkan pembicaraan bisa merasakan seperti pengalaman psikologis si pembicara. Dalam persoalan-persoalan yang berkaitan dengan eskatologis al-Qur'an seringkali digunakan bahasa metaforis yang diungkapkan dalam bentuk gaya bahasa simile (tasybih).
Karena bahasa metaforis memiliki kekuatan yang bisa mempertemukan antara ikatan emosional dan pemahaman kognitif sehingga seseorang dimungkinkan untuk mampu melihat dan merasakan sesuatu yang berada jauh di belakang teks. Contoh, bagaimana al-Qur'an menggambarkan hari kiamat? Di situ ditampilkan suara derap pasukan berkuda yang gagah yang siap melumatkan musuh dalam sekejap. Ada lagi al-Qur'an menggambarkan ketika suatu saat nanti bintang-gemintang saling bertabrakan yang satu menghancurkan yang lain sehingga memunculkan suara gemuruh yang tak terpikirkan dan manusia pun lari tunggang langgang karena ketakutan.
Menurut analisa psiko-linguistik, metafor dan bahasa ikonografik yang disajikan al-Qur'an sangat efektif untuk menghancurkan kesombongan masyarakat jahiliyah Arab kala itu yang tingkat sastranya dikenal sangat tinggi (Komaruddin Hidayat: 1996:83).
Perhatikan firman Allah yang melukiskan peristiwa hari kiamat dalam surat al-Qari'ah ayat 1-5:
الْقَارِعَةُ ۝ مَا الْقَارِعَةُ ۝ وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْقَارِعَةُ ۝ يَوْمَ يَكُونُ النَّاسُ كَالْفَرَاشِ الْمَبْثُوثِ ۝ وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوشِ ۝
Hari kiamat
Apakah hari kiamat itu?
Tahukah kamu apakah hari kiamat itu?
Pada hari itu manusia seperti kupu-kupu yang bertebaran.
Dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan.
Tidak ada seorang pun yang mengetahui seperti apa hari kiamat itu? Masyarakat Arab yang menjadi sasaran pertama al-Qur'an diturunkan mereka berhati keras, berwatak kaku, berpikiran sempit yang terkungkung oleh pengunungan dan padang pasir yang gersang, serta tidak ada tanaman yang tumbuh maka untuk meneguhkan keyakinan mereka bahwa kehidupan di dunia adalah fana Allah menggambarkan hari kiamat seperti kupu-kupu yang bertebaran, dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan.
Dalam keyakinan kita, sebagai seorang muslim tentu hari kiamat tidak sama persis seperti illustrasi dalam ayat-ayat di atas. Tetapi hal itu perlu dipahami, bahwa peristiwa-peristiwa ghaib seringkali diilustrasikan dengan sesuatu yang konkrit karena konteks masyarakat yang dihadapi Nabi memiliki karakter dan watak yang kaku. Karena latar demikian itu, maka hari kiamat dipersamakan dengan sesuatu yang nampak oleh penglihatan mereka. Dengan maksud agar mereka bisa membaca sehingga tumbuh keyakinan kuat terhadap ajaran yang dibawa Nabi SAW.
Juga dalam firman Allah yang menggambarkan sifat-sifat penghuni neraka lantaran mereka tidak mensyukuri ni'mat yang diberikan. Perhatikan surat al-A'raf ayat 179 berikut:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.
Kandungan tasybih dalam ayat di atas adalah "ula'ika kal an'am" (mereka seperti binatang ternak). Sebuah gaya bahasa yang ringkas, padat, jelas, dan penuh dengan makna. Orang-orang yang kufur terhadap ni'mat Allah, seperti orang yang dikaruniai hati tapi tidak dipergunakan untuk berpikir, dikaruniai penglihatan tapi tidak dipergunakan untuk melihat kebesaran-Nya, dan dikaruniai telinga tapi tidak dipergunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah maka Allah cukup mempersamakan mereka dengan satu ungkapan, yaitu "binatang ternak", bahkan lebih sesat.
Walaupun ia punya panca indra yang lengkap, tetapi ia tidak punya rasa malu, sering memakan milik orang lain, dan tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Secara sosiologis, Allah mempersamakan mereka dengan binatang ternak karena pada umumnya masyarakat Arab memelihara binatang-binatang ternak dan itu menjadi simbol kekayaan. Dan bahkan dalam al-Qur'an ada satu surat yang diberi nama surat "al-ِAn'am" (binatang ternak). Dengan seringnya mereka melihat binatang ternak maka akan menjadi mudah untuk mengetahui sifat-sifatnya yang buruk dan tidak manusiawi itu. Yang pada akhirnya mereka bisa membandingkan antara orang-orang yang pandai bersyukur dan orang-orang yang kufur, yang diibaratkan dalam al-Qur'an seperti binatang ternak.
Contoh lain bentuk ungkapan tasybih juga ditemukan dalam surat an-Nur ayat 39 di bawah ini:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun. Dan didapatinya (ketatapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. (QS. 24:39)
Melihat kondisi geografi tanah Arab yang sulit untuk mendapatkan air, maka dalam ayat tersebut Allah mempersamakan amal-amal orang kafir seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air dan bila didatangi tidak didapatinya. Satu gambaran yang benar-benar membuat mereka untuk berpikir mendalam, bahwa apa yang mereka lakukan selama ini di hadapan Allah tidak mendapatkan balasan sedikit pun. Mempersamakan amal-amal orang kafir dengan fatamorgana karena di tempat mereka hidup sangat sulit untuk mendapatkan air, dan itu menjadi sumber kehidupan masyarakat Arab secara keseluruhan. Persamaan itu akan membuat mereka lebih nyata untuk membaca fenomena alam yang kemudian direfleksikan kepada keyakinannya yang selama ini dianggap benar.
Bagaimana al-Qur'an memberikan kabar gembira kepada orang yang beriman dan berbuat kebaikan? Perhatikan ayat berikut.
وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِزْقًا قَالُوا هَذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan, inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu. Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya. (QS. 2:25)
Sebuah perumpamaan yang dapat memikat hati masyarakat Arab, jika mereka beriman dan berbuat baik maka baginya surga yang penuh dengan air, buah-buahan, dan isteri-isteri. Tidak bersahabatnya kondisi alam membuat mereka kekurangan sumber air, serta tandusnya tanah padang pasir mengakibatkan sulitnya untuk mendapatkan bahan makanan. Peperangan-peperangan yang terjadi di antara mereka banyak disebabkan oleh kebutuhan pokok tersebut, dan bahkan dipicu oleh kecintaan kepada seorang perempuan.
Kebutuhan fisik berupa air dan buah-buahan, serta kebutuhan biologis berupa isteri-isteri (bentuk jamak) merupakan fenomena dan realita yang menimpa masyarakat Arab. Untuk menggugah keyakinannya, agar mereka mau beriman kepada ajaran yang dibawa Nabi dan kemudian diwujudkan dalam bentuk perbuatan nyata maka al-Qur'an menyampaikan dengan gaya bahasa tasybih. Surga yang digambarkan suatu tempat yang penuh dengan air, buah-buahan, dan isteri-isteri adalah bentuk perumpamaan yang dapat memberikan stimulus, membangkitkan sugesti, dan menjadi dambaan dalam hidup mereka.
Isti'arah (Hipalase)
Para ahli bahasa, termasuk kritikus sastra meski banyak memberikan definisi isti'arah berbeda-beda, namun inti yang dimaksud saling mendekati. Misalnya definisi yang dikemukakan Ibn Qutaibah (w. 276 H), isti'arah adalah peminjaman kata untuk dipakai dalam kata yang lain karena ada beberapa faktor. Pada lazimnya, orang Arab sering meminjam kata dan menempatkannya untuk kata lain tatkala ditemukan alasan-alasan yang memungkinkan.
Juga dengan Tsa'lab (w. 291 H), ia mengatakan, isti'arah adalah peminjaman makna
kata untuk kata lainnya yang mana kata tersebut pada awalnya tidak memiliki makna yang dipinjamkan. Sementara al-Jurjani (w. 471 H) mendefinisikan isti'arah sebagai peralihan makna dari kata yang dalam penggunaan bahasa keseharian memiliki makna dasar, atau makna asli, kemudian karena alasan tertentu makna tersebut beralih kepada makna lainnya bahkan terkadang melampaui batas makna leksikalnya. Ia menjelaskan, bahwa isti'arah senantiasa mengandung unsur perbandingan.
Konsep isti'arah sebenarnya berangkat dan bermuara dari bentuk gaya bahasa tasybih. Jadi, pada hakikatnya ungkapan bentuk isti'arah ini adalah ungkapan bentuk tasybih yang paling tinggi. Menurut Ahmad al-Hasyimi (1960:304) dan para ahli balaghah lainnya, isti'arah mempunyai tiga unsur:
 musta'ar lah (musyabbah)
 musta'ar minhu (musyabbah bih)
 musta'ar (kata yang dipinjam).
Untuk lebih jelasnya perhatikan firman Allah surat Ibrahim ayat 1:
الر. كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
Alif, laam raa. (ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.
Dalam ayat di atas terdapat tiga kata yang dipinjam yaitu:
 al-dzulumat (gelap gulita),
 al-nur (cahaya),
 al-shirat (jalan).
Kata "al-dzulumat" dipinjam dari kata "al-kufr" (kekufuran), asalnya kekufuran diserupakan dengan suasana gelap gulita karena sama-sama tidak ada cahaya atau petunjuk.
Kemudian kata "al-kufr" dibuang dan maksudnya dipinjamkan kepada kata "al-dzulumat". Juga kata "al-nur" dipinjam dari kata "al-iman" (keimanan), asalnya keimanan diserupakan dengan cahaya karena sama-sama menerangi kehidupan. Kemudian kata "al-iman" dibuang dan maksudnya dipinjamkan kepada kata "al-nur".
Dan kata "al-shirat" dipinjam dari kata "al-Islam" (keislaman), asalnya jalan diserupakan dengan Islam karena sama-sama memberikan cara atau petunjuk. Kemudian kata "al-Islam" dibuang dan maksudnya dipinjamkan kepada kata "al-shirat".
Jadi, dalam memahami ayat tersebut hendaknya kata "al-dzulumat" dipahami sebagai kekufuran, kata "al-nur" dipahami dengan keimanan, dan kata "al-shirat" dipahami dengan keislaman.
Secara logika, diturunkannya al-Qur'an untuk manusia bukan karena mereka supaya keluar dari suasana gelap gulita menuju cahaya untuk memperoleh jalan. Al-Qur'an adalah wahyu sebagai pedoman hidup manusia, ia diturunkan oleh Allah agar manusia bisa keluar dari kekufuran menuju keimanan dengan aturan yang telah ditetapkan dalam syari'at Islam.
Contoh isti'arah yang lain adalah:
... وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur'an), mereka itulah orang-ornag yang beruntung. (QS. 7:157)
Kata "nur" di sini dipinjam untuk memperjelas misi dan pesan kenabian, karena keduanya memiliki fungsi untuk meyakinkan, menghilangkan, serta menepis keraguan atas kebenaran misi kenabian tersebut. Jaid maksud kata "al-nur" di sini adalah kehadiran Nabi Muhammad SAW bersama misinya yang membawa keselamatan dan kebahagiaan hidup.
Banyak ditemukan dalam al-Qur'an, misalnya kehadiran Nabi, al-Qur'an, keimanan, bahkan Allah sendiri sering disimbolkan dengan kata al-nur (cahaya). Secara psikologis, untuk menyampaikan kebenaran kepada orang-orang Arab pra-Islam yang sudah memiliki keyakinan paganisme, yaitu menyembah berhala maka al-Qur'an sangat memperhatikan aspek psikis mereka. Mereka terbiasa hidup nomad, berwatak kasar, dan tuhan yang disembah adalah berhala yang nampak oleh penglihatan. Karena itu, ketika al-Qur'an menyampaikan kebenaran, lebih-lebih yang terkait dengan persoalan ghaib (abstrak) maka al-Qur'an menggunakan bahasa metaforik dan simbolik.
Menurut kritikus sastra bahwa dalam beberapa karya sastra jahili bahasa yang dituangkan memiliki nilai imajinasi yang tinggi. Faktor ini muncul karena para sastrawan jahili terbiasa hidup di pegunungan, jauh dari sumber air, dan kondisi tanah yang tidak menguntungkan maka untuk menggapai kehidupan yang menyenangakan mereka mengeksploatasikan melalui gubahan-gubahan karya sastra, sekalipun itu hanya dalam hayalan. Munculnya gaya bahasa tasybih, majaz, istia'rah, dan sebagainya menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas imajinasi yang dikembangkan. Sehingga sangat beralasan, apabila al-Qur'an menyampaikan pesan moral kepada mereka dengan menggunakan gaya bahasa yang sudah mereka pahami.
Kinayah (Mitonimie)
Al-Mubarrad (w. 258 H) merupakan sarjana bahasa yang melakukan sistematisasi mengenai konsep kinayah. Dalam karyanya "al-Kamil", al-Mubarrad menguraikan tiga model kinayah beserta fungsinya:
1. menjadikan sesuatu lebih umum
2. memperindah ungkapan
3. untaian pujian
Namun al-Mubarrad tidak banyak mengulas pada model pertama dan ketiga, ia lebih menitikberatkan pada model yang kedua, yaitu kinayah sebagai penyempurna keindahan ungkapan, khususnya yang diambil dari ayat-ayat al-Qur'an.
Kinayah adalah mengungkapan kata, tetapi yang dimaksud bukan makna dari kata itu, sekalipun bisa dibenarkan kalau dipahami sesuai dengan makna dasarnya.
Misalnya dalam pribahasa Arab:
اليد الطويلة
Tangan panjang
Di kalangan orang Arab sangat popular istilah "al-yad al-thawilah" untuk menyebut (sebagai kinayah) kepada seseorang yang suka memberi atau membantu. Tetapi kalau "al-yad al-thawilah" dipahami sebagai tangan yang panjang, sesuai dengan makna dasarnya juga tidak salah, inilah kinayah.
Perhatikan pula dalam surat al-Zukhruf ayat 18:
أَوَمَنْ يُنَشَّأُ فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ
Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran.
Menurut Fadlal Hasan, ayat tersebut diturunkan kepada Nabi yang dilatarbelakangi oleh kebiasaan orang Arab jahilayah yang membenci anak-anak perempuan dan menguburnya hidup-hidup. Selain itu, mereka juga menyangka bahwa malaikat itu anak perempuan Allah.
Kemudian ayat tersebut diturunkan sekaligus memperkuat kebodohan dan kedangkalan pemikiran mereka. Dalam ungkapan ayat di atas "man yunasysya'u fil hilyati" (orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan) adalah kinayah bagi seorang perempuan. Karena yang sering berhias dan berdandan, serta tidak memiliki kekuatan dalam pertengkaran adalah orang perempuan.
Jadi, konteks ayat di atas sebagai kinayah bagi orang perempuan Arab jahili yang memiliki kebiasaan berhias diri dan tidak punya kekuatan, sekalipun sifat-sifat itu juga terdapat pada perempuan zaman sekarang.
Tauriyah (menampakkan makna lain)
Tauriyah secara bahasa adalah menyembunyikan sesuatu dan menampakkan yang lain. Sedangkan secara istilah adalah menyampaikan bahasa atau kata dalam bentuk tunggal (mufrad), tetapi ia memiliki dua makna (ambigu), yaitu makna dekat (denotaif) dan makna jauh (konotatif), tetapi yang dimaksud adalah makna konotatifnya.
Misalnya dalam surat al-An'am ayat 60:
وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُمْ بِاللَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُمْ بِالنَّهَارِ ثُمَّ يَبْعَثُكُمْ فِيهِ لِيُقْضَى أَجَلٌ مُسَمًّى ثُمَّ إِلَيْهِ مَرْجِعُكُمْ ثُمَّ يُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur (mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan.
Pada kata "jarahtum" memiliki dua makna:
 kamu kerjakan, sebagai makna dekat atau denotatif
 melakukan dosa-dosa, sebagai makna jauh atau konotatif.
Tetapi yang dikehendaki dalam ayat di atas adalah makna yang kedua, yaitu melakukan dosa-dosa. Karena dalam konteks kalimat tersebut terkait dengan umur dan pertanggungjawaban amal perbuatan, sehingga kata "jarahtum" lebih tepat kalau dipahami melakukan dosa-dosa.
Pemahaman seperti ini tidak cukup dengan membaca terjemahnya saja, tetapi penguasaan terhadap sebab-sebab turunnya ayat, keterkaitan antara maksud kalimat yang satu dengan lainnya, dan ketajaman dzauq sangat menetukan. Dan masih banyak contoh lainnya, terutama yang berkaitan dengan al-mutasyabihat dan metafisik.
Penutup
Turunnya al-Qur'an secara evolusi (tadrij) selama lebih kurang 23 tahun memberikan kesan bahwa al-Qur'an berdialog dan sekaligus merespon prilaku masyarakat Arab saat dakwah Islam disampaikan. Indikasi ini dapat dilihat dengan munculnya konsep asbab al-nuzul dan nasikh mansukh yang menjadi tema tersendiri dalam studi ulumul Qur'an. Karena itu, untuk memperoleh pemahaman yang holistik dan komprehensip terhadap pesan-pesan al-Qur'an maka mengetahui konteks saat wahyu diturunkan menjadi kebutuhan yang tidak bisa diabaikan.
Pada umumnya ungkapan-ungkapan dalam al-Qur'an ketika memaparkan kebiasaan hidup masyarakat Arab pra-Islam selalu menggunakan gaya bahasa metaforis (majaz). Pengungkapan dengan gaya bahasa ini sangat beralasan, karena secara psikologis mereka sudah memiliki keyakinan paganisme, hidup nomaden atau probabilistik, dan berwatak kasar.
Karena itu, ketika al-Qur'an menyampaikan kebenaran, lebih-lebih yang terkait dengan persoalan ghaib (eskatologis) maka bahasa al-Qur'an sangat memperhatikan aspek psikis mereka. Selain itu, ungkapan tersebut juga diyakini memiliki kekuatan yang bisa membangkitkan imajinasi kreatif untuk membuka wilayah pemahaman baru yang batas akhirnya belum diketahui.
Dengan demikian, Islam yang diyakini sebagai agama shalihun li kulli zamanin wa makanin dan membawa misi rahmatan lil Alamin dapat direalisasikan sesuai dengan konteks pembacaan.
Referensi
Al-Qur'anul Karim,
terj. Departemen Agama RI, 2000
Abd al-Aziz bin Muhammad al-Faishal,
al-Adab al-Arabi Wa Tarikhuhu (Riyadh: al-Mamlakah al-Arabiyah al-Su'udiyah, 1405 H)
Abd al-Fattah Lasyin,
al-Bayan fi Dlau'i Asalib al-Qur'an (Beirut: Dar al-Ma'arif, 1985)
Ahmad Ahmad Badawi,
Min Balaghah al-Qur'an (Kairo: Dar al-Nahdlah, 1950)
Ahmad al-Hasyimi,
Jawahir al-Balaghah (Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, 1960)
Ali Mufrodi,
Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos, 1997)
A. Latif Osman,
Ringkasan Sejarah Islam (Jakarta: Widjaya, 2000)
Badri Yatim,
Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000)
Badri Yatim dan H. D. Sirojuddin AR,
Sejarah Kebudayaan Islam I (Jakarta: Departemen Agama RI)
C. Israr,
Sejarah Kesenian Islam I (Jakarta: Bulan Bintang, 1978)
Effat al-Sharqawi,
Filsafat Kebudayaan Islam (Bandung: Pustaka, 1986)
Enok Maryani dan Nunung Farida,
Antropologi (Jakarta: PT. Grafindo Media Pertama, 1997)
Fadlal Hasan Abbas,
al-Balaghah Fununuha wa Afnanuha (Amman: Dar al-Furqan, 1987)
Hasan Asari,
Menyingkap Zaman Keemasan Islam (Bandung: Mizan, 1994)
Husein al-Hajj Hasan,
Adab al-Arab Fi Ashr al-Jahiliyah (Beirut: tp, 1990)
Kaelan, M. S,
Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya (Yogyakarta: Paradigma, 1998)
Kamanto Sunarto,
Pengantar Sosiologi (Jakarta: Fak. Ekonomi UI, tt)
Komaruddin Hidayat,
Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996)
M. Faruq al-Nabhan,
al-Madkhal Li al-Tasyri' al-Islami (Beirut: Dar al-Qalam, 1981)
M. Nur Kholis Setiawan,
al-Qur'an Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005)
Nasr Hamid Abu Zaid,
Naqd al-Khithab al-Diniy (Kairo: Jumhuriyah Misr al-Arabiyah, 1994)
_______________,
al-Ittijah al-'Aqli fi al-Tafsir: Dirasah fi Qadhiyah al-Majaz fi al-Qur'an 'Inda al-Mu'tazliah (Kairo: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1996)
_______________,
Isykaliyat al-Qira'ah wa Aliyat al-Ta'wil (Kairo: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1994)
Rizal Mustansyir,
Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)
Roger M. Keesing dan Samuel Gunawan,
Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer (Jakarta: Erlangga, 1992)
Taufik Adnan Amal,
Rekonstruksi Sejarah al-Qur'an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)
Ruth Roded,
Kembang Peradaban Citra Wanita di Mata Para Penulis Biografi Muslim (Bandung: Mizan, 1995)
Soerjono Soekamto,
Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: Universitas Indonesia, 1969)
Syukri Faishal,
al-Mujtama'at al-Islamiyah fi al-Qarn al-Awwal (Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin, 1973)
W. Montgomery Watt,
Muhammad: Prophet and Statesman (London: tp, 1961)
______________,
Pengantar Qur'an (Jakarta: INIS, 1998)
Zainab al-Khudhairi,


Harta yang penuh berkah
Indeks > Artikel > Harta Barokah
Sering sekali kita mendengar perihal harta barokah. Namun apakah sebenarnya yang dimaksud dengan harta yang barokah itu, dan apakah hubungannya dengan zakat?
Harta yang barokah ialah harta yang menyebabkan seseorang yang mempergunakannya memperoleh ketenangan dan ketenteraman jiwa sehingga mampu mendorongnya untuk berbuat kebaikan kepada sesama. Harta yang demikian inilah pada hakekatnya sangat didambakan dan dicari oleh setiap orang; sebab ketenangan dan ketenteraman jiwa itulah yang menjadi faktor penentu bagi kebahagiaan hidup seseorang.
Dalam kitab Riyadus Shalihin dijelaskan bahwa yang dimaksud barokah adalah sesuatu yang dapat menambah kebaikan kepada sesama, ziyadatul khair 'ala al ghair. Bila dikaitkan dengan harta, maka yang dimaksud dengan harta yang barokah itu sebagaimana dipaparkan di atas.
Harta-harta yang barokah itu, haruslah yang halal dan baik, karena sesuatu yang diambil dari yang tidak halal dan tidak baik tidak mungkin mampu mendorong kita kepada kebaikan diri maupun orang lain, sebagaimana isyarat Allah swt. dalam Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 168 yang artinya:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الاَرْضِ حَلاَلاً طَيِّبًا وَلاَ تَتَّبِعُوْا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ .
"Wahai manusia, makanlah dari apa-apa yang ada di bumi yang halal dan yang baik. Dan janganlah kamu sekalian mengikuti jejak langkah dari Syaithan, karena sesungguhnya Syaithan itu adalah musuhmu yang nyata".
Dalam kesempatan yang lain Nabi Muhammad juga pernah menyatakan kullu lahmin nabata minal harom, fan naaru aula bihi. Setiap daging yang timbul atau dihasilkan dari sesuatu yang haram maka hanyalah neraka yang patut menerimanya.
Secara rinci yang dimaksudkan dengan halal di sini adalah:
1. Halal wujudnya, yaitu apa saja yang tidak dilarang oleh agama Islam, seperti makanan dan minuman yang tidak diharamkan oleh syari'at agama Islam.
2. Halal cara mengambil atau memperolehnya, yaitu cara mengambil atau cara memperoleh yang tidak dilarang oleh syari'at agama Islam, seperti harta yang diperoleh dari ongkos pekerjaan yang halal menurut pandangan syari'at agama Islam, sedang ongkos tersebut juga berasal dari hasil pekerjaan yang halal.
3. Halal karena tidak tercampur dengan hak milik orang lain, karena sudah dikeluarkan zakatnya. Harta yang demikian itu, jika berupa bahan makanan dan dimakan oleh seseorang, maka pengaruhnya sangat positif bagi kesehatan mental atau jiwa seseorang.
Setiap orang yang lahir di dunia ini oleh Allah swt. telah dibekali dengan dua macam dorongan nafsu, yakni: nafsu yang mendorong manusia untuk berbuat durhaka dan nafsu yang mendorong untuk berbuat taqwa (kebajikan). Dalam surat As Syams ayat 7 dan 8 Allah swt. telah berfirman:
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا . فَأَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوَاهَا .
"Demi jiwa dan apa-apa yang menyempurnakannya, maka Allah mengilhamkan pada jiwa tersebut kedurhakaan dan ketaqwaannya".
Kedua macam dorongan tersebut tidak dapat berwujud menjadi perbuatan yang nyata, manakala dalam diri seseorang tidak ada energi. Sedangkan energi itu adalah berasal dari bahan makanan. Sehingga apabila bahan makanan yang dimakan oleh seseorang adalah halal, maka energi yang ditimbulkan oleh bahan makanan tersebut adalah energi yang halal. Energi yang halal inilah yang mudah diserap dan dipergunakan oleh dorongan yang mengajak kepada perbuatan-perbuatan yang baik, benar dan haq. Sedang perbuatan-perbuatan yang baik, benar dan haq yang dilakukan oleh seseorang akan diserap oleh organ jiwa yang oleh Sigmund Freud disebut dengan "Ego Ideal". Ego Ideal inilah yang selalu menghibur dan menenteramkan jiwa seseorang. Sebaliknya, jika bahan makanan yang dimakan oleh seseorang adalah berasal dari harta yang haram, maka energi yang timbul dari bahan makanan tersebut adalah energi yang haram, yang akan diserap oleh nafsu yang mengajak kepada kejelekan, kesalahan dan kebatilan.
Manakala seseorang telah melakukan perbuatan yang jelek atau salah atau batil, maka perbuatan ini akan diserap oleh organ jiwa yang oleh Sigmund Freud disebut conscience. Kemudian conscience ini selalu menuntut jiwa manusia itu sendiri atas kejelekan atau kesalahan atau kebatilan yang telah dilakukan, sehingga ketenteraman jiwa menjadi terganggu. Semakin banyak kejelekan atau kesalahan atau kebatilan yang dilakukan oleh seseorang, maka semakin besar tuntutan dari consciense dan semakin goncang ketenangan dan ketenteraman jiwanya, sehingga pada akhinya orang yang selalu memakan makanan yang berasal dari harta yang haram akan dihadapkan pada dua alternatif, yaitu:
1. Jika kondisi jasmaninya kuat, maka jiwanya akan jebol dan akan terkena penyakit jiwa.
2. Jika kondisi jiwanya kuat, maka dia akan terserang penyakit psychosomatica.
Sedang yang dimaksud dengan makanan yang baik menurut ayat 168 dari surat Al Baqarah di atas, adalah baik menurut syarat-syarat kesehatan. Sebab makanan yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan akan menyebabkan kondisi jasmani menjadi mudah terserang oleh berbagai macam penyakit. Seseorang tidak akan memperoleh ketenangan dan ketenteraman jiwa manakala badan jasmaninya selalu sakit-sakitan.
Disamping itu perlu kita ketahui bahwa harta yang diberikan oleh Allah swt. kepada seseorang itu di dalamnya terdapat hak milik fakir miskin yang dititipkan oleh Allah swt. kepadanya. Hal ini telah diterangkan oleh Allah swt. dalam Al Qur'an surat Adz Dzaariyaat ayat 19:
وَفِى أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّآئِلِ وَالْمَحْرُوْمِ.
"Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian"
Harta orang miskin yang dititipkan oleh Allah swt. pada orang-orang kaya itu harus dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak, baik berupa zakat wajib maupun zakat sunnat, agar harta orang-orang kaya tersebut menjadi halal, karena tidak lagi tercampur dengan hak milik orang-orang miskin. Jadi zakat ini mempunyai peranan yang penting sekali untuk membuat harta yang kita miliki menjadi barokah karena zakat juga merupakan elemen yang menjadikan harta itu bisa memberikan kebahagiaan dan kebaikan kepada orang lain.
Jika kita mau mengadakan penelitian atau research terhadap orang-orang kaya yang hartanya tercampur oleh harta yang tidak halal, baik wujudnya, atau cara mengambilnya, atau belum dizakati, maka kita akan mendapati kehidupan keluarga mereka itu ternyata tidak bahagia sebagaimana yang kita bayangkan. Kebahagiaan yang mereka dambakan ternyata hanya sebagai fatamorgana belaka.
Dalam Al Qur'an surat An Nur ayat 39 Allah swt. telah berfirman:
وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيْعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَآءً حَتَّى اِذَا جَــآءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ ؛ وَاللّهُ سَرِيْعُ الحِسَابِ .
" Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungannya".
Jadi harta yang barokah itu sangat besar peranannya dalam mencapai kebahagiaan hidup seseorang, baik di dunia maupun di akhirat. Itulah sebabnya maka Nabi Muhammad saw. pernah bersabda:
طَلَبُ الْحَلاَلِ فَرِيْضَةٌ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ .
"Mencari yang halal itu adalah kewajiban sesudah shalat fardlu".

Karakteristik Penghafal Al-Qur’an
Indeks > Artikel > Karakteristik Penghafal Quran
Al-Qur’an sebagai kitab suci agama Islam yang memuat segala bentuk aspek kehidupan. Tidak hanya terbatas umat Islam semata, namun orang-orang non Islam pun juga menjadi obyek seruan ajaran yang terkandung di dalam kitab suci ini. Sehingga, bukanlah sesuatu yang mengherankan jika dari awal mula turunnya al-Qur’an hingga kini, ghiroh manusia tidak pernah surut untuk mengkaji isi kandungan al-Qur’an, baik dari kalangan umat Islam sendiri maupun dari orang-orang orientalis.
Salah satu hal yang menunjukkan kemukjizatan al-Qur’an adalah tetap terpeliharanya kitab suci ini dari segala bentuk perubahan yang dilakukan manusia. Meskipun dengan berbagai cara manusia mengotak atik maksud yang terkandung di dalamnya. Mereka tetap tidak akan mampu mengubah keorisinilan kitab suci tersebut. Selain itu, rentang waktu yang tidak sebentar dari masa awal diturunkannya hingga kini juga tidak akan membuatnya luntur menghapus kemurnianya. Karena Allah SWT. telah telah berjanji untuk senantiasa menjaga kitab suci al-Qur’an selama-lamanya. Sebagaimana di dalam firmannya disebutkan:
إِنَا نَحْنُ نَزَّلّْنَا الذِّكْرَى وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ (الحجر: ٩)
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”
(QS. Al-Hijr: 9)
Tidak terkecuali, ghiroh untuk menjaga al-qur’an juga muncul dari umat islam. Banyak cara yang mereka lakukan demi terjaganya kitab suci ini. Salah satu cara yang sudah tidak asing lagi adalah dengan cara menghafalkan ayat-ayat al-Qur’an. Tidak terhitung penghafal-penghafal al-Qur’an yang senantiasa mengabdikan diri mereka untuk menjadi penjaga kitab suci ini.
Namun, pekerjaan ini bukanlah hal yang mudah dilakukan, karena seorang penghafal al-Qur’an mengemban amanat yang sangat penting demi terjaganya kitab suci tersebut. Syeikh Muhammad ibn Abdillah Idris dalam kitabnya “Hifdzul Qur’an” mengungkapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang penghafal al-Qur’an, diantaranya seorang penghafal al-Qur’an harus mempunyai niat yang benar dan tulus, tekad yang kokoh, cita-cita yang tinggi, dan istiqomah.
Mempunyai niat yang benar dan tulus
Niat adalah modal utama dalam melakukan segala bentuk pekerjaan. Hasil yang akan diperoleh seseorang sangat ditentukan oleh niat yang dia miliki.
Rasulullah SAW. bersabda:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِا النِّيَاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ. (متفق عليه)
“Sesungguhnya setiap pekerjaan tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan memperoleh sesuatu sesua yang dia niatkai. Barang siapa yang hijrahnya untuk kepentingan dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya sebagaimana yang dia maksudkan.”
(HR. Bukhori dan Muslim)
Seorang penghafal al-Qur’an hendaknya meluruskan niatnya hanya untuk mencari ridlo Allah SWT.semata dan tulus dalam melaksanakannnya. Bukan karena paksaan orang tua, kerabat, guru, maupun orang lain, dan bukan karena mengharap balasan dari selain Allah SWT.
Mempunyai tekad yang kokoh
Dalam menjalani segala bentuk kebaikan, seseorang tidak akan lepas dari ujian. Ujian ini berfungsi untuk membuktikan apakah seseorang itu benar-benar memiliki tekat yang kuat atau tidak. Tidak terkecuali bagi seorang penghafal al-Qur’an, dia juga tidak akan luput dari sesuatu yang namanya ujian. Baik berasal dari dirinya sendiri, maupun orang lain.
Seseorang yang memiliki tekat yang kuat, dia tidak akan tergoyahkan oleh badai ujian apapun. Sikap mental seperti ini sangat dibutuhkan oleh setiap orang terutama bagi seorang penghafal al-Qur’an.
Mempunyai cita-cita yang tinggi (الهمّة العالية)
Al-qur’an tidak hanya berfungsi sebagai sumber hukum Islam yang pertama dan utama. Namun, juga memuat petunjuk dan pedoman untuk mendapatkan kehidupan yang mulia. Oleh karena ini, tidak ada alasan untuk tidak menjaga kitab suci ini. Suatu keharusan bagi umat islam yang telah dimuliakan Allah dengan dijadikannya al-Qur’an sebagai kitab suci agama mereka, untuk menjaga dan memelihara kitab suci al-Qur’an dari jamahan tangan-tangan kotor. Meskipun Allah telah berjanji untuk menjaganya.
Istiqomah (الإستقامة)
Suatu amal ibadah akan bernilai jika dilakukan dengan intensitas yang banyak. Namun, amal ibadah akan lebih bernilai jika dilakukan secara istiqomah meskipun dengan intensitas sedikit. Seseorang yang melakukan sholat tahajud atau sholat dluha dua rakaat setiap hari, dia lebih baik dibanding orang yang sholat delapan rakaat tapi dilakukan seminggu sekali atau tiga hari sekali atau bahkan dua kali sehari. Karena keutamaan istiqomah ini hingga dikatakan bahwa dia lebih baik daripada seribu karomah.
الإستقامة خير من ألف بركة
Wa Allahu A’lam bis showab wal Khotho
Penulis:
St. Hanifah
Kepemimpinan Rasulullah Muhammad SAW
Indeks > Artikel > Kepemimpinan Rasulullah
Nabi Muhammad saw. adalah pemimpin dunia yang terbesar sepanjang sejarah. Karena hanya dalam waktu 23 tahun (kurang dari seperempat abad), dengan biaya kurang dari satu persen biaya yang dipergunakan untuk revolusi Perancis dan dengan korban kurang dari seribu orang. Beliau telah menghasilkan tiga karya besar yang belum pernah dicapai oleh pemimpin yang manapun di seluruh dunia sejak Nabi Adam as. sampai sekarang. Tiga karya besar tersebut adalah:
1. تَوْحِيْدُ الإِلهِ (mengesakan Tuhan)
Nabi Besar Muhammad saw. telah berhasil menjadikan bangsa Arab yang semula mempercayai Tuhan sebanyak 360 (berfaham polytheisme) menjadi bangsa yang memiliki keyakinan tauhid mutlak atau monotheisme absolut.
2. تَوْحِيْدُ الأُمَّةِ (kesatuan ummat)
Nabi Besar Muhammad saw. telah berhasil menjadikan bangsa Arab yang semua selalu melakukan permusuhan dan peperangan antar suku dan antar kabilah, menjadi bangsa yang bersatu padu dalam ikatan keimanan dalam naungan agama Islam.
3. تَوْحِيْدُ الْحُكُوْمَةِ (kesatuan pemerintahan)
Nabi Besar Muhammad saw. telah berhasil membimbing bangsa Arab yang selamanya belum pernah memiliki pemerintahan sendiri yang merdeka dan berdaulat, karena bangsa Arab adalah bangsa yang selalu dijajah oleh Persia dan Romawi, menjadi bangsa yang mampu mendirikan negara kesatuan yang terbentang luas mulai dari benua Afrika sampai Asia.
Kunci dari keberhasilan perjuangan beliau dalam waktu relatif singkat itu adalah terletak pada tiga hal:
1. Keunggulan agama Islam
2. Ketepatan sistem dan metode yang beliau pergunakan untuk berda'wah.
3. Kepribadian beliau.
Keunggulan agama Islam terletak pada delapan sifat yang tidak dimiliki oleh agama-agama lainnya di seluruh dunia ini, yaitu:
1. Agama Islam itu adalah agama fitrah.
2. Agama Islam itu adalah mudah, rational dan praktis.
3. Agama Islam itu adalah agama yang mempersatukan antara kehidupan jasmani dan rohani dan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi.
4. Agama Islam itu adalah agama yang menjaga keseimbangan antara kehiduan individual dan kehidupan bermasyarakat.
5. Agama Islam itu adalah merupakan jalan hidup yang sempurna.
6. Agama Islam itu adalah agama yang universal dan manusiawi.
7. Agama Islam itu adalah agama yang stabil dan sekaligus berkembang.
8. Agama Islam itu adalah agama yang tidak mengenal perubahan.
Sistem dakwah yang dipergunakan oleh Nabi Besar Muhammad saw. adalah:
1. Menanamkan benih iman di hati umat manusia dan menggemblengnya sampai benar-benar mantap.
2. Mengajak mereka yang telah memiliki iman yang kuat dan mantap untuk beribadah menjalankan kewajiban-kewajiban agama Islam dengan tekun dan berkesinambungan secara bertahap.
3. Mengajak mereka yang telah kuat dan mantap iman mereka serta telah tekun menjalankan ibadah secara berkelanjutan untuk mengamalkan budi pekerti yang luhur.
Metode dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. adalah:
1. Hikmah, yaitu kata-kata yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dan yang bathil.
2. Nasihat yang baik.
3. Menolak bantahan dari orang-orang yang menentangnya dengan memberikan argumentasi yang jauh lebih baik, sehingga mereka yang menentang dakwah beliau tidak dapat berkutik.
4. Memperlakukan musuh-musuh beliau seperti memperlakukan sahabat karib. Keempat metode dakwah beliau di atas, disebutkan oleh Allah swt. dalam Al Qur'an al Karim dalam surat:
An Nahlu ayat 125:
اُدْعُ اِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ، وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِى هِيَ اَحْسَنُ ؛ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ ، وَهَوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ .
"Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Surat Fushshilat ayat 34:
وَلاَ تَسْتَوِى الْحَسَنَةُ وَلاَ السَّيِّئَةُ ؛ اِدْفَعْ بِالَّتِى هِيَ اَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِى بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَاَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيْمٌ .
"Dan tiadalah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan) itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia".
Kepribadian Nabi Besar Muhammad saw. yang sangat menunjang dakwah beliau disebutkan dalam Al Qur'an sebagai berikut:
1. Bersikap lemah-lembut.
2. Selalu mema'afkan kesalahan orang lain betapapun besar kesalahan tersebu selama kesalahan tersebut terhadap pribadi beliau.
3. Memintakan ampun dosa dan kesalahan orang lain kepada Allah swt., jika kesalahan tersebut terhadap Allah swt.
4. Selalu mengajak bermusyawarah dengan para sahabat beliau dalam urusan dunia dan beliau selalu konsekwen memegang hasil kepautusan musyawarah.
5. Jika beliau ingin melakukan sesuatu, maka beliau selalu bertawakkal kepada Allah swt. dalam arti: direncanakan dengan matang, diprogramkan, diperhitungkan anggarannya dan ditentukan sistem kerjanya.
Kelima kepribadian Nabi Besar Muhammad saw. tersebut di atas, dituturkan oleh Allah swt. dalam surat Ali Imran ayat 159:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ ، وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لاَنْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ، فَاعْفُ عَنْهَمْ .وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الاَمْرِ ، فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ ؛ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ .
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya".
Disusun oleh:
Drs. KH. Achmad Masduqi
Kilas Sejarah Seputar Pendirian NU: Dukungan KH Kholil Bangkalan terhadap KH. Hasyim Asy'ari
Indeks > Artikel > Kilas Sejarah Pendirian Nu
Artikel ini dikutip dari buletin Nahdliyah yang diterbitkan PCNU Pasuruan edisi 1 dan 2 September dan Oktober 2006. Artikel ini dimuat kembali agar generasi muda NU dan simpatisannya semakin memahami NU dan mempertebal keimanan Ahlussunnah wal Jamaahnya.
Ada tiga orang tokoh ulama yang memainkan peran sangat penting dalam proses pendirian Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Kiai Wahab Chasbullah (Surabaya asal Jombang), Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang) dan Kiai Cholil (Bangkalan). Mujammil Qomar, penulis buku "NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam", melukiskan peran ketiganya sebagai berikut Kiai Wahab sebagai pencetus ide, Kiai Hasyim sebagai pemegang kunci, dan Kiai Cholil sebagai penentu berdirinya.
Tentu selain dari ketiga tokoh ulama tersebut , masih ada beberapa tokoh lainnya yang turut memainkan peran penting. Sebut saja KH. Nawawie Noerhasan dari Pondok Pesantren Sidogiri. Setelah meminta restu kepada Kiai Hasyim seputar rencana pendirian Jamiyyah. Kiai Wahab oleh Kiai Hasyim diminta untuk menemui Kiai Nawawie. Atas petunjuk dari Kiai Hasyim pula, Kiai Ridhwan-yang diberi tugas oleh Kiai Hasyim untuk membuat lambang NU- juga menemui Kiai Nawawie. Tulisan ini mencoba mendiskripsikan peran Kiai Wahab, Kiai Hasyim, Kiai Cholil dan tokoh-tokoh ulama lainnya dalam proses berdirinya NU.
Keresahan Kiai Hasyim
Bermula dari keresahan batin yang melanda Kiai Hasyim. Keresahan itu muncul setelah Kiai Wahab meminta saran dan nasehatnya sehubungan dengan ide untuk mendirikan jamiyyah / organisasi bagi para ulama ahlussunnah wal jamaah. Meski memiliki jangkauan pengaruh yang sangat luas, untuk urusan yang nantinya akan melibatkan para kiai dari berbagai pondok pesantren ini, Kiai Hasyim tak mungkin untuk mengambil keputusan sendiri. Sebelum melangkah, banyak hal yang harus dipertimbangkan, juga masih perlu untuk meminta pendapat dan masukan dari kiai-kiai sepuh lainnya.
Pada awalnya, ide pembentukan jamiyyah itu muncul dari forum diskusi Tashwirul Afkar yang didirikan oleh Kiai Wahab pada tahun 1924 di Surabaya. Forum diskusi Tashwirul Afkar yang berarti “potret pemikiran” ini dibentuk sebagai wujud kepedulian Kiai Wahab dan para kiai lainnya terhadap gejolak dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam terkait dalam bidang praktik keagamaan, pendidikan dan politik. Setelah peserta forum diskusi Tashwirul Afkar sepakat untuk membentuk jamiyyah, maka Kiai Wahab merasa perlu meminta restu kepada Kiai Hasyim yang ketika itu merupakan tokoh ulama pesantren yag sangat berpengaruh di Jawa Timur.
Setelah pertemuan dengan Kiai Wahab itulah, hati Kiai Hasyim resah. Gelagat inilah yang nampaknya "dibaca" oleh Kiai Cholil Bangkalan yang terkenal sebagai seorang ulama yang waskita (mukasyafah). Dari jauh ia mengamati dinamika dan suasana yang melanda batin Kiai Hasyim. Sebagai seorang guru, ia tidak ingin muridnya itu larut dalam keresahan hati yang berkepanjangan. Karena itulah, Kiai Cholil kemudian memanggil salah seorang santrinya, As’ad Syamsul Arifin (kemudian hari terkenal sebagai KH. As’ad Syamsul Arifin, Situbondo) yang masih terhitung cucunya sendiri.
Tongkat “Musa”
“Saat ini Kiai Hasyim sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya,” titah Kiai Cholil kepada As’ad. “Baik, Kiai,” jawab As’ad sambil menerima tongkat itu.
“Setelah membeerikan tongkat, bacakanlah ayat-ayat berikut kepada Kiai Hasyim,” kata Kiai Cholil kepada As’ad seraya membacakan surat Thaha ayat 17-23.
Allah berfirman: ”Apakah itu yang di tangan kananmu, hai musa? Berkatalah Musa : ‘ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya’.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat”, Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula, dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar.”
Sebagai bekal perjalanan ke Jombang, Kiai Cholil memberikan dua keeping uang logam kepada As’ad yang cukup untuk ongkos ke Jombang. Setelah berpamitan, As’ad segera berangkat ke Jombang untuk menemui Kiai Hasyim. Tongkat dari Kiai Cholil untuk Kiai Hasyim dipegangnya erat-erat.
Meski sudah dibekali uang, namun As’ad memilih berjalan kaki ke Jombang. Dua keeping uang logam pemberian Kiai Cholil itu ia simpan di sakunya sebagai kenagn-kenangan. Baginya, uang pemberian Kiai Cholil itu teramat berharga untuk dibelanjakan.
Sesampainya di Jombang, As’ad segera ke kediaman Kiai Hasyim. Kedatangan As’ad disambut ramah oleh Kiai Hasyim. Terlebih, As’ad merupakan utusan khusus gurunya, Kiai Cholil. Setelah bertemu dengan Kiai Hasyim, As’ad segera menyampaikan maksud kedatangannya, “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini,” kata As’ad seraya menyerahkan tongkat.
Kiai Hasyim menerima tongkat itu dengan penuh perasaan. Terbayang wajah gurunya yang arif, bijak dan penuh wibawa. Kesan-kesan indah selama menjadi santri juga terbayang dipelupuk matanya. “Apa masih ada pesan lainnya dari Kiai Cholil?” Tanya Kiai Hasyim. “ada, Kiai!” jawab As’ad. Kemudian As’ad membacakan surat Thaha ayat 17-23.
Setelah mendengar ayat tersebut dibacakan dan merenungkan kandungannya, Kiai Hasyim menangkap isyarat bahwa Kiai Cholil tak keberatan apabila ia dan Kiai Wahab beserta para kiai lainnya untuk mendirikan Jamiyyah. Sejak saat itu proses untuk mendirikan jamiyyah terus dimatangkan. Meski merasa sudah mendapat lampu hijau dari Kiai Cholil, Kiai Hasyim tak serta merta mewujudkan niatnya untuk mendirikan jamiyyah. Ia masih perlu bermusyawarah dengan para kiai lainnya, terutama dengan Kiai Nawawi Noerhasan yang menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri. Terlebih lagi, gurunya (Kiai Cholil Bangkalan) dahulunya pernah mengaji kitab-kitab besar kepada Kiai Noerhasan bin Noerchotim, ayahanda Kiai Nawawi Noerhasan.
Untuk itu, Kiai Hasyim meminta Kiai Wahab untuk menemui Kiai Nawawie. Setelah mendapat tugas itu, Kiai Wahab segera berangkat ke Sidogiri untuk menemui Kiai Nawawie. Setibanya di sana, Kiai Wahab segeraa menuju kediaman Kiai Nawawie. Ketika bertemu dengan Kiai Nawawie, Kiai Wahab langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Setelah mendengarkan dengan seksama penuturan Kiai Wahab yang menyampaikan rencana pendirian jamiyyah, Kiai Nawawie tidak serta merta pula langsung mendukungnya, melainkan memberikan pesan untuk berhati-hati. Kiai Nawawie berpesan agar jamiyyah yang akan berdiri itu supaya berhati-hati dalam masalah uang. “Saya setuju, asalkan tidak pakai uang. Kalau butuh uang, para anggotanya harus urunan.” Pesan Kiai Nawawi.
Proses dari sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat sampai dengan perkembangan terakhir pembentukan jamiyyah rupanya berjalan cukup lama. Tak terasa sudah setahun waktu berlalu sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat kepada Kiai Hasyim. Namun, jamiyyah yang diidam-idamkan tak kunjung lahir juga. Tongkat “Musa” yang diberikan Kiai Cholil, maskih tetap dipegang erat-erat oleh Kiai Hasyim. Tongkat itu tak kunjung dilemparkannya sehingga berwujud “sesuatu” yang nantinya bakal berguna bagi ummat Islam.
Sampai pada suatu hari, As’ad muncul lagi di kediaman Kiai Hasyim dengan membawa titipan khusus dari Kiai Cholil Bangkalan. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk menyerahkan tasbih ini,” kata As’ad sambil menyerahkan tasbih. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan bacaan Ya Jabbar Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Entahlah, apa maksud di balik pemberian tasbih dan khasiat dari bacaan dua Asma Allah itu. Mungkin saja, tasbih yang diberikan oleh Kiai Cholil itu merupakan isyarat agar Kiai Hasyim lebih memantapkan hatinya untuk melaksanakan niatnya mendirikan jamiyyah. Sedangkan bacaan Asma Allah, bisa jadi sebagai doa agar niat mendirikan jamiyyah tidak terhalang oleh upaya orang-orang dzalim yang hendak menggagalkannya.
Qahhar dan Jabbar adalah dua Asma Allah yang memiliki arti hampir sama. Qahhar berarti Maha Memaksa (kehendaknya pasti terjadi, tidak bisa dihalangi oleh siapapun) dan Jabbar kurang lebih memiliki arti yang sama, tetapi adapula yang mengartikan Jabbar dengan Maha Perkasa (tidak bisa dihalangi/dikalahkan oleh siapapun). Dikalangan pesantren, dua Asma Allah ini biasanya dijadikan amalan untuk menjatuhkan wibawa, keberanian, dan kekuatan musuh yang bertindak sewenang-wenang. Setelah menerima tasbih dan amalan itu, tekad Kiai Hasyim untuk mendirikan jamiyyah semakin mantap. Meski demikian, sampai Kiai Cholil meninggal pada 29 Ramadhan 1343 H (1925 M),jamiyyah yang diidamkan masih belum berdiri. Barulah setahun kemudian, pada 16 Rajab 1344 H, “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Nahdlatul Ulama (NU).
Setelah para ulama sepakat mendirikan jamiyyah yang diberi nama NU, Kiai Hasyim meminta Kiai Ridhwan Nashir untuk membuat lambangnya. Melalui proses istikharah, Kiai Ridhwan mendapat isyarat gambar bumi dan bintang sembilan. Setelah dibuat lambangnya, Kiai Ridhwan menghadap Kiai Hasyim seraya menyerahkan lambang NU yang telah dibuatnya. “Gambar ini sudah bagus. Namun saya minta kamu sowan ke Kiai Nawawi di Sidogiri untuk meminta petunjuk lebih lanjut,” pesan Kiai Hasyim. Dengan membawa sketsa gambar lambang NU, Kiai Ridhwan menemui Kiai Nawawi di Sidogiri. “Saya oleh Kiai Hasyim diminta membuat gambar lambang NU. Setelah saya buat gambarnya, Kiai Hasyim meminta saya untuk sowan ke Kiai supaya mendapat petunjuk lebih lanjut,” papar Kiai Ridhwan seraya menyerahkan gambarnya.
Setelah memandang gambar lambang NU secara seksama, Kiai Nawawie memberikan saran konstruktif: “Saya setuju dengan gambar bumi dan sembilan bintang. Namun masih perlu ditambah tali untuk mengikatnya.” Selain itu, Kiai Nawawie jug a meminta supaya tali yang mengikat gambar bumi ikatannya dibuat longgar. “selagi tali yang mengikat bumi itu masih kuat, sampai kiamat pun NU tidak akan sirna,” papar Kiai Nawawie.
Bapak Spiritual
Selain memiliki peran yang sangat penting dalam proses pendirian NU yaitu sebgai penentu berdirinya, sebenarnya masih ada satu peran lagi, peran penting lain yang telah dimainkan oleh Kiai Cholil Bangkalan. Yaitu peran sebagai bapak spiritual bagi warga NU. Dalam tinjauan Mujammil Qomar, Kiai Cholil layak disebut sebagai bapak spiritual NU karena ulama asal Bangkalan ini sangat besar sekali andilnya dalam menumbuhkan tradisi tarekat, konsep kewalian dan haul (peringatan tahunan hari kematian wali atau ulama).
Dalam ketiga masalah itu, kalangan NU berkiblat kepada Kiai Cholil Bangkalan karena ia dianggap berhasil dalam menggabungkan kecenderungan fikih dan tarekat dlam dirinya dalam sebuah keseimbangan yang tidak meremehkan kedudukan fikih. Penggabungan dua aspek fikih dan tarekat itu pula yang secara cemerlang berhasil ia padukan dalam mendidik santri-santrinya. Selain membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu lahir (eksoterik) yang sangat ketat –santrinya tak boleh boyong sebelum hafal 1000 bait nadzam Alfiah Ibn Malik, ia juga menggembleng para santrinya dengan ilmu-ilmu batin (esoterik).
Kecenderungan yang demikian itu bukannya tidak dimiliki oleh pendiri NU lainnya. Tokoh lainnya seperti Kiai Hasyim, memiliki otoritas yang sangat tinggi dalam bidang pengajaran kitab hadits shahih Bukhari, namun memiliki pandangan yang kritis terhadap masalah tarekat, konsep kewalian dan haul. Kiai Hasyim merupakan murid kesayangan dari Syaikh Mahfuzh at Tarmisi. Syaikh Mahfuzh adalah ulama Indonesia pertama yang mengajarkan kitab hadits Shahih Bukhari di Mekkah. Syaikh Mahfuzh diakui sebagai seorang mata rantai (isnad) yang sah dalam transmisi intelektual pengajaran kitab Shahih Bukhari.
Karena itu, Syaikh Mahfuzh berhak memberikan ijazah kepada murid-muridnya yang berhasil menguasai kitab Shahih Bukhari. Salah seorang muridnya yang mendapat ijazah mengajar Shahih Bukhari adalah Kiai Hasyim Asy’ari. Otoritas Kiai Hasyim pada pengajaran kitab hadits Shahih Bukhari ini diakui pula oleh Kiai Cholil Bangkalan. Di usia senjanya, gurunya itu sering nyantri pasaran (mengaji selama bulan puasa) kepada Kiai Hasyim. Ini merupakan isyarat pengakuan Kiai Cholil terhadap derajat keilmuan dan integritas Kiai Hasyim.
Sebagai ulama yang otoritatif dalam bidang hadits, Kiai Hasyim memiliki pandangan yang kritis terhadap perkembangan aliran-aliran tarekat yang tidak memiliki dasar ilmu hadits. Ia menyesalkan timbulnya gejala-gejala penyimpangan tarekat dan syariat di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, ia menulis kitab al Durar al Muntasyirah fi Masail al Tis’a’Asyarah yang berisi petunjuk praktis agar umat Islam berhati-hati apabila hendak memasuki dunia tarekat.
Selain kritis dalam memandang tarekat, Kiai Hasyim juga kritis dalam memandang kecenderungan kaum Muslim yang dengan mudah menyatakan kewalian seseorang tanpa ukuran yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara teologis. Terhadap masalah ini, Kiai Hasyim memberikan pernyataan tegas:
“Barangsiapa mengaku dirinya sebagai wali tetapi tanpa kesaksian mengikuti syariat Rasulullah SAW, orang tersebut adalah pendusta yang membuat perkara tentang Allah SWT.”
Lebih tegas beliau menyatakan:
“Orang yang mengaku dirinya wali Allah SWT, orang tersebut bukanlah wali yang sesungguhnya melainkan hanya wali-walian yang jelas salah sebab dia mengatakan sir al-khushusiyyah (rahasia-rahasia khusus) dan dia membuat kedustaan atas Allah Ta’ala.”
Demikian pula terhadap masalah haul. Selain Kiai Hasyim, para pendiri NU lainnya seperti Kiai Wahab dan Kiai Bisri Syansuri juga bersikap kritis terhadap konsep haul dan mereka menolak untuk di-haul-i (Qomar, 2002). Akan tetapi di kalangan NU sendiri, acara haul telah menjadi tradisi yang tetap dipertahankan sampai sekarang. Para wali atau kiai yang meninggal dunia, setiap tahunnya oleh warga nahdliyih akan di-haul-i dengan serangkaian kegiatan seperti ziarah kubur, tahlil dan ceramah agama untuk mengenang perjuangan mereka agar dapat dijadikan teladan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Mengapa masalah tarekat, konsep kewalian dan haul yang mendapat kritikan pedas dari Kiai Hasyim tersebut, justru ditradisikan di kalangan NU? Apakah warga NU sudah tidak lagi mengindahkan peringatan Kiai Hasyim? Untuk memastikan jawabannya, menurut Mujammil Qomar, agak sulit, mengingat NU bisa berkembang pesat juga karena usaha dan pengaruh Kiai Hasyim.
Wallahu a’lam.
Penulis:
Moh. Syaiful Bakhri
Penulis buku "Syaikhona Cholil Bangkalan: Ulama Legendaris dari Madura" dan sekretaris Lajnah Ta'lif Wan Nasr NU Kabupaten Pasuruan. Pemuatan artikel ini juga merupakan penghormatan dan dukungan moril kepada PCNU Kab. Pasuruan yang berusaha mendorong terciptanya masyarakat yang maju, sejahtera dan berakhlakul karimah dengan menerbitkan buletin dua bulanan. Semoga usaha penerbitan ini bisa istiqamah.
Manfaat Agama bagi Kehidupan Manusia
Indeks > Artikel > Manfaat Agama
Sebagaimana kita maklumi bahwa tujuan hidup di dunia ini sejak dahulu kala sampai sekarang dan bahkan sampai hari kiamat nanti adalah ingin mencapai kebahagiaan hidup. Dan untuk itu manusia telah memiliki akal fikiran atau ratio yang memiliki kemampuan yang sangat hebat. Karena dengan akal fikiran tersebut manusia telah dapat memiliki ilmu pengetahuan yang sangat tinggi dan mampu menciptakan alat-alat tehnologi yang sangat canggih, yang apabila hasil penemuan akal fikiran sekarang ini diceritakan pada zaman dahulu kala, niscaya akan dianggap sebagai hal yang irrasional (tidak masuk akal).
Akan tetapi betapapun jenius, brilian dan kecerdasan akal fikiran, ternyata memiliki tiga macam kelemahan pokok yang tidak dapat dipecahkan oleh akal fikiran itu sendiri. Tiga kelemahan pokok tersebut adalah:
1. Akal fikiran itu tidak dapat mengetahui hakekat kebenaran. Buktinya ialah banyak teori kebenaran yang dikemukakan oleh para ahli filsafat yang berbeda-beda antara teori yang satu dengan yang lain, padahal kita tahu dengan pasti bahwa kebenaran yang sejati hanyalah satu.
2. Akal fikiran itu tidak dapat mengetahui letak dan hakekat kebahagiaan hidup. Buktinya ialah bahwa seringkali sesuatu yang dibayangkan oleh seseorang akan dapat membahagiakan hidupnya; sehingga dia mengerahkan seluruh fikiran, tenaga dan dana yang ada padanya, namun setelah tercapai, ternyata malah membawa kesengsaraan hidup yang berkepanjangan.
3. Akal fikiran itu tidak dapat mengetahui asal muasal manusia. Artinya meskipun akal fikiran itu sangat cerdas, jenius, brilian, ternyata tidak dapat menjawab tujuh macam pertanyaan berikut:
a. Dari mana manusia itu datang sebelum hidup di dunia ini?
b. Mengapa manusia itu harus hidup di dunia ini?
c. Siapa gerangan yang menghendaki kehidupan manusia di dunia ini?
d. Untuk apa manusia hidup di dunia ini?
e. Mengapa setelah manusia terlanjur senang hidup di dunia dia harus mati; padahal tidak ada seorangpun yang senang mati?
f. Siapa gerangan yang menghendaki kematian manusia?
g. Kemana nyawa manusia setelah mati dan bangkainya dikubur?.
Ketiga macam kelemahan akal fikiran manusia tersebut di atas adalah bukti yang nyata bahwa manusia mutlak memerlukan petunjuk yang dapat mengatasi ketiga kelemahan akal tersebut dan yang dapat memberikan bimbing-an kepada manusia agar hidupnya di dunia ini dapat memiliki ketenangan dan ketentraman jiwa yang menjadi faktor penentu bagi kebahagiaan hidup.
Petunjuk tersebut dikenal dengan nama agama, yang berasal dari bahasa Sansekerta (bahasa India kuno), yang berarti: a = tidak, dan gama = kacau. Jadi yang dimaksud dengan agama adalah peraturan-peraturan yang dipergunakan untuk mengatur manusia agar hidupnya di dunia ini tidak kacau.
Kalau kita perhatikan seluruh agama yang ada di dunia ini, maka dapat kita kelompokkan menjadi dua kelompok.
Agama Wadl'iy
Agama-agama yang diciptakan oleh manusia sendiri, seperti:
Agama bangsa Mesir kuno
Agama bangsa Mesir kuno ini ada dua macam, yaitu:
 Agama yang menganggap bahwa matahari (Ra) adalah sumber bagi kehidupan manusia dan sekaligus yang menentukan kebahagiaan dan kesengsaraan hidup bagi manusia. Karenanya, matahari ini dianggap sebagai Dewa atau Tuhan yang harus dipuja dan disembah.
 Agama yang menganggap bahwa sungai Nil adalah sumber bagi kehidupan manusia dan sekaligus yang menentukan kebahagiaan dan kesengsaraan hidup bagi manusia. Sebabnya ialah sawah dan ladang pertanian mereka tidak akan dapat ditanami tanpa mendapatkan aliran air dari sungai Nil. Sedangkan sungai Nil itu adalah sangat besar dan sangat lebar dan mereka belum dapat membendung sungai sebesar dan selebar sungai Nil tersebut (bendungan Aswan yang ada sekarang ini dibuat pada sekitar tahun lima puluhan oleh Inggris), sehingga aliran air dari sungai Nil tersebut menunggu saat sungai Nil meluap airnya. Oleh karena itu sungai Nil ini disembah-sembah sebagai Tuhan dan setahun sekali diberi persembahan berupa sepasang pengantin baru yang terdiri dari jejaka yang paling ganteng dan gadis yang paling cantik, yang setelah diresmikan sebagai pasang an suami isteri, sebelum melakukan apa-apa, keduanya diikat menjadi satu, kemudian keduanya ditenggelamkan kedasar sungai Nil dengan dibebani batu. Hal tersebut dilakukan agar sungai Nil berkenan meluapkan airnya sehingga bermanfaat bagi kehidupan mereka. Persembahan kepada sungai ini baru berakhir setelah agama Islam masuk ke Mesir.
Agama Zoroaster atau agama Majusi
Didirikan oleh Zaratustra, agama ini mengajarkan bahwa Tuhan itu ada dua, yaitu: Tuhan Terang yang diberi nama Ormuz dan Tuhan Gelap yang dinamakan Ahriman. Ormuz adalah Tuhan yang membawa keberuntungan dan kebahagiaan, sedang Ahriman adalah Tuhan yang membawa sial dan kesengsaraan. Oleh karena itu Tuhan yang mereka sembah adalah Tuhan Terang.
Penyembahan terhadap Tuhan Terang ini mereka wujudkan dengan "Penyembahan terhadap api". Agama Zoroaster ini juga mengajarkan bahwa pada diri Kisra, sebutan bagi raja Persia (Iran sekarang), penganut dari agama Zoroaster, terdapat unsur ketuhanan, sehingga mematuhi segala perintah Kisra berarti mematuhi perintah Tuhan.
Agama Hindu
Agama Hindu ini berasal dari agama bangsa Arya dengan perubahan susunan dan jabatan Tuhan. Menurut ajaran agama Hindu, Tuhan itu banyak jumlahnya. Hanya yang pokok ada tiga, yaitu:
 Dewa Brahma yang bertugas sebagai Sang Pencipta alam semesta
 Dewa Wisnu yang bertugas untuk memelihara alam semesta
 Dewa Shiwa yang bertugas sebagai perusak alam semesta
Disamping itu masih ada dewa-dewa yang lain, seperti Batara Surya (penguasa matahari), Batara Soma (penguasa bulan), Batara Maruta atau Batara Bayu (penguasa angin), Batara Agni (penguasa api) dan lain-lainnya lagi.
Agama Hindu ini membagi masyarakat kedalam beberapa kelas (tingkatan), yaitu:
1. Kelas Brahmana yang terdiri dari para pemuka agama.
2. Kelas Ksatria yang terdiri para bangsawan dan raja-raja.
3. Kelas Waisa yang terdiri dari para saudagar dan petani.
4. Kelas Sudra yang terdiri dari para buruh.
5. Golongan Paria yaitu golongan yang tidak mempunyai kelas sama sekali.
Agama Hindu ini juga mengajarkan konsep "reinkarnasi", yaitu hidup kembali ke dunia dalam bentuk yang lain sesuai dengan amal perbuatannya.
Agama Budha
Diciptakan oleh Siddarta Gautama, anak dari raja Kapilawastu (kerajaan di India pada zaman purba). Agama Budha ini mengajarkan bahwa Bodhisatwa (Tuhan agama Budha) yang bersemayam di Nirwana (sorga) itu sebanyak 8 (delapan). Hanya saja yang bertugas kedunia ini bergantian satu persatu. Agama ini juga mengajarkan bahwa setiap pemeluk agama Budha yang ingin selamat dari kesengsaraan hidup di dunia dan ingin masuk ke Nirwana harus dapat mematikan keinginan-keinginan dari nafsunya.
Agama Shinto
Agama ini menyembah matahari dan mengajarkan bahwa para Kaisar Jepang itu adalah cucu dari Dewa Matahari. Agama Shinto ini dipeluk oleh bangsa Jepang.
Dan disamping agama-agama tersebut, masih ada kepercayaan-kepercayaan lainnya lagi, seperti:
1. Faham animisme, yang mengajarkan bahwa yang menentukan kebahagiaan dan kesengsaraan manusia hidup di dunia ini adalah para arwah dari orang-orang yang telah meninggal dunia.
2. Faham dinamisme, yang mengajarkan bahwa pada tempat-tempat tertentu dan benda-benda tertentu terdapat danyang-danyang yang dapat mempengaruhi kesuksesan dan kegagalan usaha seseorang.
3. Faham Totemisme, yang mengajarkan bahwa benda-benda tertentu yang telah dikeramatkan mempunyai pengaruh bagi kesuksesan dan kegagalan usaha seseorang.
Agama Samawi
Agama Samawi adalah agama yang berasal dari Sang Pencipta manusia. Agama ini disampaikan oleh Sang Pencipta manusia melalui wahyuNya yang disampaikan kepada para Nabi yang telah dipilih menjadi utusanNya, kemudian para utusan tersebut diperintahkan untuk mengajarkan agama tersebut kepada bangsa tertentu yang telah ditunjuk oleh Sang Pencipta.
Nabi adalah manusia biasa yang di dalam dirinya ada organ khusus yang dapat dipergunakan untuk menerima wahyu dari Sang Pencipta. Sang Pencipta dalam agama samawi disebut dengan nama Allah. Nabi yang menerima wahyu dari Allah, apabila diberi tugas untuk menyampaikan wahyu tersebut kepada orang lain, disebut "Rasul".
Para Rasul itu jumlahnya banyak; dan diantara mereka adalah: Adam, Idris, Nuh, Hud, Shalih, Ibrahim, Luth, Isma'il, Ishaq, Ya'qub, Yusuf, Ayyub, Syu'aib, Harun, Musa, Ilyasa', Dzulkifli, Dawud, Sulaiman, Ilyas, Yunus, Zakaria, Yahya, Isa dan Muhammad saw.
Agama samawi yang ada di dunia sekarang ini ada tiga, yaitu:
1. Agama Yahuudi yang diajarkan oleh Nabi Musa as.
2. Agama Nasrani yang diajarkan oleh Nabi Isa as.
3. Agama Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw.
Sebenarnya semua agama samawi yang diajarkan oleh para Rasul sejak Nabi Adam as. sampai dengan Nabi Muhammad saw., namanya adalah sama, yaitu Islam. Adapun jika kemudian agama Islam yang diajarkan oleh Nabi Musa as. dinamakan Agama Yahudi, maka maksudnya adalah agama yang dipeluk oleh bangsa Yahudi dan memang Nabi Musa as. hanya diutus oleh Allah untuk menyelamatkan bangsa Yahudi yang pada waktu itu ditindas oleh bangsa Mesir (qibthi) dibawah pimpinan raja mereka, yaitu "Fir'aun".
Dan jika kemudian agama Islam yang diajarkan oleh Nabi Isa dinamakan "Agama Nasrani", maka nama nasrani ini, menurut para ahli, kemungkinan berasal dari kata "Nazaret", yaitu desa kelahiran dari Nabi Isa as. Sehingga Agama Nasrani berarti agama yang diajarkan oleh Nabi yang berasal dari desa Nazaret. Dan kemungkinan berasal dari kata nashoro yang berarti "menolong"; sehingga Agama Nasrani berarti agama dari kaum penolong Nabi Isa as., yaitu murid-murid Nabi Isa as. sebanyak 12 orang dari kabilah Hawari, salah satu kabilah dari bangsa Yahudi.
Juga ada para ahli yang menyatakan bahwa hawari itu bukan kabilah, melainkan julukan dari para sahabat Nabi Isa as., sebagaimana julukan dari para pengikut Nabi Muhammad saw. yang hidup sezaman dengan beliau adalah "sahabat". Demikian pula dengan "kristen", maka kata "kristen" itu bukanlah nama asli dari agama yang diajarkan oleh Nabi Isa as. melainkan berasal dari bahasa Belanda yang berarti "pengikut salib".
Sedangkan nama "protestan", semula adalah sebutan bagi Calvyn dan Martin Luther yang protes terhadap kebijaksanaan paus yang menjual "surat pengampunan dosa" untuk mengumpulkan dana guna pembangunan gereja. Demikian pula halnya dengan nama-nama lainnya bagi agama yang diajarkan oleh Nabi Isa as. maka nama-nama tersebut bukanlah namanya yang asli.
Semua agama samawi memiliki ajaran yang sama,yaitu "tauhid mutlak" atau "monoteisme absolut" yaitu meyakini bahwa yang menciptakan alam semesta ini dan sekaligus memeliharanya serta harus dipatuhi dan dipuja, hanyalah satu, tidak berputera, tidak dilahirkan serta tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya, yaitu "Allah swt".
Adapun jika kemudian agama Yahudi meyakini ada dua Tuhan, yaitu: Tuhan Bapak (Allah swt.) dan Tuhan Anak (Nabi 'Uzair as.), ialah karena Nabi 'Uzair as. yang hidup sesudah Nabi Musa as. wafat, pernah tidur dalam sebuah gua selama seratus tahun lamanya. Menurut akal fikiran orang-orang Yahudi tidak mungkin manusia bisa dapat hidup selama seratus tahun tanpa makanan dan minuman, meskipun dalam keadaan tidur. Sehingga bangsa Yahudi menganggap bahwa hal itu hanya mungkin bagi Tuhan saja. Oleh karena itu Nabi 'Uzair as. pun dianggap sebagai anak Tuhan.
Karena ketauhidan dari agama Islam yang diajarkan oleh Nabi Musa as. sudah rusak dan berubah menjadi "syirik" atau menganggap Tuhan lebih dari satu, yaitu pengangkatan Nabi 'Uzair as. sebagai anak Tuhan hanya karena beliau tidur selama 100 tahun tanpa makan dan minum, maka Allah swt. ingin menunjukkan kepada bangsa Yahudi pada khususnya dan manusia pada umumnya akan ke-Maha Kuasa-an Allah swt. dengan menciptakan seorang manusia yang lahir dari seorang ibu tanpa ayah, yaitu Nabi Isa bin Maryam as., sebagaimana Allah telah menciptakan seorang manusia yang lahir dari seorang ayah tanpa ibu, yaitu Siti Hawa yang lahir dari Nabi Adam as. dan kemudian menjadi isteri Nabi Adam as; dan sebagaimana Allah swt. Maha Kuasa menciptakan seorang manusia yang lahir ke dunia tanpa ayah dan ibu, yaitu Nabi Adam as.
Akan tetapi ajaran tauhid yang diajarkan oleh Nabi Isa as. tidak dapat bertahan lama, karena pada tahun 325 M. terjadi "sidang gereja" (concili) di kota Necia yang memutuskan "pengangkatan Nabi Isa as." sebagai "anak Tuhan". Dan pada tahun 468 M. terjadi pula Konsili di kota Chalcedon yang memutuskan pengangkatan "oknum Tuhan yang ketiga". Pengangkatan tersebut dimungkinkan oleh hak konvensi yang dimiliki oleh gereja, yaitu
 Hak untuk menafsirkan ayat-ayat yang ada dalam kitab Injil.
 Hak untuk me-retool ayat-ayat Injil yang dianggap sudah tidak sesuai dengan situasi, kondisi dan domisili.
 Hak untuk membuat ayat-ayat Injil yang baru.
Karena ketiga hak tersebut maka ummat Katolik pernah mengenal ajaran selebatisme dari Benedictus yang mengajarkan bahwa setiap pastur dilarang kawin. Agustinuspun telah berhasil memasukkan teori "The Sin of Adam" ke dalam ajaran Katolik; dan Thomas Aquino juga berusaha untuk merationalkan "faham trinitas dalam ajaran Protestan.
Seluruh agama samawi memuat peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan oleh para pemeluknya yang telah memiliki keyakinan tauhid mutlak. Dan peraturan-peraturan yang diberikan kepada seseorang rasul ada kalanya harus tidak sama dengan yang diberikan kepada rasul yang lain, karena peraturan yang baik itu adalah peraturan yang harus sesuai dengan situasi, kondisi dan domisili. Itulah sebabnya maka Allah swt. mengutus rasul dengan peraturan yang baru setelah rasul terdahulu wafat, sedang peraturan yang dibawa oleh rasul terdahulu sudah tidak sesuai lagi dengan situasi, kondisi dan domicili.
Semua wahyu yang diberikan oleh Allah swt. kepada rasul-Nya dikumpulkan dalam sebuah kitab yang disebut "kitab suci". Dan diantara kitab-kitab suci yang masih ada sekarang ini adalah kitab "Taurat" yang dibawa oleh Nabi Musa as., kitab "Injil" yang dibawa oleh Nabi Isa as. dan kitab "Al Qur'an" yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.. Namun dari ketiga macam kitab suci tersebut ternyata hanya Al Qur'an yang sanggup mempertahankan keasliannya, meskipun sudah berumur 14 abad lebih.
Disamping itu, agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. memiliki kelebihan-kelebihan dibandingkan dengan agama-agama lainnya.
1. Dua kalimah syahadat yang merupakan statement yang radikal atau pernyataan yang paling tegas yang tidak mengenal kompromi sama sekali, karena setiap orang yang telah mengucapkan dua kalimah syahadat, dia harus berani untuk menyatakan kepada seluruh ummat manusia di dunia yang menganut berbagai macam konsep ketuhanan, agama, konsep kebahagiaan dan konsep kebenaran, bahwa:
a. Semua konsep ketuhanan yang ada di dunia ini adalah batal, kecuali aqidah Islamiyah yang sesuai dengan faham Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang telah diwahyukan oleh Allah swt. kepada Nabi Muhammad Rasul Allah saw.
b. Semua agama yang ada di dunia ini adalah batal, kecuali agama Islam yang telah diwahyukan oleh Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. sebagai Rasul Allah.
c. Semua konsep kebahagiaan yang ada di dunia ini adalah batal, kecuali konsep kebahagiaan yang ada dalam kitab suci Al Qur'an yang telah diwahyukan oleh Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. selaku Rasul Allah.
d. Semua teori kebenaran yang telah dikemukakan oleh para ahli filsafat di seluruh dunia ini adalah batal, kecuali konsep kebenaran dari Al Qur'an yang telah diwahyukan oleh Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. sebagai Rasul Allah.
2. Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. mempunyai sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh agama-agama lainnya di seluruh dunia, yang antara lain:
a. Agama Islam itu sesuai dengan fithrah (asal kejadian) manusia.
b. Agama Islam itu mudah, rasional, dan praktis.
c. Agama Islam itu mempersatukan antara kehidupan jasmani dan rohani dan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi.
d. Agama Islam itu menjaga keseimbangan antara kehidupan individual dan kehidupan bermasyarakat.
e. Agama Islam itu merupakan jalan hidup yang sempurna.
f. Agama Islam itu unversal dan manusiawi.
g. Agama Islam itu stabil dan berkembang.
h. Agama Islam itu tidak mengenal perubahan.
Penyusun makalah:
H. Achmad Masduqi Machfudh
Malang, 11 November 1994
Beragama Islam secara Kaffah
Indeks > Masail > Wilayah > Malang 2006 > 03
Pertanyaan
Bagaimana kecenderungan mufassinin (mutaqaddi-min-mutaakhirin) dalam menyimpulkan perintah memasuki Islam secara kaffah sesuai teks ayat: ادخلوا في السلم كافة (QS. Al-Baqarah : 208)
Jawaban
Kecenderungan mufassirin dalam menafsirkan perintah masuk Islam secara kaffah ada dua golongan yaitu:
1. Perintah masuk Islam bagi seluruh umat manusia.
2. Perintah terhadap umat Islam agar menerapkan syari'at secara penuh dengan segala kemampuannya.
المراجع:
التقسير الكبير للإمام فخرالدين محمد بن عمر الرازى (ط.دار الكتب العلمية)
(يا آيها الذين آمنوا) بالألسنة (ادخلوا في السلم كافة) أى دوموا على الإسلام فيما يستأنفونه من العمر ولا تحرجوا عنه ولا عن شرائعه ... الى ان قال ... قال القفال (كافة) يصح أن يرجع الى المأمورين بالدخول اى ادخلوا بأجمعكم في السلم ولا تفرقوا ولا تختلفوا، قال قطرب: تقول العرب: رأيت القوم كافة وكافين ورأيت النسوة كافات، ويصلح أن يرجع الى الإسلام كله اى في كل شرائعه، قال الواحدى رحمه الله: هذاأليق بظاهرالتفسير لأنهم أمروا بالقيام كلها
تفسير النسفى الجزء الأول ص.104-105
يآيها الذين آمنوا ادخلوا في السلم وبفتح السين حجازى وعلى هو الاستسلام والطاعة أي استسلموا الله واطيعواه او الإسلام والخطاب لأهل الكتاب لأنهم أمنوا بنبيهم وكتابهم أو للمنافقين لأنهم آمنوا بألسنتهم كافة لا يخرجأحد منكم يده عن طاعته حال من الضمير في ادخلوا اي جميعا أو من السلم لانها تؤنث كأنهم أمروا أن يدخلوا في الطاعات كلها أو في شعب الإسلام وشرائعه كلها وكافة من الكف كأنهم كفوا أن يخرج منهم أحد بإجتماعهم
بفسير إبن كثير-البقرة
وأبوالعالية وعكرمة والربيع بن أنس والسدي ومقاتل بن حيان وقتادة والضحاك جميعا وقال مجاهد أي اعملوا بجميع الأعمال ووجوه البروزعم عكرمة أنها نزلت في نفر ممن أسلم من اليهود وغيرهم كعبد الله بن سلام و أسد بن عبيد وثعلبة وطائفة استأذنوا رسول الله صلى الله عليه وسلم في أن يسبتوا وأن يقوموا بالتوراة ليلا فأمرهم الله بإقامة شعائر الإسلام والإشتغال بها عما عداها وفي ذكر عبد الله بن سلام مع هؤلاء نظر إذ يبعد أن يستأذن في إقامة السبت وهو مع تمام إيمانه يتحقق نسخه ورفعه وبطلانه والتعويض عنه بأعياد الإسلام ومن المفسرين من يجعل قوله كافة حالا من الداخلين أي ادخلوا في الإسلام كلكم والصحيح الأول وهو أنهم أمروا كلهم أن يعملوا بجميع شعب الإيمان وشرائع الإسلام وهي كثيرة جدا ما استطاعوا منها كما قال ابن أبي حاتم أخبرنا علي بن الحسين أخبرنا أحمد بن الصباح أخبرني الهيثم بن يمان حدثنا إسماعيل بن زكريا حدثني محمد بن عون عن عكرمة عن ابن عباس يآأيها الذين أمنوا ادخلوا في السلم كافة كذا قرأها بالنصب يعني مؤمني أهل الكتاب فإنهم كانوا مع الإيمان بالله مستمسكين ببعض أمور التوراة والشرائع التي أنزلت فيهم فقال الله ادخلوا في السلم كافة يقول ادخلوا في شرائع دين محمد صلى الله عليه وسلم ولا تدعوا منها شيئا وحسبكم الإيمان بالتوراة وما فيها وقوله ولا تتبعوا خطوات الشيطان أي اعملوا بالطاعات واجتنبوا ما يأمركم به الشيطان ف إنما يأمركم بالسوء والفحشاء وأن تقولوا على الله ما لا تعملون وإنما يدعو حزبه ليكونوا من أصحاب السعير ولذا قال إنه لكم عدو مبين قال مطرف أغش عباد الله الشيطان
Pertanyaan
Apakah manifestasi berislam secara kaffah mengharuskan pemberlakuan syari'at islam dalam kehidupan bernegara (konstritusional) dan kehidupan bermasyarakat (cultural) di Indonesia ?
Jawaban
Penerapan syari'at islam dalam kehidupan bernegara (konstitusi) dan dalam kehidupan bermasyarakat (kultur) adalah tanggungjawab bersama setiap muslim. Usaha menerapkan hukum Islam dalam konstitusi negara harus dilaksanakan dengan cara-cara yang jauh dari kekerasan. Tahapan amar ma'ruf nahi munkar adalah satu-satunya cara yang dapat ditempuh dalam memperjuangkan berlakunya hukum Islam dalam negara
بغية المسترشدين ص:271
والإسلام لايسمح المسلم ان يتخذ من غير شريعة الله قانونا وكل ما يخرج عن نصوص الشريعة او مبادئها العلية او روحها التشريعية محرم تحريما قاطعا على المسلم بنص القرآن الصريح
بغية المسترشدين ص:271 دار الفكر
(فائدة)-إلى ان قال-ومنها تجب أن تكون الأحكام كلها بوجه الشرع الشريف وأما أحكام السياسة فما هي إلا ظنون.
تفسير ابن كثير جز 2 ص:16
وقال علي بن ابي طلحة عن ابن عباس قوله ومن لم يحكم بما انزل الله فاؤلئك هم الكافرون قال ومن جحد ما انزل الله فقد كفر ومن اقربه ولم يحكم به فهو ظالم فاسق.
غاية تلخيص المراد ص:263
يجب على الحاكم الوقوف على احكام الشريعة التى اقيم لها ولا يتعداه الى احكام السياسة بل يجب عليه قصر من تعدى ذلك وزجره وتعزيره وتعريفه ان الحق كذا
Pertanyaan
Berdosakah orang Islam di Indonesia karena membiarkan tidak diamalkannya ajaran syari'at Islam oleh negara tempat ia menetap tinggal ?
Jawaban
Bagi yang mampu dan mempunyai akses untuk perjuangan berlakunya hukum Islam maka harus benar-benar melaksanakan tanggungjawabnya, sehingga apabila mereka (yang mampu) tidak ada usaha untuk berlakunya syari'at Islam di Indonesia, maka berdosa. Bagi masyarakat umum berkewajiban memberi dukungan penuh demi berlakunya hukum Islam.
عن طارق بن شهاب قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك اضعف الإيمان (رواه البخارى)
الغنية لطالب طريق الحق جز 1 ص:51
وقال الشيخ عبد القادير الجيلانى رضي الله عنه فالمنكرون ثلاثة اقسام قسم يكون انكاره باليد وهم الائمة والسلاطين والقسم الثانى انكارهم باللسان دون اليد وهم العلماء والقسم الثالث انكارهم بالقلب وهم العامة
حاشية الجمل شرح المنهج جز ص:182-183
وبأمر بمعروف ونهى عن المنكر اى الامر بواجبات الشرع والنهي عن محروماته اذا لم يخف على نفسه او ماله او على غيره قسدة المنكر الواقع
تفسير البيضاوي ج:2ص:328
ومن لم يحكم بما أنزل الله مستهينا به منكرا له فأولئك هم الكافرون لاستهانتهم به وتمردهم بأن حكموا بغيره ولذلك وصفهم بقوله الكافرون والظالمون والفاسقون فكفرهم لإنكاره وظلمهم بالحكم على خلافه وفسقهم بالخروج عنه
Pertanyaan
Bolehkan masing-masing WNI yang beragama Islam atau kelompok mereka menerapkan secara sepihak hukum publik yang menjadi bagian dari syari'at Islam (seperti hukum jinayat)
Jawaban
Penerapan syari'at Islam di bidang pemberlakuan hudud (hukuman mati, potong tangan, cambuk, dll.) adalah hak prerogratif negara. Masyarakat umum tidak boleh melaksanakan sendiri-sendiri atau pada kelompok masing-masing.
Tambahan:
Bagi organisasi-organisasi Islam seperti NU, diharapkan memberikan masukan-masukan kepada pemerintah untuk berlakunya hukum Islam dalam konstitusi negara.
الفقه الإسلامى وادلته الجزء السادس ص:58
ثانيا لايقيم الحدود إلا الإمام او من فوض اليه الإمام بإتفاق الفقهاء لأنه لم يقم حد على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم إلا بإذنه ولا في أيام الخلفاء إلا بإذنهم ولأن الحد دق الله تعالى يفتقر الى اللإجتهاد ولا يؤمن فيه الحيف فلم يجز بغير إذن الإمام.
الموسوعة الفقهية 3:167
الإستبداد المفضى الى الضرر او الظبم ممنوع، كالإستبداد في احتكار الأقوات، واستبداد أحد الرعية فيما هو من اختصاص الإمام مثل الجهاد، والإستبداد في اقامة الحدود بغير اذن الامام
الموسوعة الفقهية 240-17:242
الشرط السادس: الإذن من الإمام:16-اشترط فريق من العلماء في المستحب أن يكون مأذونا من جهة الإمام أو الولي، وقالوا: ليس للاحاد من الرعية الحسبة،...الى ان قال ...ومن ذلك ما كان مختصا بالأئمة والولاة فلا يستقل بها الآحاد كالقصاص، فإن لايستوفى إلا بحضرة الإمام، لأن الإنفراد باستيفانه محرك للفتن
Pertanyaan
Sesuaikah dengan prinsip ahkam sulthaniyah bila secara diam-diam sekelompok umat Islam di Indonesia membaiat dan mengesahkan Amir/pemimpin Islam guna menjadi landasan legitimasi ibadah atau pengalaman agama kelompok tersebut ?
Jawaban
Membaiat dan mengesahkan Amir/pemimpin Islam dengan tidak mengakui terhadap keabsahan kepemimpinan yang sudah ada tidak sesuai dengan prinsip hukum bernegara menurut Islam.
مراجع:
كشاف القناع للبهوتى الحنبلي الجزء السادس ص:205
الرابع قوم من أهل الحق باينوا الإمام وراموا خلعه أي عزلع أو مخالفته بتأويل سائغ بصواب أو خطأ ولهم منعة وشوكة بحيث يحتاج في كفهم إلى جمع جيش وهم البغاة المقصودون بالترجمة فمن خرج على إمام عدل بأحد هذه الوجوه الأربعة باغيا وجب قتالته لما تقدم أول الباب وسواء كان فيهم واحد مطلع أو لا أو كانوا في طرف ولايته أو في موضع متوسط تحيط به ولايته أو لا لعموم الأدلة
التشريع الجنانى الإسلامى لعبد القادر عودة الجزء الثانى ص:675
يشترط لوجود جريمة البغى الخروج على الإمام والخروج المقصود هو مخالفة الإمام والعمل لخلعه او الإمتناع عما وجب على الخارجين من حقوق ويستوى أن تكون هذه الحقوق الله اى مقررة لمصلحة الجماعة او للأشخاص اى مقررة لمصلحة الأفراد فيدخل تحتها كل حق تفرضه الشريعة للحكم على المحكوم وكل حق للجماعة على الأفراد وكل حق للفرد على الفرد فمن امتنع عن أداء الزكات فقد امتنع عن حق وجب عليهم ومن امتنع عن تنفيذ حكم متعلق بحكم الله كحد الزنا أو متعلق بحق الأفراد كالقصاص فقد امتنع عن حق وجب عليه ومن امتنع عن طاعة الإمام فقد امتنع عن الحق الذي وجب عليه وهكذا ولكم من المتفق عليه أن الإمتناع عنالطاعة في معصية ليس بغيا وإنما هو واجب على كل مسلم لأن الطاعة لم تفرض إلا في معروف ولا تجوز في معصية.
Pertanyaan
Sebagai konsekuensi Islam kaffah, haruskah dilakukan jihad guna menangkal praktek kemungkaran oleh WNI non muslim, seperti lokalisasi PSK, penjualan/konsumsi minuman keras, budidaya hewan babi, arena hiburan yang penuh maksiat dan lain sebagainya?
Jawaban
Sebagai konsekuensi Islam kaffah dalam rangka menangkal praktek kemungkaran wajib dilakukan jihad dalam pengertian أمر معروف نهى منكر sesuai dengan tahapan-tahapannya, dan harus berupaya untuk tidak menimbulkan kemunkaran yang lebih besar atau fitnah.
أحكام القرآن لإبن العربي ج:1ص:382،مانصه:
(ولتكن منكم أمة) دليل على ان الأمر للمعروف والنهي عن المنكر فرض ويقوم به المسلمون ... المسئلة الرابعة في ترتيب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر.
التشريع الجنائ الإسلامى جز 2 ص:677،ف:الشيخ عبد القادر عودة،ط:مؤسسة الرسالة
ومع ان العدالة شرط من شروط الامامة الا ان الرأي الراجح في المذاهب الأربعة ومذهب الشيعة الزيدية هو تحريم الخروج على الامام الفاسق الفاجر ولو كان الخروج للأمر بالمعروف والنهي عن المنكر لان مشروطه لايؤدي الإنكار الى ما هو انكر من ذلكالى الفتن وسفك الدماء وبث الفساد واضطراب البلاد واضلال العباد وتوهين الامن وهدم النظام
بغية المسترشدين،ص:251،مانصه:
وله درجتان. التعريف ثم الوعظ بالكلام اللطيف ثم السبب والتعنيف ثم المنع بالقهر، والأولان يعمان سائر المسلمين، والأخيران مخصوصا بولاة الامر اه.
Menuju Shalat yang Khusyu’
Indeks > Artikel > Menuju Shalat Khusyu
Sholat merupakan amal ibadah yang sudah sangat sering kita laksanakan setiap hari. Akan tetapi, seiring dengan seringnya kita melaksanakan ibadah tersebut pernahkan kita merasahan hati yang tentram dan tenang saat melaksanakannya maupun seusai itu? Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan untuk mencapai ketentraman hati sebagai atsar dari sholat yang kita lakukan.
Ikhlas
Hendaknya seseorang memiliki sifat ikhlas dalam melaksanakan sholat, karena kecintaannya kepada Allah, mengharap ridlo-Nya, dan mendekatkan diri kepada-Nya. Dia melaksanakannya bukan karena tendensi kepentingan dunia, akan tetapi semata-mata karena mengharap ridlo dan cinta Allah, takut pada azab-Nya, dan mengharap ampunan dan pahala dari-Nya.
Ibnu Al Qoyyim berkata, "Suatu amal tanpa didasari keihlasan dan tidak sesuai dengan yang telah dicontohkan Rasul, bagaikan seorang musafir yang mengisi tasnya dengan kerikil, yang memberatinya dan tidak memberi manfaat baginya."
Adapun rintangan dalam melaksanakan keihlasan adalah rintangan yang sulit diatasi, akan tetapi dengan keihlasan akan diperoleh sesuatu yang diinginkan, dan memberi manfaat yang sangat besar.
Ketulusan dan Kemurnian cinta kepada Allah
Dilakukan dengan cara mengosongkan hati dan memusatkan perhatian untuk menghadap Allah dan melaksanakan sholat dengan sebaik-baiknya serta menyempurnakannya baik lahir maupun batin sholat.
Sholat terbagi dalam bagian lahir dan batin. Bagian lahir adalah perbuatan yang nampak dan ucapan yang terdengar, sedang bagian batinnya adalah kekhusyu'an, muroqobah dan pengosongan hati hanya untuk menghadap kepada Allah dengan sepenuh hati dan tidak berpaling kepada selain Dia. Hal ini berhubungan dengan keadaan ruh ketika sholat. Sedangkan perbuatan berhubungan dengan badan. Jika tidak terdapat ruh dalam sholat, laksana badan tanpa ruh. Tidakah seorang hamba malu menghadap Tuhannya dalam keadaan seperti ini?
Jika tiba waktu sholat seorang pencinta Tuhannya akan segara melaksanakan sholat dengan tulus untuk menyembah-Nya seperti ketulusan seorang pencinta yang benar-benar mencintai kekasihnya yang memintanya melakukan sesuatu.
Hal ini tidak cukup hanya dengan kesungguhan saja, tapi harus dengan mencurahkan semua kemampuan untuk memperbaiki, menghiasi, membenarkan, dan menyempurnakan dirinya untuk memperoleh posisi dihadapan kekasihnya, sehingga memperoleh ridlo-Nya, dan dan dekat dengan-nya. Jadi, apakah seorang hamba itu tidak malu kepada Tuhan, majikan dan Dzat yang disembahnya saat beramal melakukan dengan tidak benar. Padahal dia tahu bahwa orang yang mencintai Tuhannya senantiasa sibuk untuk memperbaiki dan menyempurnakan sholatnya, karena kecintaan mereka kepada sang Khalik.
Seorang pencinta Allah senantiasa mencintai makhluk Allah, akan tetapi dia lebih memilih mencintai Tuhannya. Seseorang yang mampu intropeksi diri dan tahu akan perbuatan-perbuatannya, dia akan malu mempersembahkan amalnya kepada Allah, atau untuk memohon ridlo-Nya dan dia akan tahu seandainya dia tergolong manusia yang mencintai Allah, niscaya Allah akan mencurahkan cinta-Nya dan senantiasa memberikan kebaikan kepadanya.
Mengikuti petunjuk Rasul SAW
Sudah menjadi kewajiban setiap musim untuk mengerjakan sholat sebagaimana yang telah dilakukan Rasul SAW tanpa melakukan pengurangan yang tidak dilakukan beliau maupun oleh para sahabat. Sebagaimana yang telah terjadi di kalangan umat manusia. Di antara mereka telah melalaikan sunnah Nabi SAW dengan dalih mengikuti madzhab tertentu. Allah tidak membenarkan perbuatan seperti ini, terutama bagi orang yang telah mengetahui sunnah Nabi SAW. Karena Allah telah memerintahkan kita hanya taat Rasul-Nya, bukan kepada yang lain. Yakni taat atas apa yang telah diperintahkan dan meninggalkan perkara yang tidak beliau lakukan. Allah telah bersumpah bukan termasuk orang-orang yang beriman, hingga kita berpedoman kepada Rasul saat terjadi suatu perselisihan, hanya tunduk atas kebijaksanaan beliau, dan memeluk Islam secara keseluruhan. Kebijaksanaan yang tidak berasal dari beliau tidak akan dapat memberi manfaat kepada kita, dan juga tidak akan dapat menyelamatkan kita dari azab Allah. Dan pada hari kiamat sanggahan kita akan ditolak, tatkala Allah menanyai kita
ماذا أجبتم المرسلين
"Apakah jawabanmu kepada Rasul" (QS. Al Qoshos: 65)
Sebagaimana Allah berfirman,
"Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) Rasul-rasul (Kami)." (QS.Al A’raf: 6)
Ihsan
Dalam hal ini berkaitan dengan muqorobah, maksudnya hendaknya seseorang beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya. Karena jika kita tidak dapat melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat kita. Ihsan tumbuh dari kesempurnaan iman kepada Allah, asma dan sifat-sifat-Nya, hingga seseorang seolah-olah dapat melihat Allah berada di atas langit pada Arsy-Nya, memerintah dan melarang, mengatur kekhalifahan, menentukan dan meminta pertanggungjawaban setiap perkara, yang akan diperlihatkan semua perbuatan dan ruh manusia ketika menghadap kepada-Nya. Dalam hati mereka bersaksi terhadap asma dan sifat-sifat Allah, dan bersaksi bahwa Allah Maha Hidup, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Bijaksana, Yang Memerintah dan Melarang, mencintai dan marah, dan tidak ada suatu perbuatan, perkataan, dan batin manusia yang tersembunyi dari-Nya, bahkan Dia mengetahui sesuatu yang tidak tampak oleh mata dan yang tersembunyi di dalam dada.
Ihsan merupakan pokok dari semua amal hati. Ihsan mengharuskan adanya kemuliaan, keagungan, ketakutan, kecintaan, penyerahan diri, tawakal dan kerendahan hati kepada Allah SWT, merasa hina di hadapan-Nya, menghilangkan was-was dan hawa nafsu, memusatkan hati dan niat hanya kepada Allah dan mensucikan-Nya sebagaimana yang diucapkan oleh kedua bibirnya.
Keberhasilan seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah sesuai dengan kadar ihsan, sebagaimana perbedaan keutaman sholat antara dua orang yang diibaratkan antara langit dan bumi. Meskipun keduanya sama-sama berdiri, ruku’, dan sujud, yang membedakannya adalah hadirnya hati di hadapan Tuhannya. Sebagaimana Firman Allah mengenai gambaran orang yang lalai.
فويل للمصلين. الذين هم عن صلاتهم ساهون
“Maka celakalah bagi orang-orang yang sholat. (Yaitu) orang-orang yang lalai dari sholatnya.” (QS. Al-Ma'un : 4-5)
Dari Ammar bin Yasir berkata, ”Aku mendengar Rasul SAW bersabda, ’Sesungguhnya seorang hamba melakukan sholat hanya sepersepuluh, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga dan seperdua dari sholat yang diwajibkan baginya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, dan Abu Daud dengan sanad hasan)
Bersyukur atas karunia Allah
Hendaknya seseorang mengetahui bahwa hanya karena karunia Allah yang menjadikan diri dan keluarganya mendapat posisi di hadapan-Nya, dan menjadikan hati dan badannya menjalankan perintah-Nya. Kalau bukan karena Allah maka semua itu tidak akan dapat terwujud.
Allah berfirman,
“Mereka merasa telah memberi nikmat kapadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, ’Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, Sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat: 17)
Allah SWT yang telah menjadikan seorang muslim menjadi muslim, dan orang yang sholat melaksanakan sholat, sebagaimana yang dikatakan Nabi Ibrahim as.
“Ya Tuhan kami jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (Jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami.” (Al-Baqoroh: 128)
“Ya Tuhanku. Jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan sholat.” (QS. Ibrahim: 40)
Hanya karena karunia Allah yang membuat seseorang menjadi taat kepada-Nya dan dalam hal ini merupakan nikmat yang paling agung. Allah berfirman,
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allahlah (datangnya).” (QS. An-Nahl: 53)
“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yag mengikuti jalan yang lurus." (QS. Al-Hujurat: 7)
Perkara ini merupakan perkara yang paling agung dan paling bermanfaat bagi seorang hamba. Setiap hamba yang paling tinggi ketauhidannya maka keberhasilan dalam perkara ini akan lebih sempurna. Seseorang jika telah mengetahui bahwa Allah SWT yang telah memberi karunia taufik dan hidayah kepadanya berupa pengetahuan dan amal perbuatan yang mengagumkan. Dia telah menentukan hal tersebut kepada manusia, niscaya akan hilang rasa ujub dari hati dan lisannya dan dia tidak akan mengungkit-ungkit ataupun membanggakan amalnya. Ini merupakan kedudukan amal yang tertinggi.
Merasa rendah
Seorang hamba yang bersungguh-sungguh dan mencurahkan segala usahanya untuk melaksanakan suatu perintah, dia adalah orang yang memiliki keterbatasan dan Allah lebih berhak untuk diperlakukan seperti itu. Dia lebih layak untuk disembah dengan ketaatan dan penghambaan. Kebesaran dan keagungan-Nya menuntut adanya penghambaan yang sepantasnya. Jika hamba para raja bekerja dengan mengagungkan, memuliakan, penuh rasa malu, keluhuran, rasa takut, dan ketulusan dan memperuntukkan hati dan anggota badan hanya kepada tuannya, maka raja dari para raja, Tuhan lamgit dan bumi lebih layak untuk diperlakukan lebih dari itu semua.
Jika seorang hamba mengetahui dirinya belum menyembah Tuhannya sesuai dengan hak-Nya, maka berarti dia megetahui kekurangan dan keterbatasannya, dan dia tidak mampu melaksanakan apa yang seharusnya menjadi hak-Nya. Maka mengharapkan ampunan atas amal ibadah kepada-Nya lebih dibutuhkan dari pada memohon ampunan dari amal ibadah tersebut. Jika seseorang telah melakukan ibadah dengan benar maka ibadah tersebut sudah menjadi kebutuhannya. Pengabdian dan amal seorang hamba merupakan kewajiban kepada tuannya, apalagi sebagai hamba Allah.
Amal dan pengabdian seseorang sudah menjadi kewajibannya, karena kedudukannya sebagai hamba Allah, jika diberi pahala atas amal dan pengabdiannya, maka hal tersebut semata-mata karena keutamaan, karunia dan kebaikan Allah kepadannya, bukan sebagai hak seorang hamba.
Rasul SAW bersabda, ”Sesungguhnya tidak seorang pun akan masuk surga berdasarkan amalnya. Para sahabat berkata, ‘Tidak jugakah engkau ya Rasulullah?' Beliau menjawab, ’Dan tidak juga aku, kecuali Allah melimpahkan ampunan dan rahmat-Nya kepadaku. (HR. Ahmad, Bukhori, dan Muslim dari Aisyah ra.)
Seseorang yang mengetahui hal ini, maka berarti dia telah mengetahui rahasia dalam amal-amal ketaatan, dan menjadi keharusan baginya mengakhiri semua amalnya dengan memohon ampunan.
Dalam Shahih Muslim dari Tsauban berkata, ”Rasulullah SAW setelah salam dari sholatnya, membaca istighfar tiga kali, dan membaca doa, ’Ya Allah, Engkaulah keselamatan, dari-Mu lah keselamatan, Maha Suci Engkau wahai Dzat yang memiliki keagungan dan kemuliaan.” (HR. Ahmad, Muslim, Tirmidzi, dan An Nasa’i).
Allah berfirman,
“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (QS.Adz-Dzariyat :17-18)
Allah mengabarkan tentang orang-orang yang memohon ampunan sesudah sholat malam, dan Allah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk membaca istighfar sesudah thawaf ifadhah dalam haji, dan Dia berfirman,
“Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah, sesungguhnya Allah maha pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.Al-Baqoroh: 199)
Disyariatkan bagi orang yang berwudlu, setelah wudlu berdo’a,
“Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri”.
Ini merupakan taubat sesudah wudlu, haji, sholat dan qiyamul lail.
Ringkasnya ini merupakan keadaan seorang hamba terhadap Tuhannya dalam semua amalnya, yang dia tahu bahwa dia tidak mampu memenuhi maqom ini sesuai haknya, maka dia senantiasa memohon ampunan kepada Allah sesudah melakukan semua amal perbuatan. Semakin banyak ketaatannya, maka semakin banyak pula taubat dan istighfarnya. Jika seorang hamba senang melakukan taubat dan sholat dengan tenang, maka akan membekas dalam hati, badan, dan semua tingkah lakunya, dan nampak pada wajah, lisan dan anggota badannya. Dalam hatinya timbul kecondongan kepada akhirat, menjauhi dunia, sedikit tamak pada dunia dan segala sesuatu yang ada di dalamnya maka sholatnya telah mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar, senang menghadap Allah dan menghindari sesuatu yang dapat menghalanginya dari Allah.
Dari Sa’ad bin Abi Waqqos ra. Berkata, “Seseorang datang kepada Nabi SAW. dan berkata, ’Ya Rasulullah, berilah aku wasiat.' Rasulullah bersabda, ‘Jangan berharap pada sesuatu yang ada pada diri manusia dan jangan bersikap tamak. Karena itu merupakan kefakiran. Sholatlah yang dengannya kamu mendapatkan ketenangan, dan janganlah kamu meninggalkannya.” (HR. al Hakim dishohihkan dan disetujui olah adz-Dzahabi)
Dari Aisyah istri Rasul berkata, “Aku bertannya kepada Rasul tentang ayat, “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS. Al-Mu'minun: 60). Aisyah berkata, “Apakah mereka orang-orang yang minum khomr dan mencuri?” Rasul menjawab, “Bukan wahai putri ash-Shidiq, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang berpuasa, sholat, bershodaqoh, dan mereka takut tidak diterima. Mereka adalah orang-orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan, dan mereka termasuk orang-orang yang terdahulu dalam kebaikan-kebaikan tersebut.”
(HR. Ahmad 6/159 dan 5, Ibnu Jarir 18/26, Tirmidzi 3175, al-Baghowi dalam tafsirnya 3/312, al Hakim 2/393-394, dishohihkan dan disepakati oleh adz-Dzahabi)
Hadits ini mengandung dua perkara sebagai berikut.
Terdapatnya keterbatasan dan kekurangan seorang hamba
Kesungguhan cinta, seorang hamba yang benar-benar mencintai dia akan mendekatkan diri pada sesuatu yang dicintainya dengan sekuat tenaga. Dia berharap dan merasa malu menghadap-Nya dengan sesuatu yang ada pada dirinya, sedangkan dia tahu yang dicintainya lebih berkuasa dan lebih agung dari dirinya. Ini merupakan bentuk kecintaan makhluk. Oleh karena itu hendaknya kita berusaha menunaikan sholat sesuai dengan kesempurnaannya secara lahir maupun batin.
Sesungguhnya dalam sholat tersebut terdapat sesuatu yang menakjubkan untuk mencegah keburukan dunia. Tidak ada sesuatu yang dapat mencegah keburukan dunia dan mendatangkan kemaslahatan yang menyamai sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari dosa dan penyakit hati, menolak penyakit pada badan, menyinari hati, mencerahkan wajah, menyemangatkan anggota badan dan jiwa, mendatangkan rizki, menolak kedholiman, menolong yang terdholimi, mengekang bercampurnya syahwat, memelihara nikmat, menolak siksa, mendatangkan rahmat dan menghilangkan kesedihan. Sholat dapat menjaga kesehatan, membahagiakan jiwa, menghilangkan kemalasan, menjaga kekuatan, melapangkan dada, memelihara ruh, mendatangkan barokah, menjauhkan dari syaitan, dan mendekatkan kepada yang Maha Pengasih.
Ringkasnya dalam sholat memiliki pengaruh yang sangat menakjubkan dalam menjaga kesehatan serta kekuatan badan dan hati, menolak unsur-unsur dari keduanya, penyakit, malapetaka atau bala yang menimpa seseorang. Kecuali jika keuntungan yang diperoleh orang yang sholat tersebut sangat sedikit. Rahasia dari semua itu adalah bahwasanya sholat merupakan penghubung dengan Allah Azza wa Jalla. Akan dibuka pintu-pintu kebaikan, diputus sebab-sebab keburukan, dilimpahkan anugerah dari Tuhannya, kekuatan, kesehatan, kemanfaatan, kekayaan, ketenangan, kenikmatan, kebahagiaan dan kesenangan yang kesemuannya akan didatangkan dan segera diberikan kepada seorang hamba sesuai kadar hubungannya dengan Tuhannya.
Seorang hamba di hadapan Allah berada pada dua keadaan. Berada di hadapan Allah pada waktu sholat dan pada waktu bertemu dengan-Nya. Barangsiapa melaksanakan dengan benar pada keadaan yang pertama, maka akan dimudahkan baginya pada keadan yang kedua. Barangsiapa yang lalai dan tidak melaksanakan dengan benar, maka akan dipersulit pada keadaan yang kedua.
Allah berfirman,
“Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari. Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak memperdulikan kesudahan mereka pada hari yang berat (hari kiamat).”
(QS. Al-Insan: 26-27)
Dinukil dan diterjemahkan dari kitab As-Sholah Al-Khosi’ah karya Abdullah bin Abdurrahman Al Jibroin.
Penulis: Siti Hanifah
Mahasiswi Universitas Islam Negeri Malang, salah seorang mitra asuh yang mendapat bea siswa dari para donator Nurul Huda. Aktif mengikuti kegiatan eksta penerjemahan kitab dan mengajar kelas bahasa arab di Universitas Brawijaya Malang.
Kembali ke atas

Pendidikan Ala Kyai Bisri Mustofa
Indeks > Artikel > Pendidikan Alayaibisri
dikutip dari santrileteh.com
Metode pengajaran yang dikembangkan oleh KH. Bisri Mustofa di Pesantren Rauldatuth Tholibin pada awal berdirinya adalah murni salaf (ortodoks). Pengajaran dilakukan dengan cara bandongan (kuliah umum) dan sorogan (privat). Keduanya diampu langsung oleh KH. Bisri Mustofa sendiri.
Pendidikan Santri
Metode pengajaran yang dikembangkan oleh KH. Bisri Mustofa di Pesantren Rauldatuth Tholibin pada awal berdirinya adalah murni salaf (ortodoks). Pengajaran dilakukan dengan cara bandongan (kuliah umum) dan sorogan (privat). Keduanya diampu langsung oleh KH. Bisri Mustofa sendiri. Ketika jumlah santri meningkat dan kesibukan KH. Bisri Mustofa bertambah maka beberapa santri senior yang telah dirasa siap, baik secara keilmuan maupun mental, membantu menyimak sorogan. Pengajian bandongan terjadwal dalam sehari semalam pada masa KH. Bisri Mustofa meliputi pengajian kitab Alfiyyah dan Fath al-Mu’in sehabis maghrib, Tafsir Jalalain setelah jama’ah shubuh, Jam’ul Jawami’ dan …. pada waktu Dhuha, selain itu KH. Bisri Mustofa melanjutkan tradisi KH. Cholil Kasingan mengadakan pengajian umum untuk masyarakat kampung sekitar pesantren tiap hari Selasa dan Jum’at pagi.
Pondok Pesantren Raudlatut Thalibien Rembang adalah wujud kecintaan K. Bisri kepada ilmu pengetahuan. Di tempat inilah belian mengajarkan ilmu kepada santri-santri dengan istilah beliau ‘kulakan’ atau ‘grosiran’, sebab banyak materi diberikan dengan jangka waktu yang panjang dan penjelasan yang mendetail. K. Bisri tidak pernah lelah mengajar santri-santrinya. Pernah di suatu ketika menjelang subuh K. Bisri tiba di rumah dari menghadiri pengajian di suatu tempat. Perjalanan pulang ke rumah terasa melelahkan, walaupun demikian K. Bisri tetap menunggu waktu subuh untuk kemudian mengajar.
Bagi K. Bisri kewajiban seorang santri adalah belajar dan belajar agar hal ini dapat dilaksanakan oleh semua santrinya maka beliau selalu mengawasi santri-santrinya supaya lebih banyak menggunakan waktunya untuk belajar. Untuk mendapatkan ilmu menurut Kyai Bisri tidak ada cara lain kecuali belajar. Barokah dan lain sebagainya bisa mengalir ketika kita mau belajar dengan tekun. Ketika ada seorang santri mengantuk pada waktu ngaji K. Bisri yang mengatahuinya langsung marah dan berkata “Jangan mengaji kepadaku!!! Mengajilah pada K. Ma’ruf yang sudah punyak barokah, sebab aku belum punya barokah”. Kalimat ini dimaksudkan bahwa soal-soal supranatural yang irrasional dalam menuntut ilmu misalnya laduni, jadug tanpa tirakat, pinter tanpa meguru, bukanlah aliran yang diikuti Kyai Bisri.
Pernah suatu kali ada seorang santri dari pondok lain sowan ke hadapan beliau. Santri tersebut minta didoakan agar cepat kefutuh hatinya sebab pada saat itu dia sedang menjalani laku tirakat dengan cara menziarahi makam-makam walisanga yang terkenal itu dengan berjalan kaki. Oleh K. Bisri, santri tersebut justru dimarahi. Terjadilah tanya jawab yang menarik.
“Sampean sudah berapa lama berjalan?”
“Wah sudah kira-kira dua bulan Kyai. Saya sekarang hampir menyelesaikan separuh perjalanan. Saya sekarang dalam perjalanan ke Jawa Timur dan Madura.”
“Sampean sudah ijin sama Kyai sampean?”
“Sudah Kyai, malahan saya dipeseni untuk mampir, sowan sama Kyai.”
“Sekarang pondok apakah sedang liburan?”
“Tidak Kyai.”
“Kyai sampean apa sedang sakit?”
“Tidak Kyai.”
“Berarti sekarang kegiatan belajar mengajar di pondok tetap berlangsung?”
“Iya Kyai.”
“Sekarang sampean pulang saja. Naek bis. Jangan jalan kaki! Nanti tak sangoni kalau sampean ndak punya uang untuk ongkos. Pulang ke Pesantren!”
“Lo saya sekarang kan sedang menjalankan laku saya, Kyai..”
“Lo, lo, lo, gimana to sampean? Sampean saat ini sedang mondok. Meguru pada seorang Kyai. Kalau sekarang Kyai sampean mengijinkan sampean menjalani laku semacam ini bukan karena beliau menyetujui. Itu karena Kyai sampean adalah orang yang beradab sehingga sungkan sama sampean. Namanya dzolim kalau sampean meneruskan laku sampean itu. Umur dan status sampean sekarang pelajar, muta’allim. Tugasnya belajar, nderespada seorang guru. Apalagi tadi kata sampean, laku sampean itu supaya bisa kefutuh hatinya. Nanti sampaikan salam saya pada Kyai sampean.”
“Tapi Kyai…”
“Ndak ada tapi-tapinan. Orang-orang nyebut saya ini Kyai. Kyai yang ngalim malah. La kok sampean yang belum apa-apa ngeyeli saya. Saya sudah pengalaman. Teman-teman saya yang Kyai buanyak. Ngalim-ngalim semua. Kefutuh semua. Ndak ada itu yang pinter dan ngalim gara-gara laku kayasampean. Yang ada ya nderes. Nanti kalau pas liburan atau pondok sedang tidak aktif, bolehlah sampean jalan-jalan ziarah ke makam wali-wali. Kalau pondok sedang aktif ya di pondok aja. Ngaji. Nderes.”
Peningkatan Amal dari Ajaran Aswaja
Indeks > Artikel > Peningkatan Amal Aswaja
Sebagaimana kita ketahui bahwa ajaran dari agama Islam itu terdiri dari tiga macam, yaitu:
1. Ajaran tentang Islam, yang dipergunakan untuk membimbing manusia selaku makhluk yang memiliki nafsu (homo animale).
2. Ajaran tentang Imam, yang dipergunakan untuk membimbing manusia selaku makhluk yang memiliki akal fikiran (homo rationale).
3. Ajaran tentang Ihsan, yang dipergunakan untuk membimbing manusia selaku makhluk yang memiliki budi pekerti, atau hati nurani, atau sarirah, atau 'ainul bashirah (homo somatica)
Ketiga ajaran agama Islam tersebut, yaitu: Imam, Islam dan Ihsan, disebut sebagai Risalah Islamiyah atau Fithrah Munazzalah. Sedang ketiga unsur jiwa manusia tersebut, yaitu: nafsu, akal fikiran dan hati nurani, disebut sebagai Fithrah Mukhallaqah.
Faham atau aliran Aswaja, dalam bidang:
1. Keimanan, mengikuti faham yang dirumuskan oleh Imam Abul Hasan Al Asy'ari, atau Imam Abu Mansur Al Maturidi.
2. Fiqih, mengikuti salah satu dari madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali.
3. Akhlaq/tasawwuf, mengikuti faham yang dirumuskan oleh Imam Junaid Al Baghdadi dan Imam Al Ghozali serta orang-orang yang sefaham dengan kedua beliau.
Tujuan utama dari Risalah Islamiyah itu adalah untuk membentuk Insan Kamil, yaitu manusia yang seluruh aspek hidup dan kehidupannya telah dijiwai oleh ketiga ajaran agama Islam. Untuk itu setiap muslim dituntut untuk melakukan peningkatan dalam ketiga bidang ajaran agama Islam tersebut, baik dari segi kwantitas maupun dari segi kwalitas.
Peningkatan imam dari segi kwantitas, ialah dengan jalan mengamalkan cabang-cabang iman sebanyak 77 cabang, sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan oleh para ahli hadits sebagai berikut:
اَلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ شُعْبَةً ، اَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ اِلهَ إِلاَّ اللّهُ وَاَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيْمَانِ . رَوَاهُ الْمُحَدِّثُوْنَ .
Iman itu tujuh puluh tujuh cabangnya. Cabang yang paling utama adalah mengucapkan kalimah "Laa ilaaha illallaah" dan cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan dari jalan. Dan malu berbuat maksiat adalah salah satu cabang dari iman. (H.R. para ahli hadits)
Ketujuh puluh tujuh cabang iman tersebut dituturkan oleh Syeikh Zainuddin bin Ali dalam kitab Syu'abul Iman sebagai berikut:
1. Beriman kepada Allah.
2. Beriman kepada para malaikat.
3. Beriman kepada kitab-kitab Allah.
4. Beriman kepada para nabi.
5. Beriman kepada hari kiamat.
6. Beriman kepada kepada kebangkitan orang yang sudah mati.
7. Beriman kepada qadar.
8. Beriman bahwa para makhluk semuanya sesudah dibangkitkan dari kubur, akan digiring ke padang mahsyar, yaitu tempat pemberhentian mereka di hari kiamat.
9. Beriman bahwa sesungguhnya surga itu adalah tempat tinggal yang kekal bagi orang muslim.
10. Mencintai Allah ta'ala.
11. Takut kepada siksa Allah.
12. Mengharap rahmat Allah ta'ala.
13. Tawakkal.
14. Mencintai Nabi Muhammad saw.
15. Mengagungkan derajat Nabi Muhammad saw.
16. Bakhil dengan agama Islam.
17. Mencari ilmu;
18. Menyebarkan ilmu agama Islam.
19. Mengagungkan dan menghormati Al Qur'an.
20. Bersuci.
21. Menunaikan shalat lima waktu dengan sempurna.
22. Memberikan zakat kepada yang berhak menerimanya dengan niat yang khusus.
23. Berpuasa pada bulan Ramadlan.
24. I'tikaf.
25. Menunaikan ibadah haji.
26. Berjuang membela agama.
27. Mempertahankan garis demarkasi.
28. Tetap dalam memerangi musuh dan tidak lari dari medan pertempuran.
29. Memberikan seperlima dari harta rampasan perang.
30. Memerdekakan budak yang mu'min.
31. Membayar kafarat.
32. Memenuhi janji.
33. Bersyukur.
34. Menjaga lidah dari omongan yang tidak pantas.
35. Menjaga kemaluan dari hal-hal yang dilarang oleh Allah.
36. Menunaikan amanat kepada yang berhak.
37. Meninggalkan membunuh orang muslim.
38. Menjaga diri dari makanan dan minuman yang diharamkan.
39. Menjaga diri dari harta yang haram.
40. Menjaga diri dari pakaian, perhiasan dan tempat (bejana) yang diharamkan.
41. Menjaga diri dari permaianan-permainan yang dilarang.
42. Sederhana dalam membelanjakan harta.
43. Meninggalkan dendam dan hasud.
44. Melarang mencela orang-orang muslim, baik di hadapan mereka atau tidak.
45. Ikhlas dalam beramal karena Allah ta'ala.
46. Senang sebab ta'at, susah sebab kehilangan ta'at dan menyesal sebab maksiat.
47. Bertaubat.
48. Menyembelih kurban, aqiqah dan hadiah.
49. Ta'at kepada ulil amri, mengenai perintah mereka yang berjalan menurut kaidah-kaidah syara', demikian pula ta'at kepada larangan mereka yang sesuai dengan kaidah-kaidah syara'.
50. Berpegang teguh pada apa yang telah disepakati jama'ah.
51. Menghukumi manusia dengan adil.
52. Menyuruh perkara yang telah diketahui kebaikannya dan melarang parkara yang mungkar.
53. Saling membantu dalam kebajikan dan ketaqwaan.
54. Malu kepada Allah.
55. Berbuat baik kepada kedua orang tua.
56. Silatur rahim.
57. Berbudi pekerti yang baik.
58. Berbuat baik kepada budak belian.
59. Ketaatan budak kepada majikannya.
60. Menjaga hak isteri dan anak-anak.
61. Menyintai ahli agama.
62. Menjawab salam dari orang-orang muslim.
63. Mengunjungi orang yang sakit.
64. Menyalati mmayit yang muslim.
65. Membacakan "tasymit" kepada orang yang bersin yang membaca "hamdalah".
66. Menjauhi setiap orang yang berbuat kerusakan.
67. Memuliakan tetangga.
68. Memuliakan tamu.
69. Menutupi cacat orang-orang muslim.
70. Sabar dalam menjalankan keta'atan sehingga dapat melaksanakannya.
71. Zuhud.
72. Cemburu dan tidak membiarkan isterinya bercumbu rayu dengan laki-laki lain.
73. Berpaling dari omongan yang tidak berguna.
74. Dermawan.
75. Menghormati orang tua dan menyayangi anak muda.
76. Mendamaikan pertikaian yang ada di antara orang-orang muslim.
77. Mencintai untuk orang lain apa saja yang dicintai untuk dirinya sendiri.
Sedang meningkatkan kwalitas iman, adalah berusaha meningkatkan iman dari 'ilmul yaqin, menjadi 'ainul yaqin dan terakhir menjadi haqqul yaqin.

Meningkatkan amal Islam dari segi kwantitas harus dilakukan dengan jalan mem-perbanyak jumlah amal ibadah yang dikerjakan dan berusaha untuk menjalankannya dengan istiqamah. Sedang meningkatkan amal Islam dari segi kwalitas harus dilakukan dengan jalan melakukan amal ibadah karena takut kepada siksa Allah, menjadi karena mengharapkan sorga Allah, dan terakhir karena semata-mata ingin mendekat-kan diri kepada Allah.
Meningkatkan amal Ihsan dari segi kwantitas, harus dilakukana dengan jalan mem-bersihkan hati dari akhlak-akhlak yang tersela yang induknya oleh Imam Al Ghazali disebutkan sebanyak 10, kemudian menghiasi hatinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji yang induknya oleh Imam Al Ghazali disebutkan sebanyak 10.
Sepuluh induk akhlak tercela:
1. Tamak terhadap makanan
2. Tamak kepada omongan
3. Suka marah
4. Hasud
5. Bakhil dan senang harta
6. Ambisi dan gila hormat
7. Senang dunia
8. Ujub atau membanggakan diri
9. Takabur
10. Riya' atau mencari simpati dari selain Allah dengan amal ibadah
Sepuluh induk akhlak terpuji:
11. Bertaubat
12. Khauf dan raja'
13. Zuhud
14. Sabar
15. Syukur
16. Ikhlas dan jujur
17. Tawakkal
18. Cinta kepada Allah
19. Rela kepada ketentuan Allah
20. Selalu mengingat mati dan hakekatnya
Sedang meningkatkan amal Ihsan dari segi kualitas adalah berusaha meningkatkan diri dari tingkat orang awam menjadi orang shalih. Dari tingkat orang shalih menjadi orang yang bertaqwa. Dari orang yang bertaqwa menjadi orang yang mencintai Allah. Dari orang yang mencintai Allah menjadi ahli ma'rifat.
Pemakalah:
H. Achmad Masduqi Machfudh
Malang, 10 Agustus 1996
Puasa: Menurut fiqh sampai medis
Indeks > Artikel > Puasa Fikih Dan Medis
"Kesehatan itu bermula dari kemauan diri berhenti makan sebelum kenyang"
(Al-Alim Al-Faqih Al-Habib Zen bin Smith)
Berpuasa dari sisi sejarahnya telah dimulai sejak zaman nabiyullah Nuh as.. Namun tata cara mereka dalam berpuasa sangat bervariasi. Salah satu diantaranya adalah puasa menurut nabiyullah Daud as., dengan cara berpuasa satu hari dan berbuka di hari berikutnya.
Puasa ala Nabi Daud rating (peringkat) tertinggi pahalanya di sisi Allah setelah puasa Ramadlan, karena memiliki tingkat kesulitan yang luar biasa, untuk kapasitas nafsu manusia yang variatif. Maka puasa ini bisa menggantikan puasa wishol (pati geni Jw.) artinya puasa yang tidak diselingi dengan berbuka, dan dilanjutkan sampai hari berikutnya. Hal ini banyak diikuti oleh agama selain Islam.
Nabi sendiri melakukannya, akan tetapi melarang pada sahabatnya untuk melakukan puasa wishol tersebut, karena dapat merusak fungsi anggota tubuh di masa tuanya. Hal ini menjadi khususiyah nabi Muhammad saw.
Suatu ketika salah satu sahabat bertanya tentang pahala yang bisa menyamai pahala jihad. Rasulullah terdiam sejenak, lalu sahabat bertanya yang kedua kali, sampai ketiga kalinya Rasulullah menjawab:
"Masalul mujahid fi sabilillah kamatsalil shoim, al-qoim, al-qonit bi ayatillah, la yaftarru min sholatin wa siyamin hatta yarji'u mujahid fi sabilillah"
Hadits di atas adalah sebuah gambaran keagungan pahala puasa yang menyamai pahala jihad fi sabilillah. Karena puasa yang dilakukan dengan imanan wah tisaaban (mengharap ridlo Allah) dan dengan membaca ayat-ayat Allah dan menunaikan ibadah sholat sunnah setiap harinya, hal inilah yang menjadi pertimbangan agungnya amal tersebut.
Dalam sepuluh tahun terakhir para ahli kedokteran telah mengumpulkan data-data laboratorium medis kedokteran yang menunjukkan bahwa puasa dapat membantu untuk mengobati sebagian penuaan dini. Karena puasa tersebut menambah kinerja pemecahan hormon (FSH) dan hormon latinah (LH) dan hormon prolaktin. Di sisi lain mendukung kinerja hormon testosteron pria, lebih lanjut membantu dalam pembentukan sperma.
Jika seorang ibu hamil dengan melaksanakan puasa di bulan Ramadlan, bisa diprediksi adanya peningkatan keadaan janin ditinjau dari perubahan janin tersebut di bulan berikutnya. Kenyataan ini tidak bertentangan dengan hadist nabawiy yang berbunyi:
"wa man lam yastathi' fa 'alaihi bisshoumi, fainnahu lahu wija' "
"dan barang siapa yang tidak bisa kawin, maka sebaiknya dia berpuasa, karena puasa tersebut dapat membentenginya"
Hadits tersebut kadang-kadang disalahartikan bahwa puasa dapat melemahkan kekuatan jasmani, padahal nabi memotivasi para pemuda untuk berpuasa, seraya bertujuan agar mereka menyibukan diri dengan ibadah, sehingga terhindar dari terlintasnya gerakan syahwat di dalam pikiran mereka.
Pembahasan ilmiah modern menunjukkan bahwa pengaruh syahwat (birahi) terhadap hormon lebih ringan dari pada pengaruh syahwat terhadap kinerja anggota badan yang lain. Dengan berpuasa, akan memiliki kecenderungan peningkatan pengaturan terhadap kinerja kelenjar di dalam tubuh.
Menetralisis Racun dan memperpanjang umur
Diantaranya seperti lemak yang menyebabkan kegemukan dan menimbulkan berbagai penyakit seperti, meningkatnya tekanan darah. Para peneliti meyakini bahwa puasa dapat meminimalisir pertumbuhan kanker dalam tubuh dan juga dapat membunuh kanker sampai ke akarnya.
Sebagian yang lain meyakini bahwa puasa dapat memperpanjang umur. Artinya dengan puasa mengurangi kinerja anggota tubuh secara berlebihan.
Banyak kalangan menyangka bahwa puasa di bulan ramadlan, dapat membahayakan terhadap wanita hamil dan janinnya dan orang terkena penyakit menahun seperti kencing manis dan penyakit jantung serta komplikasi. Akan tetapi sangkaan tersebut disanggah oleh para ilmuan, dengan pernyataan:
"Puasa di bulan Ramadlan tidak berpengaruh selama masa kehamilan, berat badan janin, kinerja seluruh anggota badan, dam sirkulasi darah dalam tubuh".
Disamping puasa merupakan olah raga jiwa, puasa juga merupakan olah badan yang meringankan rasa capek yang berlebihan pada lambung, yang terjadi pada sebagian orang.
Di era modern, para dokter spesialis menganjurkan untuk berpuasa bagi orang yang terkena penyakit. Pernyataan ini tidak terdapat di dunia kedokteran pada masa lampau, dikarenakan alat-alat medis yang tidak memadai.
Sunnah-sunnah dalam berpuasa
Bersahur
Sesuai dengan hadits : "tasahharuu fainna fissahuur baraakatan", yang artinya bersahurlah karena didalam sahur terdapat barokah. Juga disunnahkan disaat bersahur dan berbuka untuk makan kurma. Kurma memiliki kandungan glukosa yang mempercepat pemulihan kemampuan tubuh setelah seharian tidak makan. Para ahli kedokteran telah meneliti bahwa sunnah tersebut dapat menghilangkan rasa pusing karena lapar.
Sholat tarawih
Selain berfungsi sebagai taqarrub kepada Allah, juga membantu semangat tubuh dan meringankan rasa capek yang biasa dirasakan oleh orang yang berpuasa setelah berbuka.
Mandi setelah sholat maghrib
Hal ini berfaedah sebagai cara untuk menyegarkan tubuh, sehingga dapat menambah semangat untuk melaksanakan sholat tarawih dan witir dimalam harinya.
Rusaknya puasa
Puasa bisa batal dengan tidak terpenuhinya syarat dan rukunnya puasa dengan perincian sebagai berkut:
Masuknya sesuatu ke dalam tubuh secara sengaja bisa membatalkan puasa
ulama berselisih pendapat tentang kaffaroh bagi orang yang sengaja Imam Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa wajib kaffaroh bagi orang yang makan dengan sengaja disiang hari Ramadhan , sedangkan menurut Imam Syafi'i dan Hambali berpendapat tidak wajib .
Sesuatu yang masuk ke dalam tubuh itu tidak disyaratkan harus mengenyangkan , maka barang siapa yang makan sesuatu yang biasanya tidak dimakan seperti kerikil maka puasanya batal.
Ingus (expectorate)
Menurut imam Syafi'i membatalkan, apabila tertelan.
Muntah (vomit)
Tidak membatalkan apabila tanpa ada unsur kesengajaan.
Tetesan air
Sifatnya membatalkan jika masuk melalui lubang tubuh seperti telinga, dan lain.
Alat deteksi medis (rectal enema) yang dimasukkan melalui dubur (anus)
dapat membatalkan puasa dengan kesepakatan para ulama fiqh, termasuk obat-obatan.
Alat deteksi penyakit pada vagina (vaginal suppositories)
Hal ini tidak membatalkan puasa karena vagina bukan lubang masuknya makanan dan minuman.
Suntikan
Tidak membatalkan puasa menurut pendapat yang paling benar (qoul Ashoh), baik melalui kulit, daging, atau urat nadi.
Mendonorkan darah (tabarru' biddam)
Atau mengalirkan darah melalui luka, canduk. Semuanya tidak membatalkan puasa menurut jumhur ulama (mayoritas ulama).
Jima' (bersetubuh-coitus)
Mayoritas ulama berpendapat, bahwa bersetubuh secara sengaja di siang hari di bulan Ramadlan membatalkan puasa, dan wajib qodlo dan kafarah (berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu memberi makanan pada 60 orang miskin).
Konklusi atas tuntutan zaman
"Puasa", demikian jawaban atas orang-orang kedokteran telah menyingkap rahasia puasa terhadap pengaruhnya pada tubuh. Masihkah akal-akal kita menolak dunia sains yang telah membuka tabir-tabir kebenaran Islam? Kalau tidak mari kita mulai puasa untuk bertaqarrub dan jaminan-jaminan lain yang akan diberikan Allah di akherat nanti.
Penulis:
Achmad Shirojuddin
Risalah Amaliyah Nahdliyah
Indeks > Artikel > Risalah Amaliyah Nahdliyah Pcnu Malang Mar08
Pengantar
Risalah kecil ini disusun oleh tiga lembaga di bawah naungan Nahdlatul Ulama yaitu LAKPESDAM, Lembaga Bahtsul Masail dan Rabithah Maahidil Islam Kota Malang dalam rangka Harlah NU ke-82.
Diantara kegiatan-kegiatan yang diadakan pengurus NU Kota Malang, PC NU Kota Malang berupaya menerbitkan risalah ini agar dijadikan pegangan dan bekal bagi para jamaahnya.
Risalah ini memuat berbagai dalil amaliah yang selama ini sudah dilaksanakan ditengah-tengah kehidupan social sehari-hari. Para Ulama dahulu dengan segala kearifannya, lebih menekankan amal dari ilmu dari setiap amaliah sehari-hari. Ketika zaman telah berubah dimana gempuran kaum wahabi bertubi-tubi dari berbagai penjuru, mereka meracuni nahdliyin dengan berbagai pernyataan bahwa setiap amaliah yang telah dilakukan orang NU tidak berdasar dan bid’ah. Bahkan di daerah Jawa Tengah kelompok Wahabi dengan menggunakan baju Majelis Qiraah al Quran, membayar beberapa stasiun radio agar mempropagandakan bahwa amaliyah NU itu sesat dan bid’ah setiap pagi dan sore.
Apa yang dilakukan PCNU Kota Malang ini harus disambut baik, ditindaklanjuti dan disebarluaskan ke berbagai kalangan Nahdliyin agar mereka tidak goyah dengan amaliyahnya sehari-hari.
Untuk mempermudah cara baca, sengaja risalah ini dibuat dengan sistem tanya jawab.
Indeks
1. Tahlil dan Dzikir Jamaah
2. Berdzikir, Berdoa dan Bersedekah untuk Mayat
3. Tawasul
4. ZIARAH KUBUR
5. AL-Qur'an dan Shalat
Tahlil dan Dzikir Jamaah
Bagaimana hukumnya tahlil?
Mengapa hukumnya tahlil ditanyakan? Bukankah tahlil itu sighat masdar dari madzi hallala yang artinya baca Laa Ilaaha Illa Allah.
Bukan. Yang saya maksud adalah tahlil menurut istilah yang berlaku di kampung-kampung itu.
Tahlil menurut istilah yang berlaku di kampung-kampung, kota-kota bahkan seluruh penjuru adalah berisi bacaan Laa Ilaaha Illa Allah,Subhaana Allah wa bi Hamdihi, Astaghfirullah al Adzim, sholawat, ayat-ayat al Quran, fatihah, Muawwidzatain dan sebagainya apakah juga masih ditanyakan hukumnya?
Tetapi apakah ada aturan berdzikir secara jamaah sebagaimana dilakukan jamaah NU?
وَاصبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الذِيْنَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالغَدَاةِ وَالعَشِيِّ يُرِيْدُونَ وَجْهَهُ وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ
Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridlaan NYA; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka…
Di samping ayat disebutkan diatas, diantara ayat yang biasa anda dan kyai NU pahami sebagai anjuran dzikir berjama'ah adalah
"(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. 3:191)

Ayat di atas, dianggap sebagai dalil yang membolehkan dzikir berjamaah karena menggunakan sighat (konteks) jama' (plural) yaitu yadzkuruna. Menurut kyai NU jama' berarti banyak dan banyak artinya bersama-sama. Pengambilan dalil semacam ini menurut saya adalah tidak benar, karena tidak setiap kalimat yang disampaikan dalam bentuk jama' harus dipahami bahwa itu dilakukan dengan bersama-sama.
Syaikh Dr. Muhammad bin Abdur Rahman al-Khumayyis, penulis makalah "Adz-Dzikr al-Jama'i baina al-Ittiba' wal ibtida' (telah dibukukan dengan judul yang sama), menjelaskan bahwa sighat (konteks) jama' dalam ayat di atas adalah sebagai anjuran yang bersifat umum dan menyeluruh kepada semua umat Islam untuk berdzikir kepada Allah subhanahu wata'ala tanpa kecuali, bukan anjuran untuk melakukan dzikir berjama'ah.

Selain itu jika sighat (konteks) jama' dalam ayat tersebut dipahami sebagai anjuran untuk melakukan dzikir secara berjama'ah atau bersama-sama maka kita akan kebingungan dalam memahami kelanjutan ayat tersebut. Disebutkan bahwa dzikir itu dilakukan dengan cara berdiri (qiyaman), duduk (qu'udan) dan berbaring ('ala junubihim). Nah bagaimanakah praktek dzikir bersama-sama dengan cara berdiri, duduk dan berbaring itu? Apakah ada dzikir berjama'ah dengan cara seperti ini? Permasalahan lainnya adalah bahwa ayat ini turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat berada di samping beliau. Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat memahami ayat tersebut sebagai perintah untuk dzikir bersama-sama satu suara?
Kalau anda menyatakan bahwa lafadz jama' itu tidak selalu bersama-sama, maka bisakah anda menunjukkan bahwa lafadz jama' itu tidak mungkin dimaknakan bersama-sama? Bagaimanakah dengan kisah para sahabat yang berdoa bersama Rasul saw dengan melantunkan syair (Qasidah/Nasyidah) di saat menggali khandaq (parit) Rasul saw dan sahabat2 radhiyallhu ‘anhum bersenandung bersama sama dengan ucapan:
"HAAMIIIM LAA YUNSHARUUN.." (lihat Kitab Sirah Ibn Hisyam Bab Ghazwat Khandaq).
Perlu anda ketahui bahwa sirah Ibn Hisyam adalah buku sejarah yg pertama ada dari seluruh buku sejarah, yaitu buku sejarah tertua. Karena ia adalah Tabi'in. Sehingga akurasi sumber datanya lebih valid. Begitu juga pada waktu para sahabat membangun saat membangun Masjidirrasul saw: mereka bersemangat sambil bersenandung:
"Laa 'Iesy illa 'Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhaajirah"
Setelah mendengar ini maka Rasul saw pun segera mengikuti ucapan mereka seraya bersenandung dengan semangat:
"Laa 'Iesy illa 'Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhajirah ..." (Sirah Ibn Hisyam Bab Hijraturrasul saw- bina' masjidissyarif hal 116)
Ucapan ini pun merupakan doa Rasul saw demikian diriwayatkan dalam shahihain. Mengenai makna berdiri (qiyaman), duduk (qu'udan) dan berbaring ('ala junubihim). Tidakkah anda pernah shalat berjamaah? Bukankah shalat juga melafalkan dzikir? Bukankah shalat itu bisa berdiri, duduk dan tidur miring? Menafsiri ayat tersebut diatas Ibn Katsir mengutip hadits Nabi riwayat Bukhari:
عن عِمْران بن حُصَين، رضي الله عنه، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "صَلِّ قائما، فإن لم تستطع فقاعدا، فإن لَم تستطع فَعَلَى جَنْبِكَ أي: لا يقطعون ذِكْره في جميع أحوالهم بسرائرهم وضمائرهم وألسنتهم
Jadi ayat tersebut di atas lebih dititikberatkan kepada bagaimana tata cara orang shalat, namun secara umum dapat juga diartikan dzikir secara laf-dziy. Seseorang dapat berdzikir kepada Allah dengan segala tingkah sesuai kemampuannya. Kalau anda memaknakan bahwa dzikir berjamaah dengan tidur semua, duduk semua atau berdiri semua, manakah point yang menunjukkan itu? Bagaimana kalau dimaknakan bila dzikir itu dibaca berjamaah, kita dapat berdiri, duduk dan tiduran sesuai dengan kondisi kita? Berdiri karena tidak lagi kebagian tempat, tiduran karena kondisi tubuhnya tidak memungkinkan.

Sahabat Rasul radhiyallahu'anhum mengadakan shalat tarawih berjamaah, dan Rasul saw justru malah menghindarinya, mestinya andapun shalat tarawih sendiri sendiri, kalau toh Rasul saw melakukannya lalu menghindarinya, lalu mengapa Generasi Pertama yg terang benderang dg keluhuran ini justru mengadakannya dengan berjamaah. Sebab mereka merasakan ada kelebihan dalam berjamaah, yaitu syiar, mereka masih butuh syiar dibesarkan, apalagi kita dimasa ini.
Kalau anda tidak mau memaknakan kalimat jama' dengan arti bersama-sama, dari makna apa anda shalat tarawih berjamaah? Berdasar hadits dan ayat al Quran yang mana?
Kita Ahlussunnah waljama'ah berdoa, berdzikir, dengan sirran wa jahran, di dalam hati, dalam kesendirian, dan bersama sama. Sebagaimana Hadist Qudsiy Allah swt berfirman :
إِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ هُمْ خَيْرٌ مِنْهُمْ
Bila ia (hambaKu) menyebut namaKu dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam diriku, bila mereka menyebut namaKu dalam kelompok besar, maka Akupun menyebut (membanggakan) nama mereka dalam kelompok yg lebih besar dan lebih mulia". (HR Muslim).
Kita di majelis menjaharkan lafadz doa dan munajat untuk menyaingi panggung-panggung maksiat yg setiap malam menggelegar dengan dahsyatnya menghancurkan telinga, berpuluh ribu pemuda dan remaja MEMUJA manusia manusia pendosa dan mengelu elukan nama mereka.. menangis menjilati sepatu dan air seni mereka.., suara suara itu menggema pula di televisi di rumah rumah muslimin, di mobil2, dan hampir di semua tempat,

Salahkah bila ada sekelompok pemuda mengelu-elukan nama Allah Yang Maha Tunggal? Menggemakan nama Allah? Apakah Nama Allah sudah tak boleh dikumandangkan lagi dimuka bumi? Mewakili banyak hadits tentang dzikir berjamaah ini, perhatikan dan camkanlah hadits ini:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً يَطُوفُونَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُمْ قَالَ فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا قَالَ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ مِنْهُمْ مَا يَقُولُ عِبَادِي قَالُوا يَقُولُونَ يُسَبِّحُونَكَ وَيُكَبِّرُونَكَ وَيَحْمَدُونَكَ وَيُمَجِّدُونَكَ قَالَ فَيَقُولُ هَلْ رَأَوْنِي قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ مَا رَأَوْكَ قَالَ فَيَقُولُ وَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْكَ كَانُوا أَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً وَأَشَدَّ لَكَ تَمْجِيدًا وَتَحْمِيدًا وَأَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيحًا قَالَ يَقُولُ فَمَا يَسْأَلُونِي قَالَ يَسْأَلُونَكَ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا وَأَشَدَّ لَهَا طَلَبًا وَأَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً قَالَ فَمِمَّ يَتَعَوَّذُونَ قَالَ يَقُولُونَ مِنْ النَّارِ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا وَأَشَدَّ لَهَا مَخَافَةً قَالَ فَيَقُولُ فَأُشْهِدُكُمْ أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ قَالَ يَقُولُ مَلَكٌ مِنْ الْمَلَائِكَةِ فِيهِمْ فُلَانٌ لَيْسَ مِنْهُمْ إِنَّمَا جَاءَ لِحَاجَةٍ قَالَ هُمْ الْجُلَسَاءُ لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ رواه البخارى
Sabda Rasulullah saw: "Sungguh Allah memiliki malaikat yg beredar dimuka bumi mengikuti dan menghadiri majelis majelis dzikir, bila mereka menemukannya maka mereka berkumpul dan berdesakan hingga memenuhi antara hadirin hingga langit dunia, bila majelis selesai maka para malaikat itu berpencar dan kembali ke langit, dan Allah bertanya pada mereka dan Allah Maha Tahu : "darimana kalian?" mereka menjawab : kami datang dari hamba hamba Mu, mereka berdoa padamu, bertasbih padaMu, bertahlil padaMu, bertahmid pada Mu, bertakbir pada Mu, dan meminta kepada Mu,
Maka Allah bertanya: "Apa yg mereka minta", Malaikat berkata: mereka meminta sorga, Allah berkata: apakah mereka telah melihat sorgaku? Malaikat menjawab: tidak, Allah berkata: "Bagaimana bila mereka melihatnya". Malaikat berkata: mereka meminta perlindungan Mu, Allah berkata: "mereka meminta perlindungan dari apa?" Malaikat berkata: "dari Api neraka", Allah berkata: "apakah mereka telah melihat nerakaku?" Malaikat menjawab tidak, Allah berkata: Bagaimana kalau mereka melihat neraka Ku. Malaikat berkata: mereka beristighfar pada Mu, Allah berkata: "sudah kuampuni mereka, sudah kuberi permintaan mereka, dan sudah kulindungi mereka dari apa apa yg mereka minta perlindungan darinya, malaikat berkata: "wahai Allah, diantara mereka ada si fulan hamba pendosa, ia hanya lewat lalu ikut duduk bersama mereka, Allah berkata: baginya pengampunanku, dan mereka (ahlu dzikir) adalah kaum yg tidak ada yg dihinakan siapa siapa yg duduk bersama mereka
Berdzikir, Berdoa dan Bersedekah untuk Mayat
Bagaimanakah hukum berdzikir atau berdoa untuk orang yang sudah meninggal dunia?
Berdoa merupakan perintah Allah. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu berdoa kepada Allah. Karena doa erupakah inti dari ibadah. Dalam setiap gerak ibadah yang dilakukan olelh seorang mukmin itu ada doa. Bahkan dalam sebuah hadits dinyatakan, bahwa doa itu merupakan pedang bagi seorang muslim. Islam membolehkan berdoa atau dzikir untuk orang yang sudah mati. Dalam sebuah ayat dinyatakan:
Orang-orang yang datang sesudah mereka(Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu daripada kami." (QS. Al-Hasyr)

Ayat tersebut secara jelas menyatakan bahwa para sahabat pernah berdoa untu saudara-saudara mereka yang telah lebih dahulu meninggal dunia. Ketika para sahabat melakukan hal itu, rasulullah pun tidak melarangnya. Nabi membiarkan dan membolehkannya. Perintah untuk mendoakan orang lain juga disebutkan dalam ayat:
"Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan." (QS. Muhammad: 19)

Nabi SAW.sendiri dalam beberapa haditsnya memerintahkan secara terang-terangan supya umat islam membacakan ayat-ayat al-Qur'an untuk orang yang telah meninggal dunia. Hal ini dapat dilihat dalam hadits berikut:
Dari Mu'aqqol ibn Yassar ra.: "barang siapa membaca surat yasin karena mengharap ridlo Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, maka bacakanlah surat yasin bagi orang yang mati diantar kamu." (Al-Baihaqi, Jami'us Shogir: bab Syu'abul Iman, Vol. 2, hal. 178, termasuk hadits shohih.)
Senada dengan itu, dalam hadits lain Rasulullah juga menganjurkan kepada kaum muslimin untuk memohonkan ampunan bagi si mayit atas dosa-dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan saat hidup di dunia. Dari Utsman bin Affan ra, dia berkata:
"Ketika Rasulullah selesai menguburkan jeazah, maka beliau berdiam diri atas mayit, lalu bersabda, "mohon ampunlah kalian semua kepada Allah SWT.untuk saudaramu. Dan mohonlah ketetapan untuk mayit sesungguhnya saat ini dia sedang diberi pertanyaan." (HR. Abu Daud dan Hakim, termasuk hadits shohih menurut Abu Daud, Bulughul Maram: 115/604)
Bagaimana hukum bersedekah untuk orang yang sudah meninggal dunia?
Dalam islam, sedekah merupakan amalan mulia yang sangat dianjurkan, bahkan merupakan perintah yang harus dijalankan. Di dalam al-Qur'an digambarkan bahwa bersedekah merupakan salah satu cirri orang yang bertaqwa. Dengan kata lain seseorang tidak masuk dalam kategori bertaqwa (muttaqin) manakala ia tidak mau menyisihkan sebagian hartanya untk disedekahkan kepada orang yang berhak. Allah befirman:
"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS. Ali- Imron: 133-134)

Banyak hikmah yang dapat diambil dalam bersedekah. Oranng yang bersedekah tidak akan mengalami kerugian, baik materil maupun spiritual. Allah sendiri dalam wahyu-Nya menjanjkan mereka yang mau bersedekah untuk dilipatgandakan. Seseorang yang mensedekahkan hartanya digambarkan akan mendapatkan pahala berlipat-lipat ibarat dahan pohon yang memiliki tujuh ranting, dan setiap ranting memiliki seribu benih. Dalam ayat lain Allah secara tegas akan menjamin orang yang bersedekah, ia akan dilindungi dari kejahatan orang-orang dzalim.
"Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)." (QS. A-Anfal : 60).

Bersedekah tidak saja dapat dilakukan ketika masih hidup. Tetapi sedekah juga dapt dilakukan untuk orang yang sudah meninggal dunia. Rasulullah pernah SAW.perah memerintah seseorang suaya bersedekah untuk keselamatan keluarganya yang telah meninggal dunia.
Dari Aisyah ra.bahwa seorang laki-laki berkata kepada rasulullah SAW. "Sesungguhnya ibuku telah meninggal, dan aku melihatnya seolah-olah dia berkata, bersedekahlah. Apakah baginya pahala jika aku bersedekah untuknya?". Rasulullah SAW. Bersabda,"ya". (Muttafaqu ‘alaih)
Perintah rasulullah yang senada itu juga dapat ditemukan dalam hadits-hadits yang lain. Bahkan beliau menyebut amalan sedekah sebagai amalan yang tidak akanpernah putus meskipun oranng yang bersedekah itu telah meninggal dunia. Pahala sedekah tidak saja dapat mengalir ketika yang bersangkutan masih hidup, tetapi juga ketika jasad sudah ditiggalkan oleh rohnya. Dari Abi Hurairah ra.bahwa rasulullah SAW.bersabda:
'Tatkala manusia meninggal maka putuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara. Yaitu amal Jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendoakannya." (HR. Muslim).
Apa hukum talqin (pengajaran) kepada mayit?
Di kalangan ulama ahli ijtihad, tidak ada perbedaan pendapat mengenai talqin (mengajarkan kalimal La ilaaha illa Allah) kepada orang yang sedang sekarat, berdasarkan hadits:
لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ بِلاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ
"Hendaklah kamu semua mengajarkan kepada orang-orang meninggal alian degan kalimat Laa ilaaha illa Allah(tidak ada Tuhan selain Allah)"
Adapun mengajari (talqin) orang yang baru dikuburkan menurut ulama madzhab Syafi'i, mayoritas ulama madzhab Hambali dan sebagian ulama madzhab Hanafi dan Maliki hukumya sunnah, berdasarkan riwayat At-Tabrani:
"Dari Abu Umamah ra., "Apabila salah seorang di antara saudaramu meninggal dunia dan tanah telah diratakan di atas kuburannya, maka hendaklah salah seorang diantara kamu berdiri di arah kepala, lalu ucapkanlah, ‘Hai Fulan bin fulanah (nama mayat dan nama ibunya). ‘Sesungguhnya si mayat itu mendengar, namun tidak dapat menjawab. Kemudian ucapkan ‘Hai fulan bin fulanah, ‘Sesungguhnya dia duduk. Lalu ucapkan lagi, ‘hai fulan bin fulanah, maka si mayat berkata, ‘Bimbinglah kami, semoga Allah merahmatimu. Kemudian katakanlah "ingatlah apa yang kamu pertahankan saat meninggal dunia berupa kalimat syahadat dan kerelaanmu trhadap Allah sebagai Tuhan, islam sebagai agama, Muhammad sebagai Nabi, dan Al-Qur'an sebagai panutan. Sesungguhnya malaikat munkar dan nakir saling berpegangan tangan dan berkata, ‘ayo pergi. Tidak perlu duduk di sisi orang yang diajarkan kepadanya jawabannya. Allah-lah yang dapat memintainya jawaban, bukan malikat munkar dan akir. Lalu ada seorang laki-laki bertanya, ya Rasulullah bagaimana jika ibu si mayat tidak diketahui? Beliau menjawab, sambungkan nasabnya ke ibu Hawa. (HR. At-Thabrani)
Hadits tersebut marfu', sekalipun dhoif, tetapi hadits ini boleh diamalkan dalam amal-amal kebaikan (fadhoilul a'mal) dan untuk mengingatkan orang-orang mukmin, dan juga mengingatkan firman Allah SWT:
"Dan tetaplah memberi peringatan, karena Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman." (QS. Adz-Dzariyat: 55)

Dan tentu saja nasehat yang paling dibutuhkan oleh setiap hamba adalah ketika baru saja dikebumikan. Imam ibnu Taimiyah dalam fatwa-fatwanya menjelaskan, sesungguhnya talqin sebagaimana tersebut diatas benar-benar dari sekelompok sahabat Nabi SAW.bahwa mereka menganjurkan talqin. Diatara mereka adalah Abu Umamah ra. Imam ibnu Taikiyah berkata, "Hadits-hadits yang menerangkan bahwa orang yang dalam kubur itu ditanya dan diuji dan perlu di doakan adalah sngat kuat. Oleh sebab itu talqin berguna baginya, sebab mayat itu dapat mendengar seruan, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang shohih:
"Sesungguhnya Nabi SAW. Bersabda: "Sesungguhnya mayat dalam kubur itu mendengar gesekan sandal-sandal kamu semua."
Sementara itu, dalam hadits yang lain disebutkan:
"Sesungguhnya beliau bersabda: "kamu semua tidaklah lebih mendengar apa yang kau ucapkan daripada mereka."
Tawasul
Apa arti tawasul dengan walinya Allah?
Tawasul dengan walinya Allah SWT artinya menjadikan para kekasih Allah sebagai perantara menuju kepada Allah SWT.dalam mencapai hajat, karena kedudukan dan kehormatan di sisi Allah yang mereka miliki, disertai keyakinan bahwa mereka adalah hamba dan makhluk Allah SWT.yang dijadikan oleh-Nya sebagai lambing kebaikan, barokah, dan pembuka kunci rahmat. Pada hakekatnya, orang yang bertawasul itu tidak meminta hajatnya dikabulkan kecuali kepada Allah SWT dan tetap berkeyakinan bahwa Allah-lah yang maha memberi dan Maha Menolak. Bukan yang lain-Nya. Ia menuju kepada Allah SWT.dan orang-orang yang dicintai Allah SWT, karana mereka lebih dekat kepada-Nya, dan Dia menerima doa mereka dan syafaatnya karena kecintaan-Nya. Allah SWT,mencintai orang-orang yang baik dan orang-orang yang bertaqwa. Dalam hadits qudsi disebutkan:
ولا يزال عبدي يتقرّب إليّ بالنوافل حتى أحبه فإذا أحببته كنت سمعه الذى سمع به وبصره الذى يبصر به ويده التى يبطش بها ورجله الذى يمشى بها ولئن سألني لأعطيته ولئن استعاذني لأعيذنه
Hambaku tidak henti-hentinya mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunah, sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya, maka Aku pendengarannya yang ia mendengar dengannya, dan penglihatannya yang ia melihat dengannya, tangannya, dan penglihatanny yang ia melihat dengannya, kakinya yang ia berjalan dengannya. Apabila ia memohon kepada-Ku, maka aku berinya, dan jia meminta perlindungan, maka Aku berinya perlindungan." (HR. Imam al-Bukhori).
Apa hukum tawasul dengan orang-orang yang dikasihi oleh Allah?
Tawasul dengan orang-orang yang dicintai Allah, seperti nabi-nabi dan orang-orang yang shalih itu boleh, berdasarkan ijma' ulama' kaum muslimin. Bahkan ia merupakan cara orang-orang mukmin yang diridloi. Tawasul itu telah dikenal sejak zaman dahulu dan sekarang.
Bagaimana halnya dengan orang yang beranggapan bahwa tawasul itu adalah syirik dan kufur, serta pelakunya adalah musyrik dan kafir?
Tidak dapat diteladani orang yang nyleneh dan berpisah dari jama'ah yang beranggapan bahwa tawasul adalah perbuatan syirik atau haram, lalu menghukumi musyrik orang-orang yang bertawasul. Ini jelas tidak benar dan batil, sebab anggapan seperti ini akan menimbulkan penilaian, bahwa sebagian umat Islam telah membuat kesepakatan (ijma') atas perkara yang haram atau kemusyrikan. Hal demikian adalah mustahil, karena umat Muhammad ini telah mendapat jaminan tidak bakal membuat kesepakatan atas perbuatan sesat, berdasarkan hadits-hadits Rasulullah SAW.seperti hadits:
سألت ربي أن لايجمع أمتي على ضلالة فأعطانيها
"Saya memohon kapada Tuhanku Allah, untuk tidak menghimpunkan umatku atas perkara sesat, dan Dia mengabulkan permohonanku itu." (HR. Ahmad dan at-Thabrani).
لايجمع الله أمتي على ضلالة أبدا
"Allah tidak menghimpunkan umatku untuk bersepakat atas perkara sesat selama-lamanya." (HR.Imam al-Hakim).
ما رآه المسلمون حسنا فهوعهند الله حسن
"Apa yang diyakini baik oleh orang-orang islam, maka menurut Allah juga baik."
Apakah ada dalil al-qur'an tentang tawasul?
Ya, ada. Adapun ayat al-Qur'an yang menunjukkan dibolehkan tawasul adalah ayat:
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya." (QS. Al-Maidah: 35)

Ini adalah permintaan dari Allah, agar kita mencari wasilah (perantara), yaitu segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai sebab untuk mendekatkan kepada-Nya dan sampai pada terpenuhinya hajat dari-Nya.
Apakah tawasul itu terbatas pada amal perbuatan saja, tidak pada benda (Dzat)?
Tidak, karena ayat Al-Qur'an tersebut umum (‘amm) meliputi amal-amal perbuatan baik dan orang-orang shalih, yakni dzat-dzat yang mulia, seperti Nabi SAW.dan wali-wali Allah yang bertaqwa.
Adapun orang yang berpendapat boleh tawasul dengan amal perbuatan saja, sedangkan tawasul dengan dzat-dzat tidak boleh, dan ia membatasi maksud ayat pada pengertian pertama (tawasul dengan amal perbuatan), maka pendapat ini tidak berdsar, sebab ayat tersebut adalah mutlak. Bahkan membawa ayat kepada pengertian kedua (tawasul dengan dzat) itu lebih mendekati, sebab Allah dalam ayat ini memerintahkan taqwa dan mencari wasilah, sedang arti taqwa adalah mengerjakan perintah dan menjauhi larangan. Apabila kata "Ibtighoul wasilah" (mencari wasilah) kita artikan dengan amal-amal sholeh, berarti perintah dalam mencari wasilah hanya sekedar pengulangan dan pengukuhan. Tetapi jika lafad "al-Wasilah" ditafsirkan dzat-dzat yang ulia, maka ia berarti yang asal, dan akna inilah yang lebih diutamakan dan lebih didahulukan. Disamping itu apabila tawasul itu boleh dengan amal-amal perbuatan baik, padahal amal-amal perbuatan merupakan sifat yang diciptakan, maka dzat-dzat yang diridloi oleh Allahlebih berhak dibolehkan, mengingat ketinggian tingkat ketaatan, keyakinan dan ma'rifat dzat-dzat itu kepada Allah SWT, allah SWT.berfirman:
(QS. An-Nisa' : 64).
Ayat ini dengan jelas menerangkan dijadikannya RAsulullah sebagai wasilah kepada Allah SWT. Firman Allah "Jaa-uuka" (mereka dating kepadamu) dan "Wastaghfaro lahumurrosuulu" (dan Rasul memohokan ampun untuk mereka). Andaikata tidak demikian, maka apa kalimat "Jaa-uuka".
Apakah tawasul itu dibolehkan secara umum, baik dengan orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati?
Ya, dibolehkan secara umum, karena ayat tersebut juga umum ('amm), ketika beliau masih hidup di dunia dan sesudah beliau wafat.
Telah dipastikan, bahwa para nabi dan para wali itu hidup dalam kubur mereka, dan arwah mereka di sisi Allah SWT. Barangsiapa tawasul dengan mereka dan menghadap kepada mereka, maka mereka menghadap kepada Allah dalam rangka tercapainya permintaannya. Dengan demikian, maka yang dimintai adalah Allah. Dia-lah yang berbuat dan yang mencipta, bukan lain-Nya. Sesunggguhnya kami golongan ahlussunnah wal jama'ah tidak meyakini adanya kekuasaan, penciptaan, manfaat, dan mudhorot kecuali milik Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya. Para Nabi dan para wali tidak memiliki kekuasaan apapun. Mereka hanya diambil berkah dan dimintai bantuan karena kedudukan mereka, sebab mereka adalah orang-orang yang dicintai Allah, karena merekalah Allah memberi rahmat kepada hamba-hamba-Nya. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara mereka yang masih hidup atau mereka yang sudah meninggal dunia. Yang kuasa berbuat dalam dua kondisi tersebut hakekatnya adalah Allah, bukan mereaka yang hidup atau yang mati.
Adapun orang-orang yang masih hidup dan orang-orang yang telah meninggal, sepertinya mereka itu berkeyakinan bahwa orang-orang yang masih hidup memiliki kemampuan memberi pengaruh kepada orang lain sedangkan orang yang telah meninggal tidak. Keyakinan seperti ini batil, sebab Allah-lah pencipta segala sesuatu.
Apa tawasul dengan orang-orang yang telah meninggal itu diperbolehkan?
Dalilnya sebagaimana firman Allah:
"Sesungguhnya jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.(QS.An-Nisa' :64).

Ayat di atas adalah umum ('amm) mencakup pengertian ketika beliau masih hidup dan ketika sesudah wafat dan berpindahnya ke alam barzakh. Imam ibnu Al-Qoyyim dalam kitab Zadul ma'ad menyebutkan:
عن أبي سعيد الخضريّ قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم ما خرج رجل من بيته إلى الصلاة فقال اللّهم إنّي أسألك بحقّ السائلين عليك وبحقّ ممساي هذا إليك فإني لم أخرج بطرا ولا أشرا ولا رياءا ولا سمعة وإنما خرجت اتّقاء سخطك وابتغاء مرضاتك وأسألك أن تنقذني من النّار وأن تغفر لي ذنوبي فإنه لايغفر الذنوب إلاّ أنت إلاّ وكّل الله به سبعين ألف ملك يستغفرون له وأقبل الله عليه بوجهه حتّى يقضي صلاته.
"Dari Abu Sa'id al-Khudry, ia berkata, Rasulullah SAW.bersabda: "seseorang dari rumahnya hendak sholat dan membaca do'a:
اللّهم إنّي أسألك بحقّ السائلين عليك وبحقّ ممساي هذا إليك فإني لم أخرج بطرا ولا أشرا ولا رياءا ولا سمعة وإنما خرجت اتّقاء سخطك وابتغاء مرضاتك وأسألك أن تنقذني من النّار وأن تغفر لي ذنوبي فإنه لايغفر الذنوب إلاّ أنت
Kecuali Allah menugaskan 70.000 malaikat agar memohokan ampun untk oran tersebut, dan Allah menatap orang itu hingga selesai sholat". (HR. Ibnu Majjah).
Dari Imam al-Baihaqi, Ibnu As-Sunni dan al-Hafidz Abu Nu'aim meriwayatkan bahwa do'a Rasulullah ketika hendak keluar menunaikan shalat adalah:
اللّهم إنّي أسألك بحقّ السائلين....إلخ
Para ulama; berkata, "ini adalah tawasul yang jelas dengan semua hamba beriman yang hidup atau yang telah mati. Rasulullah mengajarkan kepada sahabat dan memerintahkan mebaca do'a ini. Dansemua orang salaf dan sekarang selalu berdo'a dengan do'a ini ketika hendak pegi sholat."
Abu Nu'aimah dalam kitab al-Ma'rifah, at-Tabrani dan Ibnu Majjah mentakhrij hadits:
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال لمّا ماتت فاطمة بنت أسد أم علي بن ابي طالب رضي الله عنهما -وذكر الحديث- وفيه: أنه صلى الله عليه وسلم اضطجع في قبرها وقال: الله الذى يحي ويميت وهو حيّ لايموت اغفر لأمّي فاطمة بنت أسد ولقنها حجتها ووسّع مدخلها بحقّ نبيّك والأنبياء والمرسلين قبلي فإنك أرحم الراحمين
Dari Anas bin Malik ra, ia berkata, "ketika Fatimah binti Asad ibunda Ali bin Abi Thalib ra meninggal, maka sesungguhnya Nabi SAW berbaring diatas kuburannya dan bersabda:
"Allah adalah Dzat yang Menghidupkan dan mematikan. Dia adalah Maha Hidup, tidak mati. Ampunilah ibuku Fatimah binti Asad, ajarilah hujjah (jawaban) pertanyaan kubur dan lapangkanlah kuburannya dengan hak Nabi-Mu dan nabi-nabi serta para rasul sebelumku, sesungguhnya Engkau Maha Penyayang."
Maka hendaklah diperhatikan sabda beliau yang berbunyi:
بحقّ الأنبياء قبلي
"Dengan hak para nabi sebelumku".
Jika tawasul dengan orang-orang yang telah mati itu boleh, mengapa kholifah Umar din al-Khottob tawasul dengan al-Abbas, tidak dengan Nabi SAW?
Para ulama' telah menjelaskan hal ini juga, mereka berkata:
"Adapun tawasul Umar bin al-Khottob dengan al-Abbas ra bukanlah dalil larangan tawasul dengan orang yang telah meninggal dunia. Tawasul Umar bin al-Khottob dengan al-Abbas tidak dengan Nabi SAW itu untuk menjelaskan kepada orang-orang bahwa tawasul dengan selain itu boleh, tidak berdosa. Tentang mengapa dengan al-Abbas bukan dengan sahabat-sahabat lain, adalah untuk memperlihatkan kemuliaan ahli bait Rasulullah SAW.
Apa dalilnya?
Dalilnya adalah perbuatan para sahabat. Mereka selalu dan terbiasa bertawasul dengan rasulullah SAW setelah beliau wafat.
Seperti yang diriwayatkan Imam al-Baihaqi dan Ibnu abi Syaibah dengan sanad yang shohih:
"Sesungguhnya orang-orang pada masa kholifah Umaar banal-Khottob ra tertimpa paceklik karena kekurangan hujan. Kemudian Bilal bin al-Harits ra dating ke kuburan Rasulullah SAW dan berkata: "Ya rasulullah, mintakanlah hujjah untuk umatmu karena mereka telah binasa." Kemudian ketika Bilal tidur didatangi oleh Rasulullah SAW dan berkata: datanglah kepada Umar dan sampaikan salamku kepadanya dan beritahukan kepada mereka, bahwa mereka akan dituruni hujan. Bilal lalu dating kepada kholifah Umara dan menyampaikan berita tersebut. Umar menangis dan orang-orang dituruni hujan."
Di mana letak penggunaan dalil hadits tersebut?Letak penggunaan dalil dr hadits tersebut adalah perbuatan Bilal bin Al-Harits, seorang sahabat Nabi SAW yang tidak diprotes oleh kholifah Umar maupun sahabat-sahabat Nabi lainnya. Imam ad-Darimi juga mentakhrij sebuah hadits:
إن أهل المدينة قحطوا قحطا شديدا فشكوا إلى عائشة رضي الله عنها فقالت انظروا إلى قبر النبيّ صلى الله عليه وسلّم فاجعلوا منه كوى إلى السماء حتى يكون بيبه وبين السماء سقف ففعلوا فمطروا مطرا شديدا حتى نبت العشب وسمنت الإبل حتي تفتقن فيسمّى عام الفتقة
"Sesungguhnya penduduk Madinah mengalami paceklik yang amat parah, karena langka hujan. Mereka mengadu kepada Aisyah ra dan ia berkata: "lihatlah kamu semua ke kuburan Nabi SAW lalu buatlah lubang terbuka yang mengarah ke arah langit, sehingga antara kuburan beliau dan langit tidak ada atap yang menghalanginya. Meeka melaksanakan perintah Aisyah, kemudian mereka dituruni hujan yang sangat deras, hingga rumput-rumput tumbuh dan unta menjadi gemuk."
Ringkasnya, tawasul itu dibolehkan, baik dengan amal perbuatan yang baik maupun dengan hamba-hamba Allah yang soleh, baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal dunia. Bahkan tawasul itu telah berlaku sebelum Nabi Muhammad diciptakan.
Apa dalil bahwa tawasul terjadi sebelum Nabi Muhammad SAW diciptakan?
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Umar bin al-Khottob:
"Ketika Nabi Adam terpeleset melakukan kesalahan, maka berkata,
"Hai Tuhanku, aku memohon kepada-Mu dengan haq Muhammad, Engkau pasti mengampuni kesalahanku."
Allah berfirman: "Bagaimana kamu mengetahui Muhammad, padahal belum Aku ciptakan?"
Nabi Adam berkata: "Hai Tuhanku, karena Engkau ketika menciptakanku dengan tangan kekuasaan-MU, aku mengangkat kepalaku kemudian aku melihat ke atas tiang-tiang arsy tertulis La ilaaha illa Allah. Kemudian aku mengerti, sesungguhnya Engkau tidak menyandarkan ke nama-MU, kecuali makhluk yang paling Engkau cintai."
Kemudian Allah berfirman: "Benar engkau hai adam. Muhammad adalah makhluk yang paing Aku cintai. Apabila kamu memohon kepada-Ku dengan hak Muhammad, maka Aku mengampunimu, dan andaikata tidak karena Muhammad maka Aku tidak menciptakanmu." (HR. al-Hakim, at-Thobroni dan al-Baihaqi).
Nabi Adam as adalah orang yang mula-mula tawasul dengan Nabi Muhammad SAW.
Imam Malik telah memberi anjuran tawasul kepada Khalifah al-Mansur, yaitu ketika ia ditanya oleh kholifah yang sedang berada di masjid Nabawi:
Saya sebaiknya menghadap kiblat dan berdo'a atau menghadap Nabi SAW?"
Imam Malik berkata kepada kholifah, "Mengapa engkau memalingkan wajahmu dari beliau, padahal beliau adalah wasilahmu dan wasilah bapakku Nabi Adam as.kepada Allah SWT. Menghadaplah kepada beliau dan mohonlah pertolongan dengannya, Allah akan memberinya pertolongan dalam apa yang engkau minta."
Allah befirman:
"Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.(QS.An-Nisa' :64).
Keterangan ini disebutkan oleh al-Qodli ‘Iyadl dalam kitab as-Syifa'.
Bagaimana cara tawasul?
Para ulama telah menerangkan, bahwa tawasul dengan dzat-dzat yang mulia, seperti Nabi SAW, para Nabi dan hamba-hamba Allah itu ada tiga macam, yaitu:
 Memohon (berdoa) kepada Allah SWT.dengan meminta bantuan mereka. Contoh:
اللهم إني أسألك بنبيك محمد أو بحقه عليك أو أتوجّه به إليك في كذا....
"Ya Allah, saya memohon kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammad atau dengan hak beliau atas Kamu atau supaya saya menghadap kepada-Mu dengan Nabi SAW untuk..."
 Meminta kepada orang yang dijadikan wasilah agar ia memohon kepada Allah untuknya agar terpenuhi hajat-hajatnya seperti:
يا رسول الله، ادع الله تعالى أن يستقينا أو...
"Ya Rasulullah, mohonkanlah kepada Allah SWT agar Dia menurunkan hujan atau..."
 Meminta sesuatu yang dibutuhkan kepada orang yang dijadikan wasilah, dan meyakininya hanya sebagai sebab Allah memenuhi permintaannya karena pertolongan orang yng dijadikan wasilah dank arena doanya pula. Cara ketiga ini sebenarnya sama dengan cara kedua.
Tiga macam cara tawasul ini semua berdasarkan nash-nash yang shahih dan dalil-dalil yang jelas. Apa dalil tawasul dengan cara yang pertama?
Dalil tawasul dengan cara yang pertama adalah hadits-hadits Nabi SAW antara lain:
"Dari Autsman bin Hunaif ra:
Sesungguhnya seorang laki-laki tuna netra datang kepada Nabi SAW dan berkata, "Ya Rasululah, berdo'alah kepada Allah agar menyembuhkan saya."
Beliau bersabda, "Jika engkau mau, berdoalah. Dan jika engkau mau bersabarlah (dengan kebutaan) karena hal itu (sabar) lebih baik untuk kamu."
Laki-laki itu berkata: "berdo'alah untuk saya, karena mataku benar-benar benar-benar memberatkan (merepotkan)ku."
Kemudian Nabi SAW memerintahkan si laki-laki itu agar berwudlu, shalat dua rakaat, lalu berdoa seperti doa dalam hadits yang arti doa itu adalah: "Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammad, nabi pembawa rahmat. Ya Muhammad, sesungguhnya aku melalui kamu menghadap kepada Tuhanku dalam urusan hajatku ini, agar hajat itu dikabulkan kepadaku. Ya Allah, tolonglah beliau dalam urusanku."
Si laki-laki itu melakukan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW kemudian pulang dalam keadaan dapat melihat."
Renungkanlah bagaimana Nabi SAW tidak berdoa sendiri untuk kesembuhan mata si tuna netra, tetapi beliau mengajarkan kepadanya cara berdoa dan menghadap kepada Allah melalui kedudukan diri beliau dan memohon kepada Allah agar meminta bantuan dengan beliau. Dalam hal ini, ada dalil yang jelas tentang kesunahan tawasul dan meminta bantuan dengan dzat Nabi Muhammad SAW.
Ajaran tawasul dalam doa yang disebutkan pada hadits tersebut tidak khusus untuk laki-laki tuna netra itu saja, tetapi umum untuk umatnya seluruhnya, baik semasa beliau masih hidup atau sesudah wafat. Pemahaman rawi dalam menghadapi hadits itu dapat dijadikan hujjah sebagaimana diuraikan dalam ilmu ushul.
Apa dalil tawasul dengan cara kedua?
Dalilnya banyak, diantaranya:
"Dari Anas ra.ia berkata:
Ketika Nabi SAW berkhutbah pada hari Jum'at, tiba-tiba ada seorang laki-laki masuk dar pintu masjid dan langsung menghadap kepda Nabi SAW seraya berteriak:
"Hai Rasulullah, harta benda telah binasa dan jalan-jalan telah putus, maka berdoalah kepada Allah supaya menghujani kami.
Rasulullah SAW.lalu mengangkat tangan dan berdo'a, "Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami tiga kali.
Anas berkata: "Demi Allah kami melihat awan di langit dan kami hari itu dituruni hujan begitu juga hari berikutnya.
Kemudian si laki-laki itu atau orang lainnya datang dan berkata: "Ya Rasulullah rumah-rumah ambruk dan jalan-jalan terputus.
"Kemudian Beliau berdoa: "Allah, turunkanlah hujan disekitar kita bukan diatas kita," kemudian awan terbelah dan kami keluar berjalan di bawah sinar matahari.
Di dalam hadits yang shahih ini ada petunjuk atau dalil, bahwa setiap orang disamping boleh berdoa (memohon) kepada Allah secara langsung, boleh juga boleh juga mengunakan perantara orang-orang yang dicintai Allah yang dijadikan oleh-Nya sebagai sebab terpenuhinya hajat hamba-hambanya.
Disamping itu, karena manusia ketika melihat dirinya masih berlepotan dosa yang membuatnya jauh dari Allah yang tentu saja merasa layak ditolak permohonannya. Sebab itu, ia menghadap kepada Allah melaui orang-orang yang dicintai-Nya, ia memohon kepada Allah denga kedudukan dan kemuliaan para kekasih-Nya, agar Allah mengabulkan hajatnya karena hamba-hamba-Nya yang dicintai-Nya yang mereka itu tidak tahu apa-apa kecuali ta'at kepada-Nya.
Apa dalil tawasul yang ketiga?
Dalilnya banyak antara lain:
Dari Rabi'ah bin Malik al-Aslami ra.ia berkata Nabi SAW bersabda kepadaku: "Mintalah apa saja yang kamu inginkan." Saya berkata: "Saya memohon kepada-Mu dapat bersama-Mu di surga." Beliau bersabda: "Selain itu?" Saya berkata: "Hanya itu." Kemudian beliau bersabda: "Bantulah saya untuk memenuhi keinginanmu dengan memperbanyak sujud." (HR. Imam Muslim).
أن قتادة نعمان أصيب بسهم في عينه عند يوم أحد فسالت على خدّه فجاء إلى رسول الله وقال عيني يارسول الله فخيره بين الصبر وبين أن يدعو له فاختار الدعاء فردّها عليه السلام بيده الشريفة إلى موضعها فعادت كما كانت
Sesungguhnya Qotadah bin Nu'man pada waktu perang Uhud matanta terkena panah sampai keluar ke pipinya, lalu dating kepada Nabi SAW dan berkata: "mataku Ya Rasulullah." Beliau memberinya pilihan antara sabar dengan sakit pada matanya itu dan beliau berdoa untuk kesembuhannya. Qotadah memilih agar Rasulullah menyembuhkannya melalui doa. Kemudian beliau mengembalikan mata Qotadah ke tempatnya semula dengan mata beliau yang mulia sehingga kembali normal seperti semula."
ZIARAH KUBUR
Apa hukum ziarah kubur?
Ziarah ke kuburan untuk orang laki-laki sunnah hukumnya. Sebelumnya, yaitu pada permulaan islam ziarah ke kubur memang dilarang. Lalu hukum larangan ini dinasakh dengan sabda Nabi SAW dan perbuatannya.
Ada beberapa hadits berkaitan dengan ziarah kuburan, antara lain:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها
"Dulu saya telah melarang kamu semua ziarah ke kuburan, maka (sekarang) berziarahlah ke kuburan)." (HR. imam Muslim)
كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها فإنها ترق القلب وتدمع العين وتذكر الأخرة
"Dulu saya telah melarang kamu semua ziarah ke kuburan, maka (sekarang) berziarahlah ke kuburan, sebab ziarah kubur itu dapat melunakkan hati, mencucurkan air mata dan mengingatkan akhirat."
Para ulama menjelaskan bahwa ziarah ke kuburan itu termasuk hal yang biasa dilakukan oleh Nabi SAW dan para sahabat beliau juga melakukannya. Semasa beliau belum wafat, Nabi SAW juga mengajarkan kepada sahabatnya tata cara ziarah kubur, ntuk mengingat dan mengambil pelajaran. Sampai saat ini ziarah kubur itu masih berlaku di berbagai daerah, kota dan pedesaan.
Apa hukum ziarah kubur bagi kaum wanita?
Lama menerangkan, bahwa ziarah kubur bagi wanita itu makaruh hukumya, karena dikhawatirkan jiwanya selau sedih, mengingat kaum wanita gampang susah dan jarang yang bias menahan sabar terhadap musibah, terkecuali ziarah ke kuburan para wali, orang-orang sholeh dan lama. Mereka tetap disunahkan untuk mendapatkan barokah. Sebagian ulama membolehkan kaum wanita berziarah ke kubur secara mutlak, berdasarkan hadits Nabi SAW:
أنه صلى الله عليه وسلّم رأى امرأة بمقبرة تبكي على قبر ابنها فقال لها اتقى الله واصبري
"Sesungguhnya Nabi SAW melihat seorang wanita di atas kuburan dengan menangis diatas kuburan anaknya, kemudian beliau bersabda kepadanya: "Takutlah kepada Allah dan bersabarlah". HR. Bukhori dan Muslim).
Dalam hadits di atas, Rasulullah menyuruh wanita agar bersabar dan tidak mengingkarinya ziarah kubur.
السلام عليكم أهل الديار من المؤمنين والمسلمين ويرحم الله المستقدمين منّا والمستأخرين وإنّا إن شاء الله بكم لاحقون
"Sesungguhnya Nabi SAW mengajarkan Aisyah do'a ketika berziarah ke kuburan beliau bersabda: "ucapkan:
Bagaimana halnya dengan sabda Nabi SAW Allah melaknat wanita wanta peziarah kubur?
Menurut ulama ahli tahqiq, hadits tersebut ditakwil, jika ziarah wanita-wanita itu untuk meratapi dan menangisi yang meninggal, seperti yang berlaku di masyarakat jahiliyah, maka ziarah kubur seperti itu jelas haram berdasarkan ijma'. Apabila bersih dari hal-hal tersebut maka tidak diharamkan dan tidak termasuk dalam ancaman hadits tersebut.
Apa hukum melakukan perjalanan ziarah ke makan Rasulullah SAW, makam para Nabi dan para wali?
Ziarah ke makam Rasulullah SAW, merupakan salah satu perbuatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Demikian juga perjalanan menuju ke tempat beliau dan juga ke tempat-tempat para Nabi, para wali dan para syuhada' untuk mendapatkan barokah dari Allah dan mengambil I'tibar. Perjalanan seperti itu hukumnya mustahab dan banyak faedahnya. Yang terpenting adalah harus dapat menjaga adab (tata cara) menurut syari'at.
Apa dalil kesunahan perjalanan ziarah itu?
Dalilnya adalah firman Allah SWT:
"Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.(QS.An-Nisa' :64).
Dalam hadits pun telah dijelaskan, bahwa Nabi SAW tetap hidup di dalam kuburannya. Dengan demikian, berarti ziarah kepada beliau sesudah wafat seperti ziarah kepada beliau saat hidup. Dasarnya adalah hadits:
من حجّ فزار قبري بعد وفاتى فكأنما زارني في حياتي
"Barangsiapa menunaiakan ibadah ahji, lalu ziarah ke kuburku sesudah aku wafat, maka ia seperti ziarah kepadaku sewaktu aku dalam keadaan hidup." (HR. Thabrani).
من حج لم يزرني فقد جفاني
"Barangsiapa menunaikan ibadah haji dan enggan berziarah kepadaku, ia benar-benar juh."
AL-Qur'an dan Shalat
Salah satu bentuk pengagungan al-qur'an adalah larangan menyentuhnya apabila tidak suci (hadats). Apakah dalil para ulama' terhadap hukum ini?
Larangan berasal dari firman Allah SWT:
"Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Yamg diturunkan dari Tuhan semesta alam." (QS. Al-Waqi'ah: 79-80).
Atas dasar ini para ulama menyatakan bahwa haram hukumnya menyentuh Al-Qur'an bila tidak punya wudlu.
Syaikh Zainudddin al-Malibari menyatakan:
"Haram sebab hadats kecil, melakukan sholat, thawaf, sujud (yakni sujud tilawah dan sujud syukur), membawa mushaf dan menyentuh kertas yang ditulisi ayat al-Qur'an, walaupun hanya sebagian ayat." (fath al-Mu'in, hal 10).
Apakah menyentuh lain jenis dapat membatalkan wudlu?
Menurut pendapat Imam Syafi'I ra, menyentuh lain jenis yang bukan mahram itu membatalkan wudlu, baik yang menyentuh atau orang yang disentuh. Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al-Fath al-Manhaji:
"Seorang lak-laki yang menyentuh istrinya atau perempuan ajnabiyah (yang bukan mahramnya) tanpa penghalang maka wudlu laki-laki dan perempuan itu menjadi batal. Yang dimaksud dengan ajnabiyah (perempuan lain) adalah setiap wanita yang halal dinikahi." (al-Fiqh al-Manhaji, juz I, hal 63).
Pendapat ini didasarkan firman Allah SWT.: "Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)". (QS. An-Nisa' : 43).
Bagaimana hukum mengucapkan niat (lafal usholli dan seterusnya) ketika hendak melakukan sholat?
Niat merupakan inti dari setiap pekerjaan. Sebab, baik tidaknya pekerjaan itu tergantung pada niatnya. Sebagaimana sabda Nabi SAW.:
"Segala perbuatan hanyalah tergantung niatnya. Dan setiap perkara tergantung pada apa yang diniatkan." (Shohih al-Bukhori, no 1).
Demikian juga dalam sholat. Niat adalah rukun yang pertama. Akan tetapi, karena niat tempatnya di dalam hati maka disunnahkan mengucapkan niat tersebut dengan lisan untuk membantu gerakan hati (niat).
Imam Ramli (wafat tahun 1004 H.) dalam kitabnya Nihayah al-Muhtaj mengatakan:
"Disunnahkan mengucapkan apa yang diniati (kalimatusholli) sebelum takbir, agar supaya lisan bias membantu hati, sehingga bias terhindar dari was-was (keragu-raguan) hati akibat bisikan syetan). Dan agar bias keluar dari pendapat ulama yang mewajibkan.
Dalam beberapa kessempatan Nabi SAW pernah melafalkan niat. Misalnya dalam ibadah haji. Dalam sebuah hadits dijelaskan:
عن أنس رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلّم يقول لبّيك عمرة وحجا
"Dari sahabat Anas ra berkata, saya mendengar Rasulullah SAW mengucapkan, Labbaika aku sengaja mengerjakan umrah dan haji." (Shahih Muslim, no 2168).
Ketika melakukan ruku' dan sujud, disunahkan membaca tasbih (kalimat subhanallah).
Hanya saja banyak orang yang menambah dengan tahmid (yaitu bacaan wa bihamdihi). Bagaimana hukum menambah bacaan tahmid tersebut?
Membaca tasbih ketika ruku' dan sujud memang sudah menjadi kebiasaan Rasulullah SAW dalam shalat. Banyak hadits beliau yang menerangkan hal tersebut. Antara lain hadits beliau yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ra:
عن عائشة رضي الله عنها قالت أنّ رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يقول في ركوعه وسجوده: سبّوح قدّوس ربّ الملائكة والروح.
"Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, beliau berkata bahwa Rasulullah membaca subbuh quddus rab al-malaikat wa al-ruh ketika ruku' dan sujud." (Musnad Ahmad bin Hambal, no 24877)
Dalam hadits lain disebutkan:
"Diriwayatkan dari Hudzaifah ra, beliau berkata, "aku pernah shalat bersama Nabi SAW. Lalu beliau membaca subhana robbiyal adzimi dalam ruku'nya. Dan ketka sujud membaca subhana rab al-a'la. Dan setiap beliau membaca ayat rahmat, Nabi SAW diam lalu berdo'a (agar rahmat tersebut diberikan kepadanya), sedangkan pada saat membaca ayat tentang siksa Allah SWT (adzab) beliau selalu memohon perlindungan kepada Allah SWT." (Sunan al-Darimi, no 1273).
Kedua hadits ini tidak menyebutkan kata-kata wabihamdihi.
Apakah lalu membaca wabihamdihi termasuk bid'ah. Karena tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW? Tentu saja tidak, sebab dalam hadits lain disebutkan:
"Rabi' bin Nafi' menceritakan kepada kami, dari Uqbah bin Amir ra, beliau berkata: Bertasbihlah kamu kepada Tuhanmu Yang Maha Agung," Rasulullah SAW lalu bersabda, "Jadikanlah bacaan itu dalam setiap ruku'mu." Manakala turun ayat "Bertasbihlah kepada Tuhanmu Yang Maha Tinggi," Rasulullah kemudian bersabda, kerjakanlah perintah itu dalam setiap sujudmu." (ada riwayat lain) bahwa ahmad bin Yunus menceritakan kepada kami sebuah hadits yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir ra dengan kandungan yang sama, beliau berkata bahwa Rasulullah SAW kalau ruku' beiau mengucapkan subhana robbi al- adzimi wa bihamdihi tiga kali." (Sunan Abi Dawud, no 736).
Dari sini menjadi jelas bahwa Rasulullah SAW juga menambahkan wabihamdihi di dalam ruku' dan sujudnya.
Bagaimana hukum membaca basmalah (bismillahirrohmaanirrohiim) dalam surat al-Fatihah ketika sholat? Dan kalau wajib, apakah harus dikeraskan bacaannya?
Membaca surat al-Fatihah merupakan rukun sholat, baik dalam sholat fardlu maupun shalat sunnah, hal ini didasarkan pada hadits Nabi SAW:
عن عبادة بن الصامت يبلغ به النبي صلى الله عليه وسلّم لاصلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب
"Dari ‘Ubadah bin as-Sholit, Nabi SAW menyampaikan padanya bahwa tidak sah sholat seseorang yang tidak membaca surat al-Fatihah". (Shohih Muslim, no 595).
Sementara basmalah merupakan ayat dari surat al-Fatihah. Maka tidak sah jika seseorang shalat tanpa membaca basmalah berdasarkan firman Allah SWT.:
"Dan Sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang[814] dan Al Quran yang agung." (QS. Al-Hijr: 87).
Yang dimaksud tujuh yang berulang-ulang adalah surat al-Fatihah. Karena al-Fatihah itu terdiri dari ayat-ayat yang dibaca secara berulang-ulang pada tiap-tiap raka'at shalat. Dan ayat yang pertama adalah basmalah.
Dalam sebuah hadits disebutkan:
"Dari Abi Hurairah beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda, "al-hadulillahi robbil ‘alamiin merupakan induk al-Qur'an, pokoknya al-Kitab serta surat al-Sab'u al-Matsani." (Sunan Abi Dawud, no 1245).
Berdasarkan dalil ini, imam Syafi'I ra mengatakan bahwa basmalah merupakan bagian dari ayat yang tujuh dalam surat al-Fatihah, jika ditinggalkan baik seluruhnya maupun sebagian, maka raka'at shalatnya tidak sah.
Bagaimana hukumnya melafalkan sayyidina ketika membaca Tasyahud?
Kata-kata sayyidina sering kali digunakan oleh kaum muslimin, baik ketika shalat maupun diluar shalat. Hal itu termasuk hal yang sangat utama, karena merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi SAW. Syaikh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri menyatakan:
"Yang lebih utama adalah mengucapkan sayyidina (sebelum nama Nabi SAW) karena yang lebih utama (dengan menggunakan sayyidina itu) adalah cara beradab (bersopan santun pada Nabi SAW)." (Hasyiyah al-Bajuri, juz I hal 156).
Pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi SAW:
عن ابي هريرة قال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم أنا سيد ولد آدم يوم القيامة وأوّل من ينشق منه القبر وأوّل شافع وأوّل مشفع
"Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Saya gusti (penghulu) anak Adam pada hari kiamat, orang yang pertama bangkit dari kuburan, orang yang pertama memberikan syafa'at dan orang yang pertama kali diberi hak untuk memberikan syafa'at." (Shohih Muslim, no 4223).
Hadits ini menyatakan bahwa Nabi SAW menjadi Sayyid di akhirat. Namun bukan berarti Nabi Muhammad SAW menjadi sayyid hanya di hari kiamat saja. Bahkan beliau SAW menjadi tuan (sayyid) manusia di dunia dan akhirat.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki al-Hasani dalam kitabnya Manhaj al-Salaf fi Fahm al-Nushush bain al-Nadzariyat wa al-Tatthbiq:
"Kata Sayyidina ini tidak hanya tertentu untuk NAbi Muhammad SAW di hari kiamat saja, sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang dari beberapa riwayat hadits. "Saya adalah sayyid-nya anak cucu Adam di hari kiamat. Tapi Nabi SAW menjadi sayyid keturunan Adam di dunia dan akhirat". (Manhaj al-Salaf fi Fahm al-Nushush bain al- Nadzoriyat wa Tathbiq, 169)
Ini sebagai indikasi bahwa Nabi SAW membolehkan memanggil beliau dengan sayyidina. Karena memang kenyataannya begitu,. Nabi Muhammad SAW sebagai junjungan kita umat manusia yang harus kita hormati sepanjang masa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa membaca sayyidina katika membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW bole-boleh saja, bahkan dianjurkan. Demikian pula ketika tasyahud di dalam shalat.
Ada sebagian kalangan yang beranggapan kalangan yang beranggapan bahwa qunut subuh tidak sunnah.
Bahkan haram hukumnya, karena Rasulullah SAW tidak melakukannya. Bagaimanakah sebenarnya hokum membaca qunut dalam shalat subuh? Apakah benar Rsulullah tidak melakukannya?
Ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa hukum membaca qunut pada sholat shubuh termasuh sunnah ab'ad. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya al-Majnu':
"Dalam madzhab kita (madzhab Syafi'i) disunnahkan membaca qunut dalam sholat shubuh, baik ada bala' (cobaan, bencana, adzhab dll) maupun tidak, inilah pendapat kebanyakan ulama' salaf dan setelahnya. Diantaranya adalah Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin al-Khottob, Utsman bin Affan, Ali bin Abbas dan al-Barro' bin ‘Azib ra." (al-Maju',juz 1 hal 504).
Dalil yang bisa dijadikan acuan adalah hadits Nabi SAW:
"Diriwayatakan dari Anas bin Malik ra beliau berkata, "Rasulullah SAW senantiasa membaca qunut ketika sholat shubuh sehingga beliau wafat." (Musnad Ahmad bin Hambal, no 12196).
Sedangkan do'a qunut yang warid (diajarkan langsung) oleh Nabi SAW adalah:
اللهمّ اهدنا فيمن هديت، وعافنا فيمن عافيت، وتولّنا فيمن تولّيت، وبارك لنا فيما أعطيت، وقنا شرّ ما قضيت، فإنك تقضى ولايقضى عليك، وإنه لايذلّ من واليت، ولايعزّ من عاديت، تباركت ربنا وتعاليت، فلك الحمد على ما قضيت، أستغفرك وأتوب إليك
"Ya Allah berilah kami petunjuk seperti orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk. Berilah kami kesehatan seperti orang-orang yang telah Engkau beri kesehatan. Berilah kami perlindungan sebagaimana orang-orang yang Engkau beri perlindungan. Berilah berkah kepada segala yang telah Engkau berikan kepada kami. Jauhkanlah kami dari segaa kejahatan yang Engkau pastikan. Sesunggunya Engkau Dzat Yang Maha Menentukan dan Egkau tidak dapat ditentukan. Tidak akan hina orang yang Engkau lindungi. Dan tidak akan mulia orang yang Kamu musuhi. Engkau Maha Suci dan Maha luhur. Segala puji bagi-Mu atas segala yang Engkau pastikan. Kami mohon ampunan dan bertaubat kepada-Mu."
Dengan demikian membaca qunut shubuh dalam segala keadaan itu hukumnya sunnah. Karena Nabi Besar Muhammad SAW selalu melakukannya hingga beliau wafat.
Dalam tahiyat ketika membaca illallah, biasanya orang yang sholat mengangkat jari telunjuknya. Adakah dasar hukumnya? Lalu apa hikmah yang dikandung?
Ulama' Syafi'iyah menganjurkan untuk meletakkan kedua tangn diatas paha ketika sedang duduk tasyahud. Sementara jari-jari tangan kanan digenggam, kecuali jari-jari telunjuk dan ketika membaca illallah jari telunjuk tersebut sunnah diangkat tanpa digerak-gerakkan, dalam sebuah hadits dijelaskan:
"Diriwayatkan dari Ali bin Abdirrohman al-Mu'awi, beliau bercerita bahwa pada suatu saat Ibnu Umar ra melihat saya sedang mempermainkan kerikil ketika shoat. Ketika saya selesai shalat, beliau menegur saya lalu berkata, "(Apabila kamu sholat) maka kerjakan sebagaimana yang dilaksanakan Rasulullah SAW (dalam shalatnya). Ibnu Umar berkata, "Apabila Nabi Muhammad SAW duduk ketika melaksanakan sholat, beliau meletakkan telapak tangan kanannya dan menggenggam semua jarinya. Kemudian berisyarah dengan (menganggkat) jari telunjukknya (ketika mengucapkan illallah), dan meletakkan telapak tangan kirinya diatas paha kirinya". (Shahih Muslim, no 193).
Hadits inilah yang dijadikan dasar para ulama tentang kesunahan mengangkat jari telunjuk ketika tasyahud. Sedangkan dari hikmah tersebut adalah supaya kita meng-esakan Allah SWT. Seluruh tubuh kita men-tauhidkan-Nya dipandu oleh jari telunjuk itu.
Syeikh Ibnu Ruslan dalam kitab Zubadnya mendendangkan sebuah syair:
وعند إلا الله فالمهملة (*) إرفع لتوحيد الذي صلّيت له
"Ketika mengucapkan illallahu, maka angkatlah jari telunjukmu untuk mengesakan Dzat yang engkau sembah."(Matan az-Zubad, hal 24).
Jadi, mengangkat jari telunjuk ketika tasyahud itu disunnahkan karena merupakan teladan Nabi Muhammad SAW. Perbuatan itu dimaksudkan sebagai symbol sarana untuk mentauhidkan Allah SWT.
Salah satu kebiasaan yang sering kita lihat, setiap selesai dalam shalat, orang-orang mengusap wajah dengan tangan kanannya. Bagaimana hukumnya?
Setelah berdoa Rasulullullah SAW selalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Dalam sebuah hadits disebutkan:
عن السائب بن يزيد عن أبيه أنّ النبي صلّى الله عليه وسلّم كان إذا دعا فرفع يديه مسح وجهه بيده
"Dari Sa'ib bin Zayid dari ayahnya, "Apabila Rasulullah SAW berdoa beliau selalu mengangkat kedua tangannya lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangnnya." (Sunan Abu Dawud, no 1275).
Begitu pula orang yang telah selesai melaksanakan shalat, ia juga disunahkan mengusap wajah dengan kedua tangannya. Sebab sholat secara bahasa berarti berdoa, karena didalamnya terkandung doa-doa kepada Allah SWT sang Kholik. Sehingga oaring yang mengerjakan sholat juga sedang berdoa. Maka wajar jika setelah sholat ia juga disunahkan mengusap muka.
Imam Nawawi dalam kitab al-Adzkar mengutip hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW selalu mengusap wajah dengan tangan, sekaligus tentang doa yang beliau baca setelah salam:
عن عِمران بن حُصَين رضي الله عنه أنّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: صلّ قائما، فإن لم تستطع فقاعدا فإن لم تستطع فعلى جنبك أى: لاتقطعون ذِكره في جميع أحوالهم بسرائرهم وضمائرهم وألسنتهم
"Kami meriwayatkan (hadits) dalam kitabnya Ibn al-Sunni dari sahabat Anas ra bahwa Rasulullah SAW apabila setelah selesai melaksanakan sholat beliau mengusap wajahnya dengan tangan kanannya.. lalu berdoa, "saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Dia Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ya Allah hilangkanlah dariku kebingungan dan kesusahan." (al-Adzkar, hal 69).
Hal ini menjadi bukti bahwa mengusap muka setelah sholat memang dianjurkan dalam agama. Karena Nabi Muhammad SAW juga mengusap muka setelah shalat.
Sudah berlaku di masyarakat, setiap selesai sholat, satu jamaah dengan yang lainnya saling bersalaman. Itu dilaksanakan pada sholat yang lima waktu. Adakah dasar ukumnya?
Bersalaman antar sesama muslim memang sangat dianjurkan oleh Nabi SAW. Hal itu dimaksudkan agar persaudaraan islam semakin kuat dan persatuan umat islam semakin kokoh.
Salah satu bentuknya adalah anjuran untuk bersalaman apabila bertemu. Bahkan jika ada saudara muslim yang dating dari bepergian jauh, misalnya habis melaksanakan ibadah haji, maka disunahkan berangkulan (mu'anaqoh). Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW bbersabda:
"Diriwayatkan dari al-Barro' bin ‘Azib, ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda "Tidakkah dua orang laki-laki bertemu, kemudian keduannya bersalaman, kecuali diampuni dosanya sebelum mereka berpisah." (Sunan ibn Majah, no 3693).
Berdasarkan hadits inilah ulama' Syafi'iyah mengatakan bahwa bersalaman setelah sholat hukumnya sunnah. Kalaupun perbuatan itu dikatakan bid'ah, tetapi termasuk dalam kategori bid'ah mubahah. Imam Nawawi menganggap bahwa hal itu adalah perbuatan yang baik untuk dilakukan.
"(Soal) apakah berjabat tangan setekah sholat Ashar dan Shubuh memiliki keutamaan ataukah tidak? (jawab) berjabat tangan itu sunnah dilakukan ketiak bertemu. Adapun orang-orang yang mengkhususkan diri untuk melakukannya setelah dua sholat itu (Ashar dan Shubuh) maka dianggap bid'ah mubahah. (pendapat yang dipilih), sesungguhnya kalua seseorang sudah berkumpul dan bertemu sebelum sholat, maka berjabat tnagn tersebut adalah bid'ah mubahah sebagaimana diatas. Tapi jika sebelumnya belum pernah bertemu maka sunnah (bersalaman). Karena seperti itu (dianggap) baru bertemu." (Fatwa al-Imam al-Nawawi, hal 61).
Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa orang yang sholat itu sama dengan orang yag ghoib (tidak ada ditempat karena berpergian atau yang lainnya). Setelah sholat ia seakan akan baru datang dan bertemu dengan saudaranya yang muslim. Maka ketika tu dianjurkan untuk berjabat tangan.
Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Bughyah al-Mustarsydin:
"Bersalaman itu termasuk bid'ah yang muah, dan Imam al-Nawawi menganggapnya sesuatu yang baik. Tapi hendaknya di tafshil (diperinci), antara orang yang sebelum sholat sudah bertemu, maka salaman itu hukumnya ubah (boleh). Dan jika memang sebelumnya tidak bersama (tidak bertemu) maka dianjurkan (untuk salaman setelah salam). Karena salaman itu disunahkan ketika bertemu menurut ujma' ulama'. Sebagian ulama berpendapat bahwa orang-orang yang sholat seperti orang-orang yang ghoib (tidak ada/tidak bertemu). Maka baginya disunahkan bersalaman setiap selesai sholat lima waktu secara mutlak (baik sudah bertemu sebelumnya atau tidak)." Bughyah al-Mustarsyidin, hal 50-51).
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hukum bersalaman setelah selesai sholat adalah boleh bahkan sunnah jika sebelum sholat memang belum pernah bertemu.
Riwayat Perjuangan Jam'iyyah Nahdlatul Ulama'
Indeks > Artikel > Sejarah Nahdlatul Ulama
Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' Lahir
Setelah kaum Wahabi melalui pemberontakan yang mereka lakukan pada tahun 1925 berhasil menguasai seluruh daerah Hejaz, maka mereka mengubah nama negeri Hejaz dengan nama Saudi Arabia. Dengan dukungan sepenuhnya dari raja mereka yang pertama, Ibnu Sa'ud, mereka mengadakan perombakan-perombakan secara radikal terhadap tata cara kehidupan masyarakat. Tata kehidupan keagamaan, mereka sesuaikan dengan tata cara yang dianut oleh golongan Wahabi, yang antara lain adalah ingin melenyapkan semua batu nisan kuburan dan meratakannya dengan tanah.
Keadaan tersebut sangat memprihatinkan bangsa Indonesia yang banyak bermukim di negeri Hejaz, yang menganut paham Ahlus Sunnah Wal Jama'ah,dengan memilih salah satu dari empat madzhab. Mereka sangat terkekang dan tidak mempunyai kebebasan lagi dalam menjalankan ibadah sesuai dengan paham yang mereka anut. Hal ini dianggap oleh bangsa Indonesia sebagai suatu persoalan yang besar.
Persoalan tersebut oleh bangsa Indonesia tidak dianggap sebagai persoalan nasional bangsa Arab saja, melainkan dianggap sebagai persoalan internasional, karena menyangkut kepentingan ummat Islam di seluruh dunia. Oleh karena itu, para tokoh ulama di Jawa Timur menganggap penting untuk membahas persoalan tersebut. Dipelopori oleh alm. KH. Abdul Wahab Hasbullah dan almarhum hadlratus syaikh KH. Hasyim Asy'ari, diadakanlah pertemuan di langgar H. Musa Kertopaten Surabaya. Pada pertemuan tersebut dilahirkan satu organisasi yang diberi nama Comite Hejaz, yang anggotanya terdiri dari para tokoh tua dan para tokoh muda.
Semula Comite Hejaz bermaksud akan mengirimkan utusan ke tanah Hejaz untuk menghadap raja Ibnu Sa'ud. Akan tetapi oleh karena satu dan lain hal pengiriman utusan ditangguhkan, dan sebagai gantinya hanya mengirimkan telegram kepada raja Ibnu Sa'ud.
Pada tanggal 31 Januari 1926 M. atau 16 Rajab 1345 H, hari Kamis, di lawang Agung Ampel Surabaya, diadakan pertemuan yang disponsori oleh Comite Hejaz sebagai realisasi dari gagasan yang timbul pada pertemuan sebelumnya. Pada pertemuan ini, lahirlah organisasi baru yang diberi nama "JAM'IYYAH NAHDLATUL ULAMA" dengan susunan pengurus HB (Hoof Bestuur) sebagai berikut:
Ra'is Akbar : Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari
Wakil Ra'is : KH. Said bin Shalih
Katib Awwal : KH. Abdul Wahab Hasbullah
Katib Tsani : Mas H. Alwi Abdul Aziz
A'wan : 1. KH. Abdul Halim (Leuwimunding)
2. KH. Ridlwan Surabaya (pencipta lambang NU)
3. KH. Bisri Sansuri, Denanyar, Jombang.
4. KH. Said.
5. KH. Abdullah Ubaid, Surabaya.
6. KH. Nahrawi Thahir, Malang.
7. KH. Amin, Surabaya.
8. KH. Kholil Masyhuri, Soditan, Lasem, Jateng
Musytasyar : 1. KH. Asnawi, Kudus
2. KH. Ridlwan, Semarang.
3. KH. Nawawi, Sidogiri, Pasuruan.
4. KH. Doro Muntoho, Bangkalan.
5. KH. Ahmad Ghonaim Al Misri.
6. KH. Hambali, Kudus.

Presiden : H. Hasan Gipo
Penulis : H. Sadik alias Sugeng Yudodiwiryo
Bendahara : H. Burhan
Komisaris : H. Saleh Syamil
H. Ihsan
H. Nawawi
H. Dahlan Abd. Qohar
Mas Mangun
Kehadiran Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' dimaksudkan sebagai suatu organisasi yang dapat mempertahankan ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dari segala macam intervensi (serangan) golongan-golongan Islam di luar Ahlus Sunnah Wal Jama'ah di Indonesia pada khususnya dan di seluruh dunia pada umumnya; dan bukan hanya sekedar untuk menghadapi golongan Wahabi saja sebagaimana Comite Hejaz. Disamping itu juga dimaksudkan sebaga organisasi yang mampu memberikan reaksi terhadap tekanan-tekanan yang diberikan oleh Pemerintah Penjajah Belanda kepada ummat Islam di Indonesia.
1926-1929
Setelah Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' lahir pada tanggal 31 Januari 1926 M, maka Comite Hejaz dibubarkan. Sedangkan semua tugas Comite Hejaz yang belum dilaksanakan, dilimpahkan seluruhnya kepada Jam'iyyah NU. Alhamdulillah, meskipun Jam'iyyah NU baru saja lahir, ternyata telah mampu melaksanakan tugas-tugas yang berat; baik tugas yang dilimpahkan oleh Comite Hejaz, maupun tugas yang diharapkan oleh ummat Islam kepadanya. Tugas-tugas tersebut antara lain:
1. Pada bulan Februari 1926 M. setelah berhasil menyelenggarakan kongres Al Islam di Bandung yang dihadiri oleh tokoh-tokoh organisasi Islam selain NU, seperti: PSII, Muhammadiyah dan lain-lainnya. Diantara keputusan kongres tersebut adalah mengirimkan dua orang utusan, yaitu: H.Umar Said Tjokroaminoto dari PSII dan KH. Mas Mansur dari Muhammadiyah, ke Muktamar Alam Islam yang diselenggarakan oleh raja Ibnu Saud (raja Saudi Arabia) di Makkah. Disamping itu, Jam'iyyah NU juga mengirimkan utusan yang khusus membawa amanat NU, yaitu: KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Ahmad Ghonaim Al Misri. Alhamdulillah kedua utusan ini berhasil dengan baik.
Kedua beliau ini pulang dengan membawa surat dari raja Sa'ud ke Indonesia tertanggal 28 Dzul Hijjah 1347 H./ 13 Juni 1928 M., nomor: 2082, yang isinya antara lain menyatakan bahwa raja Ibnu Sa'ud menjanjikan akan membuat satu ketetapan yang menjamin setiap ummat Islam untuk menjalankan Agama Islam menurut paham yang dianutnya.
2. Sesuai dengan yang diharapkan oleh bangsa Indonesia, maka sejak lahir, Jam'iyyah NU telah berani memberikan reaksi secara aktif terhadap rencana pemerintah Penjajah Belanda mengenai:
a. Ordonansi Perkawinan atau Undang-Undang Perkawinan, yang isinya mengkombinasikan hukum-hukum Islam dengan hukum-hukum yang dibawa Belanda dari Eropa.
b. Pelimpahan pembagian waris ke Pengadilan Negeri (Nationale Raad) dengan menggunakan ketentuan hukum di luar Islam.
c. Persoalan pajak rodi, yaitu pajak yang dikenakan kepada warga negara Indonesia yang bermukim di luar negeri.
d. Dan lain-lainnya.
Walhasil, meskipun NU tidak pernah menyatakan sebagai Partai Politik, namun yang ditangani adalah soal-soal politik.
1929-1942
Pada tanggal 5 September 1929 Jam'iyyah NU mengajukan Anggaran Dasar (Statuten) dan Anggaran Rumah Tangga (Huishoudelijk Reglemen) yang telah disusun kepada Pemerintah Hindia Belanda. Dan pada tanggal 6 Februari 1930 mendapat pengesahan dari Pemerintah Hindia Belanda sebagai organisasi resmi dengan nama: "PERKUMPULAN NAHDLATUL ULAMA" untuk jangka waktu 29 tahun terhitung sejak berdiri, yaitu: 31 Januari 1926.
Hoofbestuur (Pengurus Besar) Nahdlatul Ulama' juga berusaha membuat lambang NU dengan jalan meminta kepada para Kyai untuk melakukan istikharah. Dan ternyata Almarhum KH. Ridlwan Abdullah, Bubutan Surabaya berhasil. Dalam mimpi, beliau melihat gambar lambang itu secara lengkap seperti lambang yang sekarang; tanpa mengetahui makna simbol-simbol yang terdapat dalam lambang tersebut satu-persatu.
Setelah berdiri secara resmi, Nahdlatul Ulama' mendapat sambutan dari seluruh masyarakat Indonesia yang sebagian besar berhaluan salah satu dari madzhab empat. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat, 4 sampai 5 bulan, sudah terbentuk 35 cabang. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yang antara lain:
1. Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' dipimpin oleh para ulama' yang menjadi guru dari para kyai yang tersebar di seluruh Nusantara, khususnya Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari.
2. Kesadaran ummat Islam Indonesia akan keperluan organisasi Islam sebagai tempat menyalurkan aspirasi dan sebagai kekuatan sosial yang tangguh dalam menghadapi tantangan dari luar.
Sebagai organisasi sosial yang harus menangani semua kepentingan masyarakat, Nahdlatul Ulama' memandang sangat perlu untuk membentuk kader-kader yang terdiri dari generasi muda yang sanggup melaksanakan keputusan-keputusan yang telah diambil oleh NU. Untuk itu, pada tanggal 12 Februari 1938, atas prakarsa KH. Abdul Wahid Hasyim selaku konsul Jawa Timur, diselenggarakan konferensi Daerah Jawa Timur yang menelorkan keputusan untuk menyelenggarakan pendidikan formal, yaitu mendirikan madrasah-madrasah, disamping sistem pendidikan pondok pesantren. Madrasah-madrasah yang didirikan itu terdiri dari dua macam, yaitu:
 Madrasah Umum, yang terdiri dari:
• Madrasah Awwaliyah, dengan masa belajar 2 tahun.
• Madrasah Ibtidaiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.
• Madrasah Tsanawiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.
• Madrasah Mu'allimin Wustha, dengan masa belajar 2 tahun.
• Madrasah Mu'allimin 'Ulya, dengan masa belajar 3 tahun.
 Madrasah Kejuruan (Ikhtishashiyyah), yang terdiri dari:
• Madrasah Qudlat (Hukum).
• Madrasah Tijarah (Dagang).
• Madrasah Nijarah (Pertukangan).
• Madrasah Zira'ah (Pertanian).
• Madrasah Fuqara' (untuk orang-orang fakir).
• Madrasah Khusus.
Kelahiran Al Majlis Al Islamiy Al A'la (MIAI)
Pada masa penjajahan Belanda, ummat Islam Indonesia selalu mendapat tekanan-tekanan dari pemerintah penjajah Belanda, disamping penghinaan-penghinaan yang dilakukan oleh golongan di luar Islam kepada agama Islam, Al Qur'an dan Nabi Besar Muhammad saw.. Untuk menghadapi hal tersebut, maka Nahdlatul Ulama' memandang perlu untuk mempersatukan seluruh potensi ummat Islam di Indonesia.
Pada tahun 1937 Nahdlatul Ulama' telah memelopori persatuan ummat Islam di seluruh Indonesia dengan membidani kelahiran dari Al Majlis al Islamiy al A'la Indonesia (MIAI), dengan susunan dewan sebagai berikut:
Ketua Dewan : KH. Abdul Wahid Hasyim, dari NU
Wakil Ketua Dewan : W. Wondoamiseno, dari PSII
Sekretaris (ketua) : H. Fakih Usman, dari Muhammadiyah
Penulis : S.A. Bahresy, dari PAI
Bendahara : 1. S. Umar Hubeis, dari Al Irsyad
2. K.H. Mas Mansur, dari Muhammadiyah
3. Dr. Sukiman, dari PII
Adapun tujuan perjuangan yang akan dicapai oleh MIAI antara lain sebagai berikut:
 Menggabungkan segala perhimpunan ummat Islam Indonesia untuk bekerja bersama-sama.
 Berusaha mengadakan perdamaian apabila timbul pertikaian di antara golongan ummat Islam Indonesia, baik yang telah tergabung dalam MIAI maupun belum.
 Merapatkan hubungan antara ummat Islam Indonesia dengan ummat Islam di luar negeri.
 Berdaya upaya untuk keselamatan agama Islam dan ummatnya.
 Membangun Konggres Muslimin Indonesia (KMI) sesuai dengan pasal 1 Anggaran Dasar MIAI.
1942-1952
Kelahiran Majlis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI)
Pada masa penjajahan Jepang, MIAI masih diberi hak hidup oleh Pemerintah Penjajah Jepang. Malah suara MIAI tetap diijinkan untuk terbit selama isinya mengenai hal-hal berikut:
 Menyadarkan rakyat atas keimanan yang sebenar-benarnya dan berusaha dengan sekuat tenaga bagi kemakmuran bersama.
 Penerangan-penerangan dan tafsir Al Qur'an.
 Khutbah-khutbah dan pidato-pidato keagamaan yang penting dari para ulama' atau kyai yang terkenal.
 Memberi keterangan kepada rakyat, bagaimana daya upaya Dai Nippon yang sesungguhnya untuk membangunkan Asia Timur Raya.
 Memperkenalkan kebudayaan Dai Nippon dengan jalan berangsur-angsur.
Akan tetapi setelah Letnan Jendral Okazaki selaku Gunseikan pada tanggal 7 Desember 1942 berpidato di hadapan para ulama' dari seluruh Indonesia yang dipanggil ke istana Gambir Jakarta, yang isinya antara lain: Akan memberikan kedudukan yang baik kepada pemuda-pemuda yang telah dididik secara agama, tanpa membeda-bedakan dengan golongan lain asal saja memiliki kecakapan yang cukup dengan jabatan yang akan dipegangnya, maka sekali lagi Nahdlatul Ulama' tampil ke depan untuk memelopori kalahiran dari Majlis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI) sebagai organisasi yang dianggap mampu membereskan segala macam persoalan kemasyarakatan; baik yang bersifat sosial maupun yang bersifat politik, agar keinginan untuk menuju Indonesia Merdeka, bebas dari segala macam penjajahan segera dapat dilaksanakan. Dan setelah Masyumi lahir, maka MIAI pun dibubarkan.
Pembentukan laskar rakyat
Pemerintah Penjajah Jepang memang mempunyai taktik yang lain dengan Penjajah Belanda terhadap para ulama' di Indonesia. Dari informasi yang diberikan oleh para senior yang dikirim oleh pemerintah Jepang ke Indonesia jauh sebelum masuk ke Indonesia (mereka menyamar sebagai pedagang kelontong dan lain sebagainya yang keluar masuk kampung), penjajah Jepang telah mengetahui bahwa bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam serta menganut paham Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, semuanya ta'at, patuh dan tunduk kepada komando yang diberikan oleh para ulama'.
Oleh karena itu, penjajah Jepang ingin merangkul para ulama' untuk memukul bangsa Indonesia sendiri. Itulah sebabnya, maka dengan berbagai macam dalih dan alasan, penjajah Jepang meminta kepada para ulama' agar memerintahkan kepada para pemuda untuk memasuki dinas militer, seperti Peta, Heiho dan lain sebagainya.
Sedang Nahdlatul Ulama' sendiri mempunyai maksud lain, yaitu bahwa untuk mencapai kemerdekaan Indonesia dan mempertahankan kemerdekaan, mutlak diperlukan pemuda-pemuda yang terampil mempergunakan senjata dan berperang. Untuk itu Nahdlatul Ulama' berusaha memasukkan pemuda-pemuda Ansor dalam dinas Peta dan Hisbullah. Sedangkan untuk kalangan kaum tua, Nahdlatul Ulama' tidak melupakan untuk membentuk Barisan Sabilillah dengan KH. Masykur sebagai panglimanya; meskipun sebenarnya selama penjajahan Jepang NU telah dibubarkan. Jadi peran aktif NU selama penjajahan Jepang adalah menggunakan wadah MIAI dan kemudian MASYUMI.
Masyumi menjelma sebagai Partai Politik
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Nahdlatul Ulama' yang dibubarkan oleh penjajah Jepang bangkit kembali dan mengajak kepada seluruh ummat Islam Indonesia untuk membela dan mempertahankan tanah air yang baru saja merdeka dari serangan kaum penjajah yang ingin merebut kembali dan merampas kemerdekaan Indonesia.
Rais Akbar dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama', Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari, mengeluarkana fatwa bahwa mempertahankan dan membela kemerdekaan Indonesia adalah wajib hukumnya.
Seruan dan ajakan NU serta fatwa dari Rais Akbar ini mendapat tanggapan yang positif dari ummat Islam; dan bahkan berhasil menyentuh hati nurani arek-arek Surabaya, sehingga mereka tidak mau ketinggalan untuk memberikan andil yang tidak kecil artinya dalam peristiwa 10 November '45
Pengurus Besar NU hampir sebulan lamanya mencari jalan keluar untuk menanggulangi bahaya yang mengancam dari fihak penjajah yang akan menyengkeramkan kembali kuku-kuku penjajahannya di Indonesia.
Kelambanan NU dalam hal tersebut disebabkan karena pada masa penjajahan Jepang NU hanya membatasi diri dalam pekerjaan-pekerjaan yang bersifat agamis,sedang hal-hal yang menyangkut perjuangan kemerdekaan atau berkaitan dengan urusan pemerintahan selalu disalurkan dengan nama Masyumi.
Atas prakarsa Masyumi, di bawah pimpinan KH. Abdul Wahid Hasyim, maka Masyumi yang pada masa penjajahan Jepang merupakan federasi dari organisasi-organisasi Islam, mengadakan konggresnya di Yogyakarta pada tanggal 7 November 1945. Pada konggres tersebut telah disetujui dengan suara bulat untuk meningkatkan Masyumi dari Badan Federasi menjadi satu-satunya Partai Politik Islam di Indonesia dengan Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' sebagai tulang punggungnya. Adapun susunan Dewan Pimpinan Partai Masyumi secara lengkap adalah sebagai berikut:
Majlis Syura (Dewan Partai)
Ketua Umum : Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari
Ketua Muda I : Ki Bagus Hadikusuma
Ketua Muda II : KH. Abdul Wahid Hasyim
Ketua Muda III : Mr. Kasman Singodimejo
Anggota : 1. RHM. Adnan.
2. H. Agus Salim.
3. KH. Abdul Wahab Hasbullah.
4. KH. Abdul Halim.
5. KH. Sanusi.
6. Syekh Jamil Jambek
Pengurus Besar
Ketua : Dr. Sukirman
Ketua Muda I : Abi Kusno Tjokrosuyono
Ketua Muda II : Wali Al Fatah
Sekretaris I : Harsono Tjokreoaminoto
Sekretaris II : Prawoto Mangkusasmito
Bendahara : Mr. R.A. Kasmat
Nahdlatul Ulama Memisahkan Diri Dari Masyumi
Perpecahan yang terjadi dalam tubuh Partai Masyumi benar-benar di luar keinginan Nahdlatul Ulama'. Sebab Nahdlatul Ulama' selalu menyadari betapa pentingnya arti persatuan ummat Islam untuk mencapai cita-citanya. Itulah yang mendorong Nahdlatul Ulama' yang dimotori oleh KH.Abdul Wahid Hasyim untuk mendirikan MIAI, MASYUMI, dan akhirnya mengorbitkannya menjadi Partai Politik. Bahkan Nahdlatul Ulama' adalah modal pokok bagi existensi Masyumi, telah dibuktikan oleh Nahdlatul Ulama' pada konggresnya di Purwokerto yang memerintahkan semua warga NU untuk beramai-ramai menjadi anggauta Masyumi. Bahkan pemuda-pemuda Islam yang tergabung dalam Ansor Nahdlatul Ulama' juga diperintahkan untuk terjun secara aktif dalam GPII (Gabungan Pemuda Islam Indonesia).
Akan tetapi apa yang hendak dikata, beberapa oknum dalam Partai Masyumi berusaha dengan sekuat tenaga untuk menendang NU keluar dari Masyumi. Mereka beranggapan bahwa Majlis Syura yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam Masyumi sangat menyulitkan gerak langkah mereka dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang bersifat politis. Apalagi segala sesuatu persoalan harus diketahui / disetujui oleh Majlis Syura, mereka rasakan sangat menghambat kecepatan untuk bertindak. Dan mereka tidak mempunyai kebebasan untuk menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politik. Akhirnya ketegangan hubungan antara ulama'/kyai dengan golongan intelek yang dianggap sebagai para petualang yang berkedok agama semakin parah. Karena keadaan semacam itu, maka para pemimpin PSII sudah tidak dapat menahan diri lagi. Mereka mengundurkan diri dari Masyumi dan aktif kembali pada organisasinya; sampai kemudian PSII menjadi partai.
Pengunduran diri PSII tersebut oleh pemimpin-pemimpin Masyumi masih dianggap biasa saja. Bahkan pada muktamar Partai Masyumi ke-IV di Yogyakarta yang berlangsung pada tanggal 15 - 19 Desember 1949, telah diputuskan perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Majlis Syura yang semula menjadi dewan yang tertinggi diubah menjadi Penasihat yang tidak mempunyai hak veto; dan nasihatnya sendiri tidak harus dilaksanakan.
Sikap Masyumi yang telah merendahkan derajat para ulama' tersebut dapat ditolelir oleh warga Nahdlatul Ulama'. Namun PBNU masih berusaha keras untuk memperhatikan persatuan ummat Islam. Nahdlatul Ulama' meminta kepada pimpinan-pimpinan Masyumi agar organisasi ini dikembalikan menjadi Federasi Organisasi-Organisasi Islam, sehingga tidak menyampuri urusan rumah tangga dari masing-masing organisasi yang bergabung di dalamnya. Namun permintaan ini tidak digubris, sehingga memaksa Nahdlatul Ulama' untuk mengambil keputusan pada muktamar NU di Palembang, tanggal: 28 April s/d 1 Mei 1952 untuk keluar dari Masyumi, berdiri sendiri dan menjadi Partai.
Nahdlatul Ulama' membentuk Liga Muslimin
Setelah Nahdlatul Ulama' keluar dari Masyumi, Jam'iyyah NU yang sudah menjadi Partai Politik ternyata masih gandrung pada persatuan ummat Islam Indonesia. Untuk itu Nahdlatul Ulama' mengadakan kontak dengan PSII dan PERTI membentuk sebuah badan yang berbentuk federasi dengan tujuan untuk membentuk masyarakat Islamiyah yang sesuai dengan hukum-hukum Allah dan sunnah Rasulullah saw. Gagasan NU ini mendapat tanggapan yang positif dari PSII dan PERTI, sehingga pada tanggal 30 Agustus 1952 diakan pertemuan yang mengambil tempat di gedung Parlemen RI di Jakarta, lahirlah Liga Muslimin Indonesia yang anggautanya terdiri dari Nahdlatul Ulama', PSII, PERTI dan Darud Dakwah Wal Irsyad.
Dekade 1965
Selama Nahdlatul Ulama' menjadi Partai Islam, dalam gerak langkah nya mengalami pasang naik dan juga ada surutnya. Saat kabut hitam melingkupi awan putih wilayah nusantara pada tanggal 30 September 1965, kepeloporan Nahdlatul Ulama' muncul dan mampu mengimbangi kekuatan anti Tuhan yang menamakan dirinya PKI (Partai Komunis Indonesia). Sikap Nahdlatul Ulama' pada saat itu betul-betul sempat membuat kejutan pada organisasi-organisasi selain NU.
Keberhasilan Nahdlatul Ulama' dalam menumbangkan PKI dapat diakui oleh semua fihak. Dan hal ini menambah kepercayaan Pemerintah terhadap Nahdlatul Ulama'. Nahdlatul Ulama' sebagai Partai Politik sudah membuat kagum dan dikenal serta disegani oleh setiap orang di kawasan Indonesia, bahkan oleh dunia internasional. Apalagi mampu menumbangkan dan menumpas pemberontakan Partai Komunis yang belum pernah dapat ditumpas oleh negara yang manapun di seluruh dunia. Sehingga dengan demikian, Nahdlatul Ulama' dihadapkan kepada permasalahan-permasalahan yang sangat komplek dengan berbagai tetek-bengeknya. Namun Nahdlatul Ulama' sendiri dalam hal rencana perjuangannya yang terperinci, mengalami pembauran kepentingan partai dengan kepentingan pribadi dari para pimpinannya. Oleh sebab itu, pada sekitar tahun 1967, Nahdlatul Ulama' yang sudah berada di puncak mulai menurun. Hal ini disebabkan antara lain oleh pergeseran tata-nilai, munculnya tokoh-tokoh baru, ketiadaan generasi penerus dan lain sebagainya.
Pergeseran tata-nilai ini terjadi di saat Nahdlatul Ulama' menghadapi Pemilihan Umum tahun 1955. Nahdlatul Ulama' harus mempunyai anggauta secara realita, terdaftar dan bertanda anggauta secara pasti. Demi pengumpulan suara, maka apa-apa yang menjadi tujuan Nahdlatul Ulama', kini dijadikan nomor dua. Partai Nahdlatul Ulama' membutuhkan anggauta sebanyak-banyaknya, sekalipun mereka bukan penganut aliran Ahlus Sunnah Wal Jama'ah. Akibat dari pergeseran nilai inilah yang membuat kabur antara tujuan, alat dan sarana. Sebagai Partai Politik yang militan, Nahdaltul Ulama' harus berusaha agar dapat merebut kursi Dewan Perwakilan Rakyat sebanyak mungkin; demikian pula halnya jabatan-jabatan sebagai menteri. Hal itu dimaksudkan sebagai alat untuk dapat melaksanakan program dalam mencapai tujuan partai. Akan tetapi karena pengaruh lingkungan dan juga karena pergeseran nilai, maka jabatan-jabatan yang semula dimaksudkan sebagai alat yang harus dicapai dan dimiliki, kemudian berubah menjadi tujuan. Dan hal ini sangat berpengaruh bagi kemajuan dan kemunduran partai dalam mencapai tujuan.
Pada sekitar tahun 1967/1968, Nahdlatul Ulama' mencapai puncak keberhasilan. Akan tetapi sayang sekali, justeru pada saat itu ciri khas Nahdlatul Ulama telah menjadi kabur. Pondok Pesantren yang semula menjadi benteng terakhir Nahdlatul Ulama' sudah mulai terkena erosi, sebagai akibat perhatian Nahdlatul Ulama' yang terlalu dicurahkan dalam masalah-masalah politik.
Penyederhanaan Partai-Partai
Pada pemilu tahun 1971, Nahdlatul Ulama' keluar sebagai pemenang nomor dua. Hal tersebut membawa anggapan baru bagi masyarakat umum bahwa sebenarnya kepengurusan Nahdlatul Ulama' adalah sebagai hal yang luar biasa; sementara di pihak lain terdapat dua partai yang tidak mendapatkan kursi sama sekali, yaitu Partai MURBA dan IPKI, yang berarti aspirasi politiknya terwakili oleh kelompok lain. Dari sinilah timbul gagasan untuk menyederhanakan partai-partai politik.
Kehendak menyederhanakan partai-partai politik tersebut, datangnya memang bukan dari Nahdlatul Ulama'. Akan tetapi Nahdlatul Ulama' menyambut dengan gembira. Dan dalam penyederhanaan tersebut Nahdlatul Ulama' tidak membentuk federasi, akan tetapi melakukan fusi. Namun demikian, ganjalan pun terjadi, karena memang masing-masing pihak yang berfusi mempunyai tata-nilai sendiri-sendiri.
Bagaimanakah kenyataannya?
Kehidupan politik yang ditentukan oleh golongan elit telah menyeret para pemimpin dan tokoh-tokoh Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' ke dalam kehidupan elit. Padahal kehidupan elit semacam ini tidak terdapat dalam tubuh Nahdlatul Ulama'. Sehingga kehidupan elit ini sebagai barang baru yang berkembang biak dan hidup subur di kalangan Nahdlatul Ulama'. Maka timbullah pola pemikiran baru yang mengarah kepada kehidupan individualis, agar tidak tergeser dari rel yang menuju kepada kehidupan elit. Dari fusi inilah rupa-rupanya yang membuat parah kondisi yang asli dari Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' sejak mula pertama didirikan sebagai jam'iyyah.
Nahdlatul Ulama' Kembali Kepada Khittah An Nahdliyah
Selama Nahdlatul Ulama' berfusi dalam tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), tata-nilai semakin berjurang lebar; sementara dalam tubuh Nahdlatul Ulama' sendiri terdapat banyak ketimpangan dan kesimpang-siuran. Dalam kurun waktu yang lama, secara tidak disadari, Nahdlatul Ulama' telah menjadi kurang peka dalam menanggapi dan mengantisipasi perkembangan keadaan, khususnya yang menyangkuat kepentingan ummat dan bangsa. Salah satu sebabnya adalah ketelibatan Nahdlatul Ulama' secara berlebihan dalam kegiatan politik praktis; yang pada gilirannya telah menjadikan Nahdlatul Ulama' tidak lagi berjalan sesuai dengan maksud kelahirannya, sebagai jam'iyyah yang ingin berkhidmat secara nyata kepada agama, bangsa dan negara. Bahkan hal tersebut telah mengaburkan hakekat Nahdlatul Ulama' sebagai gerakan yang dilakukan oleh para ulama'. Tidak hanya sekedar itu saja yang sangat menyulitkan Nahdlatul Ulama' dalam kancah politik selama berfusi dalam PPP; akan tetapi silang pendapat di kalangan NU sendiri semakin tajam, sehingga sempat bermunculan berbagai hepothesa tentang bagaimana dan siapa sebenarnya Nahdlatul Ulama'.
Dari kejadian demi kejadian dan bertolak dari keadaan tersebut, maka sangat dirasakan agar Nahdlatul Ulama' secepatnya mengembalikan citranya yang sesuai dengan khittah Nahdlatul Ulama' tahun 1926. Hal ini berarti bahwa Nahdlatul Ulama' harus melepaskan diri dari kegiatan politik praktis secara formal, seperti yang telah diputuskan dalam Musyawarah Alim Ulama' Nahdlatul Ulama' (Munas NU) di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur tahun 1982.
Disusun oleh:
Drs. KH. Achmad Masduqi
Sifat yang Dimiliki oleh Agama Islam
Indeks > Artikel > Sifat Islam
Agama Islam itu mempunyai delapan macam sifat yang tidak dimiliki oleh agama-agama lainnya. Oleh karena itu agama Islam merupakan satu-satunya agama yang sempurna di dunia ini. Kedelapan macam sifat tersebut adalah:
1. Agama Islam itu adalah agama "fithrah".
2. Agama Islam itu adalah: mudah, rational dan praktis.
3. Agama Islam itu mempersatukan antara kehidupan jasmani dan kehidupan rohani, dan antara kehidupan duniawi dan kehidupan ukhrawi.
4. Agama Islam itu menjaga keseimbangan antara kehidupan pribadi (individual) dan kehidupan bermasyarakat (sosial).
5. Agama Islam itu adalah merupakan jalan hidup yang sempurna.
6. Agama Islam itu adalah bersifat universal dan manusiawi.
7. Agama Islam itu stabil dan berkembang.
8. Agama Islam itu tidak mengenal perubahan.
Agama Islam itu Agama fithrah
Fitrah itu ada dua macam, yaitu "fithrah mukhallaqah" dan "fithrah munazzalah".
Yang dimaksud dengan "fithrah mukhallaqah" adalah kejadian manusia yang terdiri dari tiga unsur jiwa, yaitu:
1. Nafsu, yang gejalanya nampak pada tingkah laku lahiriah. Oleh karena manusia mempunyai nafsu, maka manusia juga disebut sebagai "homo animale".
2. Akal fikiran atau kalbu atau rasio yang membuat manusia dapat berfikir dan memiliki keyakinan. Oleh karena manusia mempunyai ratio atau akal fikiran, maka manusia juga disebut sebagai "homo rationale".
3. Hati nurani atau sarirah atau 'ainul bashirah, yang membuat manusia dapat memiliki budi pekerti. Oleh karena manusia sebagai makhluk yang berbudi pekerti, maka manusia disebut juga sebagai "homo somatica".
Adapun yang dimaksud dengan "fithrah munazzalah" adalah ajaran agama Islam yang terdiri dari tiga macam, yaitu:
1. Ajaran tentang "iman" yang dipergunakan untuk membimbing manusia selaku "homo rationale"
2. Ajaran tentang "islam" yang dipergunakan untuk membimbing manusia selaku "homo animale"
3. Ajaran tentang "ihsan" yang dipergunakan untuk membimbing manusia selaku "homo somatica"
Dalam Al Qur'an surat Ar Rum (S.30) ayat 30 Allah swt. berfirman sebagai berikut:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا، فِطْرَةَ اللهِ الَّتِى فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيْـلَ لِخَلْقِ اللهِ ؛ ذلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ، وَلكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ .
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fithrah Allah yang menciptakan manusia menurut fithrah itu. Tidak ada perubahan pada fithrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui".
Pengamalan dari ketiga macam ajaran agama Islam tersebut di atas, menurut pengarang dari kitab "Iiqaadhul Himam" syarah dari kitab "Al Hikam" adalah sebagai berikut:
وَعَمَـلُ الإِسْلاَمِ هِيَ الشَّرِيْعَةُ لِتَعْبُدَ اللهَ لإِصْلاَحِ ظَوَاهِرِكَ بِالتَّوْبَةِ وَالتَّـــــــــقْوَى وَالإِسْتِقَامَةِ . وَعَمَلُ الإِيْمَانِ هِيَ الطَّرِيْقَةُ لِتَقْصُدَ اللهَ لإِصْلاَحِ ضَمـَـــــــــائِرِكَ بِالإِخْلاَصِ وَالصِّدْقِ وَالطُّمَأْنِيْنَةِ . وَعَمَلُ الإِحْسَانِ هِيَ الْحَقِيْقَةُ لِتَشْهَدَ اللّــــــهَ لإِصْلاَحِ سَرَائِرِكَ بِالْمُرَاقَبَةِ وَالْمُشَاهَدَةِ وَالْمَعْرِفَةِ .
"Pengamalan "islam" adalah syari'at (dalam arti sempit), agar engkau dapat menyembah Allah, untuk memperbaiki tingkah laku lahirmu, dengan bertaubat, bertaqwa dan beristiqamah (melakukan ibadah secara terus menerus). Pengamalan "iman" adalah thariqat (bukan gerakan thariqat), agar engkau dapat menuju pada keridlaan Allah, untuk memperbaiki tingkah laku hatimu, dengan berbuat ikhlas, jujur dan pemantapan. Pengamalan "ihsan" adalah hakekat, agar engkau dapat menyaksikan keagungan Allah, untuk memperbaiki hati nuranimu, dengan muraqabah (selalu merasa diawasi Allah), musyahadah (mengamati kekuasaan Allah yang berlaku pada setiap makhluk-Nya) dan ma'rifat (menghayati keberadaan Allah melalui ciptaan-Nya).
Ketiga macam ajaran agama Islam tersebut di atas juga disebut "Risalah Islamiyah". Adapun sistem yang dijalankan oleh Nabi Besar Muhammad saw. dalam mengemban "risalah islamiyah" tersebut di atas adalah sebagai berikut.
1. Selama kurang lebih 11 (sebelas) tahun lamanya, Nabi Besar Muhammad saw. menanamkan ketauhidan (keesaan) Tuhan (Allah) pada bangsa Arab yang berfaham polytheisme (mempercayai Tuhan sebanyak 360) melaui pendekatan rational; kemudian menggembleng ketauhidan mereka, sehingga dapat menjadi bangsa yang memiliki keyakinan "tauhid mutlak" atau "monotheisme absolut" yang sangat kuat.
2. Nabi Besar Muhammad saw. mengajak para pengikutnya yang telah memiliki keyakinan tauhid mutlak yang sangat kuat untuk beribadah (menyembah) kepada Allah saja secara tekun dan istiqamah (terus-menerus), guna mendekatkan diri kepada-Nya.
3. Nabi Besar Muhammad saw. melatih para pengikutnya yang telah memiliki keyakinan tauhid mutlak yang sangat kuat dan telah melakukan ibadah dengan istiqamah untuk mengamalkan budi pekerti yang mulia, agar dapat menjadi manusia yang sempurna (insan kamil).
Dengan system tersebut di atas, Nabi Besar Muhammad saw. dalam waktu yang kurang dari seperempat abad (~23 tahun), dengan biaya yang kurang dari 1% dari biaya revolusi Perancis, dengan korban yang kurang dari 1000 (seribu) orang, telah berhasil menjadikan bangsa Arab yang semula merupakan bangsa yang paling bejat dalam bidang keyakinan, tertib hukum dan moral (akhlak) , menjadi bangsa yang memiliki keyakinan tauhid mutlak yang sangat kuat, sangat ta'at kepada hukum-hukum Islam dan memiliki budi pekerti yang luhur; yang kesemuanya itu merupakan perubahan sosial yang paling besar dalam sejarah kehidupan ummat manusia yang tidak ada tolok bandingannya. Inilah sistem yang paling tepat untuk dicontoh dalam membangun kepribadian seseorang maupun kepribadian sesuatu bangsa.
Dalam surat Al Ahzab ( S.33) ayat 21 Allah swt. telah berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُوْلَ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُوْ اللهَ وَالْيَوْمَ الآخِـرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا .
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah".
Agama Islam itu agama yang mudah, rasional dan praktis
Mudah
Yang dimaksud dengan mudah, ialah bahwa tidak satupun dari bentuk-bentuk peribadatan dalam Islam yang sulit dan njelimet yang hanya dapat dimengerti dan dapat dikerjakan oleh tokoh-tokoh agama atau para alim ulama' saja. Setiap bentuk peribadatan dalam agama Islam dapat dimengerti dan dapat dikerjakan oleh setiap orang muslim, meskipun orang yang paling awam. Sampai-sampai masalah shalat yang lima kali sehari semalam, yang di antara rukun-rukunnya (pekerjaan-pekerjaan yang wajib dikerjakan) adalah bacaan "fatihah" dan "tasyahhud/tahiyyat", bagi orang yang sama sekali belum dapat membacanya (belum hafal atau belum mengenal huruf-huruf Al Qur'an, kedua bacaan tersebut boleh diganti dengan bacaan dzikir seperti bacaan:
لاَاِلهَ اِلاَّ اللهُ
Laa ilaaha illallaah.
Demikian pula halnya bacaan-bacaan yang dianjurkan selama melakukan thawaf dan sa'i dalam ibadah hajji, dapat diganti dengan bacaan shalawat Nabi. Dalam hal ini Nabi Besar Muhammad saw. telah bersabda:
إِنمَّاَ بُعِثْتُ بِالحَنِيْفِيَّةِ السَّمْحَةِ
Sesungguhnya saya diutus dengan agama yang lapang.
اَلدِّيْنُ يُسْــرٌ
Agama Islam itu mudah.
يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا
Mudahkanlah dan jangan kalian mempersulit.
Rasional
Yang dimaksud dengan rasional, ialah bahwa rukun-rukun Iman yang enam, yaitu:
 Beriman kepada Allah.
 Beriman kepada para malaikat Allah.
 Beriman kepada kitab-kitab Allah.
 Beriman kepada para utusan Allah.
 Beriman kepada hari kiamat.
 Beriman kepada qadar (ketentuan) baik dan buruk dari Allah,
Antaranya ada tiga pokok aqidah Islamiyah yang harus berdasarkan akal fikiran yang sehat, yaitu:
Masalah keesaan Allah swt
Dalam agama Islam seseorang tidak dibenarkan untuk meyakini wujud Tuhan Allah Yang Maha Esa hanya berdasarkan keterangan orang lain. Akan tetapi keyakinan yang dimiliki itu harus berdasarkan pertimbangan akal fikirannya yang sehat atau berdasarkan dalil akal, meskipun secara global (garis besar). Misalnya andaikata di langit dan di bumi ini ada dua Tuhan, sedangkan masing-masing dari kedua Tuhan tersebut memiliki kekuasaan yang penuh, niscaya akan terjadilah pertempuran dan saling menghancurkan di antara kedua Tuhan tersebut untuk dapat menjadi Penguasa Tunggal di langit dan di bumi ini. Dan dengan demikian, maka seluruh benda langit dan bumi ini akan menjadi hancur lebur.
Padahal kenyataan menunjukkan bahwa benda-benda langit dan bumi ini masih ada dalam keadaan utuh. Jadi tidak mungkin di langit dan di bumi ini ada dua Tuhan yang masing-masing memiliki kekuasaan yang penuh. Andaikata di alam semesta ini ada dua Tuhan dan keduanya bersepakat untuk mengatur alam semesta, maka pastilah kesepakatan tersebut diambil karena kedua Tuhan itu lemah, atau salah satunya lemah. Jika demikian, maka yang bersifat lemah itu bukan Tuhan; karena tidak pantas Tuhan memiliki sifat lemah, sebab Dia harus memelihara dan mengatur alam se-mesta ini; dan tidak pantas pula untuk dipuja-puja, apalagi untuk disembah.
Dan jika di alam semesta ini ada dua Tuhan yang salah satunya berupa manusia yang dianggap sebagai anak Tuhan, seperti Nabi 'Uzair as. yang dianggap sebagai anak Tuhan oleh orang-orang Yahudi dan seperti Nabi Isa as. yang dianggap sebagai anak Tuhan yang tunggal oleh orang-orang Nasrani, maka hal itu sama sekali tidak dapat masuk akal fikiran yang sehat. Sebab jika sekiranya Tuhan itu dapat mempunyai anak yang berwujud manusia, sedangkan manusia itu adalah ciptaannya, niscaya bisa pula terjadi ada penjahit yang mempunyai anak berupa celana atau tukang kayu beranak kursi. Lebih-lebih lagi jika ada orang yang beranggapan bahwa ada manusia yang menjadi isteri Tuhan, niscaya akan ada sebuah patung yang menjadi isteri pemahatnya. Dalam Al Qur'an surat Al Anbiya' (S.21) ayat 22 Allah swt. berfirman:
لَوْ كِانِ فِيْهِمَا آلِهَةٌ إِلاَّ اللهُ لَفَسَدَتَا ؛ فَسُبْحَانَ اللهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّــا يَصِـــفُوْنَ
Sekiranya ada di langit dan di bumi Tuhan-Tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arasy dari pada apa yang mereka sifatkan".
Seorang ahli filsafat bangsa Yunani yang bernama Socrates berpendapat bahwa melalui hukum sebab dan akibat, maka alam semesta ini berasal dari "penyebab pertama" yang tidak diakibatkan oleh sebab yang lain. Penyebab pertama ini adalah Maha Esa; dan itulah Tuhan. Jadi Tuhan menurut Socrates adalah Penyebab Pertama (The Prime Cause). Menurut Aris-toteles, Tuhan itu bukanlah The Prime Cause, akan tetapi The Prime Mover (Penggerak Pertama) yang Maha Esa, yang Maha Sedia tanpa permulaan dan yang Maha Kekal tanpa kesudahan. Sedang menurut ahli filsafat bangsa Belanda yang bernama Berkely, Tuhan itu adalah "The Eternal Reality" (kenyataan dari hakekat wujud yang abadi); dan Dia adalah Maha Esa.
Karena keimanan kepada Allah swt. yang harus rational adalah hal yang paling pokok dalam agama Islam, maka Nabi Besar Muhammad saw. bersabda:
اَلدِّيْنُ هُوَ الْعَقْلُ لاَ دِيْنَ لِمَنْ لاَ عَقْلَ لَهُ
Agama itu akal dan sama sekali agama itu tidak dibenarkan bagi orang yang sama sekali tidak ada akal fikiran baginya".
Kerasulan Nabi Besar Muhammad saw.
Masalah kerasulan Nabi Besar Muhammad saw. adalah berdasar akal fikiran yang sehat. Sebab sampai sekarang belum ada seorang ahlipun yang berani menyatakan bahwa kitab suci Al Qur'an yang menjadi mu'jizat utama dari Nabi Besar Muhammad saw. itu adalah buatan manusia. Sejak Rasulullah Muhammad saw. menyatakan bahwa bukti dari ke-rasul-an beli-au adalah kitab suci Al Qur'an, kemudian kaum kuffar mengatakan bahwa mereka dapat membuat untaian kalimat yang seperti Al Qur'an, maka dengan spontan Allah swt. membe-rikan tantangan kepada mereka, sebagaimana tersebut dalam Al Qur'an surat Al Baqarah (S.2) ayat 23 - 24 sebagai berikut:
وَإِنْ كُنْتُمْ فِىْ رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَائْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِنْ مِثْـــــــلِهِ ، وَادْعُوْا شُهَدَاءَكُـمْ مِنْ دُوْنِ اللهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوْا وَلَنْ تَفْعَلُوْا فَاتَّــــقُوْا النَّارَ الَّتِىْ وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِيْنَ .
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat (nya) dan kamu tidak mungkin dapat membuatnya, peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir".
Dan kenyataan sejarah telah membuktikan bahwa sejak pertama kali Al Qur'an diturunkan sampai sekarang, mereka yang ingkar terhadap kebenaran Al Qur'an sebagai wahyu Allah swt. yang menjadi bukti dari kebenaran ke-rasul-an Nabi Besar Muhammad saw. tidak pernah mampu membuat tandingan Al Qur'an, meskipun mereka telah berusaha sekuat tenaga untuk hal tersebut, sebagaimana yang telah dilakukan oleh kaum orientalis Barat.
Masalah konsep kehidupan sesudah mati
Semua manusia yang hidup di dunia ini, tidak seorangpun yang mampu menjawab tujuh macam pertanyaan meskipun dia adalah orang yang paling jenius atau brilian atau paling cerdas otaknya. Ketujuh macam pertanyaan tersebut adalah:
1. Dari mana sebelum manusia ini hidup di dunia?
2. Mengapa manusia harus hidup di dunia?
3. Siapa gerangan yang menghendaki kehidupan manusia di dunia ini?
4. Untuk apa manusia harus hidup di dunia ini?
5. Mengapa setelah manusia terlanjur senang hidup di dunia dia harus mati? Padahal tidak seorangpun yang senang mati.
6. Siapa gerangan yang menghendaki kematian manusia?
7. Ke mana gerangan nyawa manusia setelah mati?
Ketidakmampuan akal manusia menjawab tujuh macam pertanyaan tersebut adalah merupakan salah satu bukti yang nyata, bahwa manusia itu betapa pun cerdas akal fikirannya masih tetap memiliki kelemahan. Disamping kelemahan untuk menjawab tujuh macam pertanyaan tersebut, akal manusia juga mempunyai kelemahan-kelemahan yang lain, yaitu:
 ketidakmampuan akal manusia untuk mengetahui hakekat kebenaran
Dapat dibuktikan dengan banyaknya teori kebenaran yang telah dikemukakan oleh para ahli filsafat
 ketidak mampuan manusia untuk mengetahui hakekat dari kebahagiaan hidup
Dapat dibuktikan oleh kehidupan yang merana dari orang-orang yang tergolong pandai.
Kelemahan akal fikiran tersebut adalah bukti yang nyata bahwa manusia hidup di dunia ini mutlak masih memerlukan "petunjuk". Dan petunjuk yang dapat dipertanggungjawabkan adalah petunjuk yang berasal dari Sang Pencipta akal manusia itu sendiri, yaitu Tuhan yang dalam agama Islam disebut "ALLAH". Sedangkan petunjuk yang diberikan oleh Allah itu disebut "Ad-Din" (agama). Dan petunjuk Allah swt. yang diberikan kepada Nabi Besar Muhammad melalui wahyu, kesemuanya telah terangkum dalam sebuah kitab suci "Al Qur'an". Dan dalam Al Qur'an inilah Allah swt. menyatakan bahwa semua manusia yang sudah mati akan dibangkitkan lagi pada hari kiamat. Dengan demikian maka terbuktilah sudah bahwa konsep kehidupan sesudah mati itu adalah rational.
Praktis
Yang dimaksud dengan praktis, ialah bahwa seluruh isi ajaran Al Qur'an dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari oleh setiap orang Islam yang telah memahami ma'na yang terkandung di dalamnya, karena Al Qur'an itu bukan teori yang sulit untuk dipraktekkan, melainkan tuntunan dari Allah swt. yang dipergunakan untuk membimbing kehidupan manusia hidup di dunia ini; sehingga mudah untuk dapat dipraktekkan.
Agama Islam itu mempersatukan kehidupan jasmani & rohani, dan antara kehidupan duniawi & ukhrawi
Agama Islam menuntut para pemeluknya untuk memperhatikan kepentingan jasmaninya dan sekaligus harus memperhatian kepentingan rohaninya; dan juga menuntut setiap muslim berusaha untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan juga kebahagiaan hidup di akhirat. Oleh karena itu setiap muslim diperintahkan untuk membaca do'a seperti yang diajarkan dalam Al Qur'an surat Al Baqarah (S.2) ayat 201 yang berbunyi :
... رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِى الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
" ... Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka".
Setiap muslim dilarang keras untuk meninggalkan urusan duniawiahnya karena menyibukkan diri dengan urusan akhirat; demikian pula sebaliknya. Dalam hal ini Nabi besar Muhammad saw. telah bersabda:
لَيْسَ بِخَيْرِكُمْ مَنْ تَرَكَ دُنْيَاهُ لآخِرَتِهِ وَلاَ آخِرَتَهُ لِدُنْيَاهُ حَتَّى يُصِيْبَ جَمِيْعًا مِنْهُمَا
"Bukanlah yang paling baik dari kamu sekalian orang yang meninggalkan dunia nya untuk akhiratnya, dan bukan pula orang yang meninggalkan akhiratnya untuk dunianya; sehingga dia memperoleh keseluruhan dari keduanya (dunia dan akhirat)".
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim Nabi besar saw. bersabda:
اَلْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ اِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِىكُلٍّ خَيْرٌ،إِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَلاَ تَعْجِزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ: لَوْأَنِّــيْ فَعَلْتُ كَذَا كَانَ كَذَا، وَلكِنْ قُلْ: قَدَّرَ اللهُ، وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ "لَوْ" تـَـــفْتَحُ عَمَـــــلَ الشَّيْطَانِ.
"Orang mu'min yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dari pada orang mu'min yang lemah. Dan pada masing-masing terdapat kebaikan. Tamaklah engkau pada apa saja yang memberi manfa'at dikau. Mintalah tolong kepada Allah dan jangan pesimis (merasa lemah). Dan jika ada sesuatu yang menimpa engkau, janganlah engkau berkata: "Andaikata aku melakukan begini, niscaya akan terjadi begini; akan tetapi katakanlah: "Allah telah menentukan (mentakdirkan), dan apa yang Dia kehendaki Dia kerjakan, karena kata-kata "andaikata" itu membuka peluang bagi pekerjaan Syaithan".
Dalam hadits tersebut di atas, Rasulullah saw. menetapkan bahwa orang mu'min yang kuat itu lebih utama dari pada orang mu'min yang lemah dan lebih dicintai oleh Allah swt. Dan bahwa pada masing-masing dari keduanya terdapat sebahagian dari kebaikan, yaitu karena beriman. Kemudian Rasulullah saw. secara global menerangkan bahwa kekuatan itu terletak pada empat faktor, yaitu:
1. Tamak terhadap setiap sesuatu yang bermanfa'at.
2. Memohon pertolongan kepada kekuatan Allah swt. yang tidak dapat dilemah-kan oleh sesuatupun.
3. Terus menerus menghadapi pekerjaan dengan tekun, pantang menyerah dan tanpa merasa lemah (pesimis)
4. Sabar pada waktu tertimpa musibah tanpa membiarkan dirinya dipermainkan oleh angan-angan dan tidak tunduk kepada godaan Syaithan.
Faktor yang pertama menuntut setiap mu'min untuk selalu sadar terhadap setiap kesempatan yang dapat dipergunakan dan diambil faedahnya. Setiap sesuatu yang memberi manfa'at orang mukmin dalam kehidupan di dunia ini dan kehidupan di akhirat, wajib bagi setiap mu'min untuk tamak terhadapnya dan bekerja untuk mendapatkannya.
 Terhadap harta, wajib bagi setiap mu'min untuk mengusahakannya dari jalan yang halal.
 Terhadap pangkat, wajib bagi setiap mu'min untuk mengerahkan kemampuannya guna men capainya dengan cara yang wajar dan baik.
 Terhadap ilmu-ilmu pengetahuan yang bermacam-macam yang dapat dipergunakan untuk memajukan alam dan mempersiapkan sarana-sarana kehidupan yang mulia bagi manusia, seperti ilmu kedokteran, teknik dan pendidikan misalnya, maka wajib bagi semua orang mu' min untuk tidak menyimpan kemampuannya dalam mempelajari dan mengabdinya.
 Terhadap akhlak-akhlak yang mulia yang dapat diperoleh dengan ujian, mengekang nafsu dan bersabar, maka wajib bagi orang-orang mu'min untuk memperoleh bagian yang terbesar.
 Terhadap agama dan ilmu-ilmu agama, maka yang jelas setiap mu'min wajib menyangatkan ketamakannya untuk menjadi bekal bagi kehidupannya di akhirat; dan harus bekerja dengan sekuat tenaga untuk mengambil faedah dari ilmu-ilmu agama tersebut bagi kehidupannya di dunia, karena ilmu-ilmu agama tersebut dapat mendidik jiwa, membangkitkan semangat dan mempertajam hati.
Faktor yang kedua, yaitu memohon pertolongan Allah, adalah menyadarkan setiap mu'min terhadap pekerjaan yang tidak menyibukkan dirinya dari mengingat Allah; bahkan pekerjaan itu lebih pantas untuk menyibukkan dirinya mengingat Tuhannya. Sebab setiap kali seseorang mukmin menekuni sesuatu pekerjaan, maka akan tersingkap baginya bahwa kemampuannya sebagai manusia adalah terbatas dan bahwa kekuatannya jauh berkurang untuk mencapai cita-citanya. Jadi tidak boleh tidak dia harus mendapatkan pertolongan dan bantuan Allah swt. yang dapat menuntunnya, menunjukkan jalannya dan memberinya kesabaran dalam menekuni pekerjaan, agar dapat sampai kepada apa yang diinginkan keberhasilan dari cita-citanya berkat pekerjaan dan jerih payahanya. Sehingga betapun banyak rintangan dan kesulitan yang dihadapinya, tidak akan dapat menghalanginya.
Oleh karena setiap mu'min selalu memerlukan pertolongan Allah inilah, maka Allah swt. memerintahkan kepada kita sekalian untuk membaca pada setiap raka'at dari setiap shalat:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya kepadamu kami menyembah dan hanya kepadamu kami memohon pertolongan.
Dan Allah memerintahkan orang-orang mu'min yang sedang berperang melawan musuh untuk mengingat Tuhan mereka, bahkan agar lebih banyak mengingat Nya. Dalam surat Al Anfal (S.8) ayat 45, Allah swt. telah berfirman:
يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا لَقِيْتُمْ فِئَةً فَاثْبُتًوْا، وَاذْكُرُوْا اللهَ كَثِيْرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ .
"Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung".
Untuk faktor yang ketiga ini, kami ketengahkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik ra. bahwa Rasulullah saw. dalam do'a beliau selalu mengucapkan:
أَللّهُمَّ إِنِّىْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْك‍سَ‍لِ وَالجْبْنِ وَالْبُخْلِ
Ya Allah, sesungguhnya hamba memohon perlindungan kepada-Mu dari sifat pesimis, malas, licik dan kikir.
Dari do'a Rasulullah saw. tersebut dapat diambil pengertian bahwa Agama Islam itu membenci sifat malas, memerangi sifat berpura-pura tawakkal (tawakkal=berserah diri kepada Allah) dan tidak rela apabila orang mu'min itu menjadi lemah sehingga dihina orang lain atau menjadi pemalas sehingga meminta-minta kepada orang lain atau menjadi penganggur se-hingga menjadi orang yang tidak berguna; padahal orang mukmin itu seharusnya melebihi orang lain, menjadi orang yang kaya dan orang yang mulia.
Faktor yang keempat adalah menutup pintu lamunan dan angan-angan yang batal, karena orang mu'min itu wajib menyiapkan dirinya untuk kehidupan di hari esok dan bukan untuk hari kemarin. Dan hendaklah orang mukmin itu mengerjakan pekerjaan yang sedang dihadapi dan jangan menjadi orang yang bermimpi dan tertipu oleh angan-angan dan lamunan. Jika setiap manusia dalam kehidupan di dunia ini kadang-kadang dihadapkan kepada kegagalan dari usahanya dan pada suatu ketika menjadi sasaran dari kejadian-kejadian, maka hendaklah dia menghadapi apa yang merintangi jalannya dengan jiwa mu'min yang sejati, yaitu menyadari bahwa rintangan tersebut adalah sudah menjadi ketentuan dan kehendak Allah yang tidak dapat dielakkan kejadiannya, sehingga dia harus mengulangi bekerja dan berusaha dengan keyakinan akan sampai pada sasaran tujuannya.
Sesungguhnya setiap mu'min itu wajib memiliki keyakinan bahwa ketentuan Allah swt. itu tidak mungkin berubah seandainya dia mengerjakan selain apa yang telah dikerjakan. Misalnya: Penyakit yang menjadi sebab kematiannya adalah tidak mungkin dapat sembuh andaikata ada dokter lain yang mengobati. Putusan pengadilan yang merugikan dirinya adalah tidak mungkin membawa keberuntungannya andaikata ada seorang pembela yang masyhur yang membela.
Jika demikian, maka tidaklah bijaksana, bahkan tidak benar apabila ia mengatakan: "Andaikata perkara itu demikian, maka akan terjadi demikian. Yang bijaksana adalah jika dia meninggalkan apa yang sudah terjadi agar perhatiannya sepenuhnya dapat ditujukan kepada apa yang akan terjadi, seluruh kemampuannya dikerahkan untuk bekerja; sehingga apa yang telah lewat tidak menjerumuskannya dalam jurang penyesalan dan tidak mengajaknya bercumbu rayu dengan Syaithan dalam lamunan yang tidak membuahkan kecuali penyesalan yang sia-sia dan kesibukan hati dengan hal-hal yang tidak berfaedah serta menyia-nyiakan waktu dalam hal-hal yang tidak membuatnya kaya.
Agama Islam menjaga keseimbangan antara kehidupan individual dan bermasyarakat
Agama Islam melarang setiap pemeluknya untuk mementingkan dirinya sendiri tanpa mau memperdulikan keadaan masyarakat sekelilingnya; dan demikian pula sebaliknya, agama Islam juga melarang para pemeluknya untuk mementingkan urusan masyarakat dengan jalan menelantarkan kepentingan pribadinya. Jadi agama Islam tidak sejalan dengan faham "egoistic hedonism" yang menyatakan bahwa kebenaran itu ialah apa yang menyenangkan diri pribadi meskipun menyengsarakan orang banyak. Dan juga tidak sependapat dengan aliran "universalistic hedonism" yang berfaham bahwa kebenaran itu adalah yang membahagiakan masyarakat banyak meskipun dirinya sendiri mengalami kesengsaraan. Tetapi agama Islam adalah menengahi antara keedua faham dalam aliran filsafat tersebut (egoistic hedonism dan universalistic hedonism). Dalam hal ini Nabi Besar Muhammad saw. telah bersabda dalam hadits-hadits beliau yang antara lain:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
"Tidak boleh membuat kesengsaraan dirinya sendiri dan juga tidak boleh membuat kesengsaraan orang lain"
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِىْ يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ اِلَى جَنْبِهِ . رَوَاهُ الْحَاكِمُ وَالْبَيْهَقِيُّ
"Bukanlah orang yang beriman, orang yang kenyang, sedangkan tetangga di sebelahnya kelaparan".
مَنْ كَانَ عِنْدَهُ فَضْلُ ظَهْرٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لاَ ظَهْرَ لَهُ، وَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ فَضْــلُ زَادٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لاَ زَادَ لَهَ . قَالَ أَبُوْ سَعِيْدٍ ( رَاوِى الحْدِيْثِ ) : فَذَكَرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ مَا ذَكَرَ حَتَّى رَأَيْنَا أَنَّــــــهُ لاَ حَقَّ لأَحَدٍ مِنَّا مِنَ الْفَضْلِ . رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَأَحْمَدُ وَأَبُوْ دَاوُدَ
"Barangsiapa yang mempunyai kelebihan tempat duduk di kendaraannya, maka hendaklah dia memberikan kepada orang yang sama sekali tidak mendapatkan kendaraan. Dan barangsiapa yang mempunyai kelebihan bekal, maka hendaklah dia memberikan kepada orang yang sama sekali tidak mempunyai bekal. Abu Sa'id (perawi hadits) berkata: Kemudian Rasulullah saw. menuturkan jenis-jenis harta sebagaimana yang telah beliau tuturkan, sehingga kami (para sahabat) berpendapat bahwa sesungguhnya sama sekali tidak ada hak pakai bagi salah seorang dari kita terhadap kelebihan".
Hadits di atas memberi petunjuk kepada kita sekalian akan hal-hal berikut:
 Saling membantu dalam memenuhi tuntutan hidup dan keperluan-keperluannya adalah tiang utama dalam agama Islam, sehingga semua muslim diwajibkan untuk saling membantu dan masing-masing dari kita diwajibkan memberikan kelebihan yang dimilikinya kepada saudaranya sesama muslim yang memerlukannya.
 Agama Islam menjamin setiap manusia akan hak hidupnya, makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, pendidikan dan pengobatan. Barangsiapa yang tidak mampu untuk mendapatkan hak-hak hidup tersebut, maka wajib bagi orang yang mampu untuk membantu mendapatkannya dan memberinya apa yang lebih dari hajatnya sendiri.
 Agama Islam memerangi penimbunan dengan segala macam bentuknya; karena dalam penimbunan tersebut terdapat pengkhianatan bagi kelebihan harta benda yang tidak dibenarkan oleh syari'at Islam. Islam juga memerangi perbuatan riba, karena perbuatan riba itu bukanlah pertolongan, bahkan riba (pinjaman dengan bunga) itu sesungguhnya merupakan pengkhia-natan yang jelek sekali bagi hajat manusia. Islam memerangi perjudian, lotre dan gadai dengan bunga. Karena harta yang dipergunakan dalam hal-hal tersebut adalah kelebihan dari pemi-liknya, sedangkan seseorang tidak berhak untuk mempergunakan kelebihan yang dimilikinya selain memberikan kepada orang yang berhak mempergunakannya.
 Agama Islam mewajibkan pemberian upah pekerja pada batas minimal yang tidak boleh kurang dari batas tersebut, yaitu jumlah yang dapat menjamin karyawan dan keluarganya pada kehidupan yang normal.
Jadi menurut agama Islam, orang mu'min yang sejati ialah orang yang telah merasakan dirinya sebagai anggauta mesyarakat, sehingga kebahagiaan masyarakat adalah kebahagiaan bagi dirinya dan kesengsaraan masyarakat adalah kesengsaraan bagi dirinya.
Agama Islam itu adalah merupakan jalan hidup yang sempurna
Karena agama Islam itu mengatur hubungan setiap muslim dengan:
 Tuhannya yang telah menciptakan dirinya dan menganugerahinya dengan berbagai macam kenikmatan yang tidak dapat dihitung jumlah dan macamnya. Hubungan ini harus dilakukan dengan baik, yaitu dengan jalan beribadah dan menyembah hanya kepadaNya, men-taati segala macam perintah dan larangan-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu-pun.
 Dirinya sendiri, dengan jalan memberikan makanan halal agar jiwanya dapat merasakan ketenangan dan ketenteraman; dan makanan yang bergizi agar badannya selalu sehat, serta harus mengobatinya apabila sakit. Agama Islam melarang setiap muslim merusak jiwanya dengan makanan yang haram misalnya dan merusak jasmaninya dengan minuman arak.
 Sesama manusia yang dalam hal ini dibedakan antara seseorang dengan orang tuanya, dengan orang lain yang lebih tua, dengan keluarganya, dengan teman sebaya, dan dengan orang yang lebih muda, dengan tetangganya dan lain sebagainya.
 Dengan sesama makhluk yang bernyawa. Agama Islam memperbolehkan menyembelih binatang yang dagingnya boleh dimakan, akan tetapi dalam menyembelih tersebut tidak boleh dilakukan dengan menyiksa binatang yang akan disembelih. Demikian pula agama memperbolehkan membunuh binatang buas yang membahayakan dan binatang-binatang yang merusak/mengganggu, namun tidak boleh dilakukan dengan jalan menyiksa.
 Alam semesta dan lingkungan hidupnya. Agama Islam mempersilahkan setiap orang untuk memanfa'akan apa saja yang diciptakan Allah di alam semesta ini, akan tetapi pemanfaatan tersebut tidak boleh dilakukan dengan mendatangkan pencemaran bagi lingkungan hidup, lebih-lebih dengan jalan yang mendatangkan kerusakan bagi eko system dari alam semesta ini.
Dalam surat Al 'Ashr ayat 1 - 3 Allah swt. berfirman:
بسم الله الرحمن الرحيم . وَالْعَصْرِ . إِنَّ الإِنْسَانَ لَفِى خُسْرٍ . إِلاَّ الَّــذِيْنَ آمَنُـــــــوْا وَعَمِلُوْا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالْصَــــــبْرِ .
"Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling menasehati supaya mentaati kebenaran dan saling menasehati supaya menetapi kesabaran".
Yang dimaksud dengan mengerjakan amal saleh di sini adalah berbuat baik kepada Allah swt, diri sendiri, sesama manusia, sesama makhluk hidup dan alam semesta seperti tersebut di atas
Agama Islam adalah universal dan manusiawi
Yang dimaksud dengan universal ialah bahwa Nabi Besar Muhammad saw. adalah diutus oleh Allah untuk seluruh ummat manusia di permukaan bumi ini; dan bukan untuk sesuatu bangsa sebagaimana Nabi Musa as dan Nabi Isa as. yang diutus untuk bangsa Yahudi, atau Bani Israil saja. Hal ini terbukti dengan seruan Al Qur'an kepada ummat Nabi Besar Muhammad saw. dengan seruan:
يَاأَيُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوْا
Wahai orang-orang yang beriman!
atau dengan seruan:
يَآ أَيُّهَا النَّاسُ
Wahai manusia!
Dalam Al Qur'an surat Al Anbiya' (S.21) ayat 107 Allah swt. berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ اِلاَّ رَحْـــمَةً لِلْعَــــالَمِيْنَ
Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.
Nabi Besar Muhammad saw. sama sekali tidak pernah memanggil pengikutnya dengan panggilan: Wahai bangsa Arab, atau bangsa lainnya. Bahkan dalam salah satu Hadits Nabi Besar Muhammad saw. pernah bersabda:
لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ اِلاَّ بِالتَّقْوَى
Sama sekali tidak ada kelebihan bagi bangsa Arab atas bangsa lainnya, kecuali sebab ketaqwaan.
Dalam Al Qur'an surat Al Hujurat ( S.49 ) ayat 13 Allah swt. berfirman:
يَآ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا، إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ ، إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ .
"Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal".
Yang dimaksud dengan manusiawi ialah bahwa tidak satupun dari ajaran-ajaran Islam yang apabila dikerjakan dengan baik, akan mendatangkan kesengsaraan atau kecelakaan pada orang yang mengerjakannya. Misalnya saja masalah puasa yang nampaknya memberatkan, ternyata agama Islam memberikan keringanan boleh dihutang dan boleh dibayar pada waktu yang lain, dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
 Karena bepergian jauh dengan jarak tempuh minimal 98 km; bepergian tersebut bukan untuk maksiat; berangkat dari rumah sebelum masuk waktu subuh, atau sesudah masuk waktu subuh akan tetapi di tengah-tengah perjalanan ternyata benar-benar tidak kuat meneruskan puasa.
 Karena sakit parah yang menurut keterangan dokter ahli yang beragama Islam atau berdasarkan pengalaman seseorang tidak mampu menjalankan ibadah puasa.
 Karena terlalu tua dan sudah pikun (pelupa), boleh tidak berpuasa dengan mengganti membayar fidyah (sedekah) berupa makanan pokok sebanyak 1 (satu) kati untuk setiap hari.
 Karena pekerjaannya sebagai penyelam atau pengambil pasir yang pantatnya terendam dalam air, maka boleh berhutang puasa kalau sekiranya ada waktu lain untuk membayarnya. Dan jika tidak ada waktu lain, maka boleh menggantinya dengan membayar fidyah untuk setiap hari dengan satu kati makanan pokok yang berlaku di daerahnya.
 Karena hamil atau menyusukan anak; maka jika mengkhawatirkan kesehatan anaknya, boleh berhutang puasa dengan membayar puasa di hari lain dan membayar fidyah satu kati bahan makanan pokok. Dan jika karena memang dirinya sendiri yang tidak kuat, maka hanya berkewajiban membayar puasa di hari lain saja.
Disamping itu agama Islam melarang seseorang berpuasa dua hari atau lebih berturut-turut tanpa berbuka puasa, karena hal itu termasuk menyengsarakan diri yang dilarang oleh Islam.
Dalam Al Qur'an surat Thaha (S.20) ayat 1 - 6 Allah swt. berfirman:
بـســــم الله الرحمن الرحيم. طه. مَا أَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى. اِلاَّ تَذْكِرَةً لِمَنْ يَخْشَى . تَنْزِيْلاً مِمَّنْ خَلَقَ الأَرْضَ وَالسَّموَاتِ الْعُلَى.اَلرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشَ اسْتَوَى. لَهُ مَا فِى السَّموَاتِ وَمَا فِى الأَرْضَ وَ‍ مَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ الثَّرَى .
"Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Thaahaa (salah satu nama dari nama-nama Nabi Besar Muhammad saw.). Kami tidak menurunkan Al Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi susah (celaka), tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah), yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi. Yaitu Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di 'Arsy. Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang ada di antara keduanya dan semua yang dibawah tanah ".
Agama Islam itu stabil dan berkembang
Yang dimaksudkan ialah bahwa pokok-pokok ajaran Al Qur'an adalah stabil karena petunjuknya bersifat azali sedang pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan situasi, kondisi dan domisili. Dalam hal ini Yustice Cordoza menyatakan sebagai berikut:
"Kebutuhan terbesar zaman kita sekarang adalah satu falsafah yang dapat menengahi antara tuntutan-tuntutan yang saling bertentangan mengenai stabilitas dan kemajuan serta memenuhi prinsip perkembangan. Dan ternyata agama Islam dapat memberikan satu ideologi yang memuaskan tuntutan-tuntutan stabilitas dan perkembangan dan perubahan sekaligus."
Agama Islam itu tidak mengenal perubahan
Maksudnya ialah bahwa ajaran-ajaran agama Islam terpelihara dari perubahan. Buktinya ialah telah 14 abad lebih kitab suci Al Qur'an tetap terpelihara keasliannya.
Prof. Reynold A. Nicholson dalam bukunya "Literary History of The Arabic" halaman 413 menyatakan:
Al Qur'an adalah suatu dokumen kemanusiaan yang luar biasa, menerangkan setiap fase hubungan Muhammad dengan segala kejadian yang dihadapinya selama hidupnya, sehingga kita mendapat bahan yang unik dan tahan uji keasliannya, sehingga kita dapat mengikuti perkem-bangan Islam sejak permulaannya sampai sekarang. Semua itu tidak ada bandingannya dalam agama Budha atau Kristen, maupun dalam agama-agama lainnya.
Pembuat makalah:
KH. Drs. Achmad Masduqi Machfudh
Malang, 11 November 1994
Sejarah upacara tahlil di Indonesia
Indeks > Artikel > Tahlil
Sebelum agama Hindu, Budha dan Islam masuk ke Indonesia, kepercayaan yang dianut oleh bangsa Indonesia antara lain adalah paham animisme. Menurut paham ini, ruh dari orang-orang yang sudah mati itu sangat menentukan bagi kebahagiaan dan kecelakaan orang-orang yang masih hidup di dunia ini. Disamping itu, bangsa-bangsa yang menganut paham animisme ini juga berkeyakinan bahwa ruh dari orang yang sedang mengalami kematian itu tidak senang untuk meninggalkan alam dunia ini sendirian tanpa teman, dan ingin mengajak anggota keluarganya yang lain.
Untuk itu, agar anggota keluarga yang mati itu tidak mengajak anggota keluarga yang lain, maka anggota keluarga yang ditinggal mati itu melakukan hal-hal yang antara lain sebagai berikut:
 Menyembelih binatang ternak seperti: kerbau, sapi, kambing, babi, atau ayam milik si mayit, agar nyawa dari binatang tersebut menemani ruh si mayit agar tidak me-ngajak anggota keluarganya yang masih hidup; dan memberikan atau menyediakan sesaji di tempat tertentu untuk ruh si mayit, agar ruh si mayit itu tidak marah kepada anggota keluarganya.
 Setelah tiga hari dari kematian, yaitu saat mayit yang sudah di tanam dalam kubur mulai membengkak, di tempat tidur orang yang mati bagi orang Jawa dan di atas buffet yang telah dipasang foto dari orang yang mati bagi orang Cina, diberikan se-saji agar ruh dari orang yang mati tidak marah. Demikian pula pada hari ketujuh, ke empat puluh, keseratus, satu tahun, dua tahun dan keseribu dari hari kematiannya.
 Bagi orang Cina, anggota keluarga yang mati itu diinapkan di rumah duka beberapa hari lamanya, dan selama itu papan nama dari rumahnya disilang dengan kertas hitam atau lainnya untuk mengenalkan kepada ruh si mayit bahwa rumahnya adalah yang papan namanya diberi silang. Dan setelah mayit dikubur, maka tanda silang tersebut di buang, dengan maksud agar apabila ruh si mayit tersebut pulang ke rumahnya, ruh itu tersesat tidak dapat masuk ke dalam rumahnya, sehingga tidak dapat mengganggu anggota keluarganya.
 Bagi orang Jawa ada yang menyebarkan beras kuning dan uang logam di depan mayit sewaktu mayit di bawa ke pekuburan dengan maksud untuk memberitahukan kepada si mayit bahwa jalannya dari rumah sampai ke pekuburan adalah yang ada beras kuning dan uang logamnya. Sehingga jika ruh si mayit ingin pulang ke rumah untuk mengganggu anggota keluarganya dia tersesat, sebab beras kuning dan uang logam di jalan yang dilaluinya sudah tidak ada lagi karena beras kuningnya sudah dimakan oleh ayam atau burung, sedang uangnya sudah diambil oleh anak-anak. Ada pula yang mengeluarkan jenazah dari rumah tidak boleh melalui pintu rumah, tetapi harus dibobolkan pagar rumah yang segera ditutup kembali setelah jenazah dibawa ke kubur dan lainnya lagi dengan maksud agar ruh si mayit itu tidak dapat kembali lagi ke rumahnya.
Pada waktu agama Hindu dan agama Budha masuk di Indonesia, kedua agama ini tidak dapat merubah tradisi yang telah dilakukan oleh bangsa Indonesia yang berpaham animisme tersebut, sehingga tradisi tersebut berlangsung terus sampai saat agama Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para penganjur Islam yang kemudian terkenal dengan nama Wali Songo.
Pada saat Wali Songo datang, tradisi bangsa Indonesia yang telah berurat berakar selama ratusan dan bahkan mungkin ribuan tahun lamanya, tidak diberantas, tetapi hanya diarahkan dan dibimbing sedemikian rupa, sehingga tidak bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam.
Disusun oleh:
Drs. KH. Achmad Masduqi
Teologi Politik: Konsep Negara dalam al-Qur'an
Indeks > Artikel > Teologi Politik Konsep Negara Dalam Quran
Indeks
1. Abstrak
2. Pendahuluan
3. Embrio Pemikiran Politik Islam
4. Konsep Negara dalam al-Qur'ân
5. Penutup
6. Buku Bacaan
Abstrak
Masalah negara merupakan urusan duniawi yang bersifat umum, karena itu ia termasuk wilayah ijtihad umat Islam. Mereka harus berusaha untuk menjadikan al-Qur'ân sebagai sistem yang konkrit supaya dapat diterjemahkan dalam pemerintahan sepanjang zaman. Dalam rangka menyusun teori politik mengenai konsep negara yang ditekankan bukanlah struktur "negara Islam", melainkan substruktur dan tujuannya. Struktur negara termasuk wilayah ijtihad kaum muslimin sehingga bisa berubah. Sementara substruktur dan tujuannya tetap menyangkut prinsip-prinsip bernegara secara Islami. Namun penting untuk dicatat, bahwa al-Qur'ân mengandung nilai-nilai dan ajaran yang bersifat etis mengenai aktifitas sosial-politik umat manusia. Ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang keadilan, persamaan, persaudaraan, musyawarah, dan lain-lain. Untuk itu, sepanjang negara berpegang kepada prinsip-prinsip tersebut maka pembentukan "negara Islam" dalam pengertian yang formal dan ideologis bukanlah kebutuhan yang urgen.
Pendahuluan
Kesimpulan yang terlalu gegabah jika Islam (al-Qur'ân) dikatakan agama yang hanya mengatur persoalan ritual semata. Islam adalah agama universal, agama yang membawa misi rahmatan lil âlamîn. Islam juga memberikan konsep kepada manusia mengenai persoalan yang terkait dengan urusan duniawi, seperti, bagaimana mengatur sistem perekonomian, penegakan hukum, konsep politik, dan sebagainya. Salah satu bukti tercatat dalam sejarah, ketika Nabi hijrah ke kota Madinah beliau mampu menyatukan masyarakat yang majemuk, terdiri dari berbagai agama dan peradaban yang berbeda dalam satu tatanan masyarakat madani. Dan perjanjian yang belliau deklarasikan dengan orang-orang Yahudi adalah satu cermin terbentuknya negara yang berciri demokrasi. Perjanjian itu mengandung kebijaksanaan politik Nabi untuk menciptakan kestabilan bernegara.
Politik yang dimaksud, sebagaimana ungkap Ramlan Surbakti dimaknai sebagai upaya manusia meraih kesempurnaannya atau perjalanan menuju kemaslahatan. Atau, dalam bahasa Aristoteles mengajarkan bagaimana bertindak tepat dan hidup bahagia. Dengan pemahaman ini, politik bernilai luhur, sakral dan tidak bertentangan dengan agama. Setiap manusia yang beragama niscaya berpolitik. Karena itu berpolitik merupakan sesuatu yang inheren dengan kemanusiaan.
Pemikiran politik di kalangan umat Islam, khususnya dalam sistem pergantian kepala negara (khalîfah) mencuat pada saat Nabi saw wafat. Munculnya pemikiran di bidang ini paling awal jika dibandingkan dengan pemikiran dalam bidang teologi dan hukum. Sebab, kebutuhan akan adanya seorang pemimpin untuk meneruskan misi yang dibangun Nabi sangat mendesak dan tidak bisa ditunda. Sehingga tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah sibuk memikirkan penggantinya, dan penguburan Nabi menjadi soal kedua bagi mereka. Dalam makalah ini penulis ingin membaca dan mengkaji kembali konsep negara dalam al-Qur'ân yang diyakini sebagai kitab hudan (petunjuk) dan menaburkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia.
Embrio Pemikiran Politik Islam
Pemikiran di bidang politik sebagai cikal bakal diskursus konsep negara baru muncul pada periode dinasti 'Abbasiyah. Karya-karya intelektual muslim (Sunni) sebelumnya lebih terfokus pada persoalan fiqh, kalam, dan hadis. Hal ini terjadi karena meskipun faktor yang menyebabkan munculnya kelompok-kelompok atau aliran-aliran dalam Islam adalah persoalan politik, tetapi wacana intelektual yang mengemuka lebih awal adalah masalah teologi yang kemudian diikuti masalah hukum. Ada dua faktor yang menyebabkan terabaikannya disiplin ilmu politik pada periode ini.
 Pertama, meskipun paham-paham Islam lahir dari sebuah pergolakan politik, implikasi dari lahirnya kelompok politik yang ada adalah munculnya persoalan teologis. Karena persoalan ini membutuhkan pemecahan yang serius pada saat itu.
 Kedua, hubungan intelektual dunia Islam dengan dunia luar, khususnya peradaban Yunani belum berjalan secara intens.
Namun tidak bisa disangkal walaupun diskursus konsep negara baru muncul pada periode dinasti 'Abbasiyah tetapi ketegangan dan benturan internal mengenai pengganti kedudukan Nabi sebagai pemimpin merupakan awal sumber konflik berbias politik di kalangan umat Islam. Dalam pertemuan yang berlangsung di Saqîfah Banî Sa'âdah muncul tiga ide politik, yaitu:
Kembali ke Sistem Kabilah
Setiap kabilah mengangkat pemimpin mereka sendiri. Ide ini muncul dari kalangan Banî Khazraj dan kaum separatis (riddah).
Sistem Hak Warisan
Ide ini lahir dari kalangan Banî Hâsyim berdasarkan pemikiran dan kebiasaan orang Arab selatan. Tokoh terkemuka pendukukng ide ini ialah al-Abbâs, 'Alî, dan Zubair.
Ide Persatuan Melalui Permusyawaratan
Ide ini didukung kaum muhajirin, kecuali Banî Hâsyim. Ide ini selain sesuai dengan perintah al-Qur'ân agar umat Islam tidak terpecah belah dan selalu bermusyawarah atas asas persatuan yang berkeadilan dalam memecahkan setiap persoalan.
Sebenarnya pemikiran politik Islam sejak awal sampai dengan masa Ibn Taimiyah merupakan produk teori yang lahir dari kelompok dalam tubuh umat Islam, dan secara umum merupakan tanggapan pada suasana sejarah yang spesifik. Dua dari kelompok tersebut adalah Khawârij dan Syi'ah, mereka mengajukan pandangannya tentang ciri-ciri pemerintahan Islam pada awal sejarah negara Islam dengan menghasilkan teori imâmah bagi Syi'ah yang bersifat mistis, dan kecendrungan berpikir revolusioner bagi Khawârij. Kelompok yang ketiga hadir adalah Sunni yang mengedepankan teori kekhilafahannya.
Di bawah pemerintahan 'Abbasiyah dunia ilmu pengetahuan mengalami masa keemasan, khususnya dalam dua ratus tahun pertama dari lima ratus tahun keemasan dinasti itu. Berkat kelonggaran dan bahkan dukungan dari para penguasa waktu itu di mana kegiatan para ilmuwan dari berbagai disiplin amat melonjak. Dengan demikian, perkenalan para ilmuwan Islam dengan alam pikiran Yunani makin meluas dan mendalam. Proses ini pada gilirannya menimbulkan masalah kenegaraan secara rasional dan kemudian lahirlah sejumlah pemikir Islam beserta gagasannya. Misalnya, Syihâb al-Dîn Ahmad Ibn Abî Râbi' kemudian disusul al-Farabi, al-Mâwardi, al-Ghazali, Ibn Taimiyah yang hidup setelah runtuhnya kekuasaan 'Abbasiyah di Baghdad, dan Ibn Khaldûn yang hidup pada abad XIV M. Mereka itu dapat dianggap sebagai eksponen yang mewakili pemikiran politik umat Islam pada zaman pertengahan.
Munawir Sjadzali berpendapat, terdapat dua ciri umum mengenai gagasan politik dari enam pemikir di atas.
 Pertama, pada pendapat mereka tampak jelas adanya pengaruh alam pikiran Yunani, terutama pandangan Plato meskipun kadar pengaruh itu tidak sama antara satu pemikir dengan pemikir yang lain.
 Kedua, selain al-Farabi, mereka mendasarkan pemikirannya atas penerimaan terhadap sistem kekuasaan yang ada pada zaman mereka masing-masing.
Jatuhnya Baghdad pada pertengahan abad XIII M yang menandai tamatnya dinasti 'Abbasiyah yang disebabkan faktor-faktor internal, yang kemudian disusul munculnya problem baru dari luar maka muncullah gerakan pembaharuan atau mungkin lebih tepat pemurnian kembali ajaran Islam dengan pengertian dasar dan sasaran yang tidak selalu sama antara satu gerakan dengan gerakan yang lain.
Juga dalam pandangan Munawir terdapat tiga hal yang melatarbelakangi pemikiran politik Islam kontemporer yang muncul setelah jatuhnya Baghdad atau pada waktu menjelang akhir abad XIX M.
 Pertama, kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang disebabkan faktor-faktor internal yang berakibat munculnya gerakan pembaharuan dan pemurnian.
 Kedua, rongrongan Barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam yang berakhir dengan dominasi atau penjajahan negara Barat atas sebagian besar wilayah dunia Islam, dengan akibat rusaknya hubungan yang selama ini baik antara dunia Islam dan Barat, dan berkembangnya di kalangan umat Islam semangat permusuhan dan sikap anti Barat.
 Ketiga, keunggulan Barat dalam bidang ilmu, teknologi, dan organisasi.
Para pemikir politik Islam pada periode pembaharuan (purifikasi) ini dapat dikategorikan dalam tiga varian besar, yaitu:
Kelompok Konservatif
Ciri yang menonjol dari kelompok ini adalah adanya aksioma ideologis yang dibangun berdasarkan ajaran Islam bahwa, Islam adalah agama yang sempurna, lengkap, komprehensip, dan berlaku universal untuk seluruh umat manusia di semua tempat dan waktu. Tokoh kelompok ini, Sayyid Quthb, Hasan al-Bannâ, Hasan al-Turabî, dan Abul A'lâ al-Maududî.
Kelompok Modernis
Kelompok ini mengajukan upaya reformasi dalam rangka menemukan kembali rasionalisme, saintisme, dan progesivisme dalam Islam. Tokoh kelompok ini, Jamaluddîn al-Afghanî dan Muhammad 'Abduh.
Kelompok Liberal
Kelompok ini pada intinya ingin melihat perubahan radikal-fundamental dalam pola berpikir umat Islam yang dianggap stagnan dengan mengedepankan semangat dekonstruksi pemikiran Islam yang telah mapan. Tokoh kelompok ini adalah 'Ali 'Abd al-Râziq dan Thahâ Husein.
Konsep Negara dalam al-Qur'ân
Para pemikir politik Islam abad pertengahan banyak mengadopsi pikiran Plato dan Aristoteles mengenai konsep terbentuknya negara. Mereka berangkat dari asumsi dasar bahwa manusia adalah makhluk sosial. Seperti dikatakan al-Ghazalî, manusia itu tidak dapat hidup sendirian yang disebabkan oleh dua hal.
 Pertama, kebutuhan akan keturunan demi kelangsungan hidup umat manusia, hal itu hanya mungkin melalui pergaulan antara laki-laki dan perempuan serta keluarga.
 Kedua, saling membantu dalam penyediaan bahan makanan, pakaian, dan pendidikan anak.
Kebutuhan akan kerja sama untuk mengadakan segala yang diperlukan bersama akan berakibat timbulnya semacam pembagian tugas di antara anggota masyarakat, kemudian lahirlah kelompok petani, pekerja, dan sebagainya. Semua faktor ini memerlukan kerja sama yang baik antar sesamanya. Untuk itu diperlukan tempat tertentu, dan dari sinilah lahir suatu negara.
Dalam pandangan Ibn Taimiyah negara dan agama saling berkelindan, tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa agama berada dalam bahaya. Tanpa disiplin hukum wahyu, negara pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik. Juga dengan Ibn Khaldûn, organisasi kemasyarakatan suatu kemestian bagi manusia. Tanpa itu eksistensi mereka tidak akan sempurna, sebagaimana kehendak Allah menjadikan mereka sebagai khalîfah-Nya untuk memakmurkan bumi.
Dalam dunia Islam, ungkap Din Syamsuddin, secara umum kita menemukan tiga bentuk paradigma tentang hubungan agama dan negara.
Paradigma pertama memecahkan masalah dikotomi dengan mengajukan konsep bersatunya agama dan negara. Agama dan negara dalam hal ini tidak dapat dipisahkan. Wilayah agama juga meliputi politik atau negara, karenanya menurut paradigma ini negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus.
Paradigma ini dianut kelompok Syi'ah, di mana pemikiran politiknya memandang bahwa negara (imâmah atau kepemimpinan) adalah lembaga keagamaan dan mempunyai fungsi kenabian. Dalam pandangannya, legitimasi keagamaan berasal dari Tuhan dan diturunkan lewat garis keturunan Nabi. Legitimasi politik harus berdasarkan legitimasi keagamaan, dan hal ini hanya dimiliki para keturunan Nabi SAW.
Berbeda dengan pemikiran politik Sunni, kelompok ini menekankan ijma' (konsesus) dan bai'ah (penbaiatan) kepada kepala negara. Sementara Syi'ah menekankan wilâyah (kecintaan dan pengabdian kepada Tuhan) dan ishmah (kesucian dari dosa) yang hanya dimiliki para keturunan Nabi yang berhak dan absah untuk menjadi kepala negara (imâm). Sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan dan mempunyai fungsi menyelenggarakan "kedaulatan Tuhan" dalam perspektif syi'ah, negara bersifat teokrasi.
Menurut salah seorang kelompok ini, al-Maududî (w. 1979 M), syari'at tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik (negara). Syari'at adalah skema kehidupan yang sempurna dan meliputi seluruh tatanan kemasyarakatan, tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang. Namun dia menolak istilah teokrasi, dan memilih istilah teodemokrasi, karena konsepsinya memang mengandung unsur demokrasi, yaitu adanya peluang bagi rakyat untuk memilih pemimpin negara.
Paradigma kedua memandang agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan erat secara timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral.
Al-Mâwardî (w. 1058 M) menegaskan bahwa kepemimpinan negara merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia. Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda, namun berhubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian.
Seorang pemikir lain yang juga dapat disebut sebagai pembawa pandangan simbiosa agama dan negara adalah al-Ghazalî (w. 1111 M). Konsep far'i izâdî yang menjadi dasar simbiosa agama dan negara dalam pemikirannya mempunyai akar sejarah pada pemikiran pra-Islam Iran. Konsep ini mengandung arti kualitas tertentu yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin atau kepala negara, seperti pengetahuan, keadilan, dan kearifan. Kualitas demikian diyakini bersumber pada Tuhan dan bersifat titisan.
Peradigma ketiga bersifat sekuralistik. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun simbiotik antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekuralistik menolak pendasaran agama pada negara, atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu pada negara.
Pada tahun 1925 'Ali Abdur Raziq menerbitkan risalah yang berjudul al-Islâm Wa ushûl al-Hukm, dikatakan bahwa Islam (al-Qur'ân) tidak mempunyai kaitan apapun dengan sistem pemerintahan kekhalifahan, termasuk dengan khulafâur râsyidîn bahwa aktivitas mereka bukan sebuah sistem politik keagamaan, tetapi sebuah sistem duniawi. Islam tidak menetapkan rezim pemerintahan tertentu, tidak pula mendesak kepada kaum muslimin tentang sistem pemerintahan tertentu lewat mana mereka harus diperintah, tetapi Islam telah memberikan kebebasan mutlak untuk mengorganisasi negara sesuai dengan kondisi intelektual, sosial, dan ekonomi serta mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan zaman. Bahkan ia menolak keras pendapat yang mengatakan bahwa Nabi pernah mendirikan suatu negara di Madinah. Menurutnya, Nabi adalah utusan Allah, bukan seorang kepala negara atau pemimpin politik.
Dari pandangannya dapat disimpulkan, masyarakat Islam bukanlah masyarakat politik. Akan tetapi selalu ada peluang bagi masyarakat untuk mewujudkan bentuk pemerintahan Islam yang sesuai dengan konteks budaya. Ia sebenarnya tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam tidak menganjurkan pembentukan suatu negara. Sebaliknya, Islam memandang penting kekuasaan politik. Tetapi hal ini tidak berarti pembentukan negara merupakan salah satu ajaran dasar Islam. Dengan lain ungkapan, kekuasaan politik diperlukan umat Islam, tetapi bukan karena tuntutan agama, melainkan tuntutan situasi sosial dan politik itu sendiri.
Dalam perspektif teologis dan historis untuk membuktikan bahwa tindakan politik Nabi seperti, melakukan perang, mengumpulkan jizyah (pajak), dan bahkan jihad tidak berhubungan dan tidak merefleksikan fungsinya sebagai utusan Tuhan. Persoalan negara adalah persoalan duniawi yang telah diserahkan Tuhan kepada akal manusia untuk mengaturnya sesuai dengan arah kecendrungan akal dan pengetahuannya.
Beberapa kalangan pemikir muslim berpendapat bahwa Islam tidak meletakkan suatu pola baku tentang teori negara yang harus dijalankan umat. Seorang pemikir muslim Mesir, Muhammad 'Imarah, sebagaimana dikutip Bahtiar Effendy mengatakan, Islam sebagai agama tidak menentukan suatu sistem pemerintahan tertentu bagi kaum muslim, karena logika tentang kesesuaian agama ini untuk sepanjang masa dan tempat menuntut agar permasalahan yang selalu berubah secara evolusi diserahkan kepada akal pikiran manusia menurut kepentingan umum yang telah digariskan agama.
Pendapat di atas ada kemiripan dengan 'Abduh, menurut 'Abduh Islam tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan. Jika sistem khalîfah masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan maka bentuk demikianpun harus mengikuti perkembangan masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebasan berpikir. Ini mengandung makna, 'Abduh menghendaki suatu pemerintahan yang dinamis. Dengan demikian ia mampu mengantisipasi perkembangan zaman.
Menurut aliran pemikiran ini, istilah "daulah" yang berarti negara tidak ditemukan dalam al-Qur'ân. Meskipun terdapat berbagai ungkapan yang merujuk kepada kekuasaan politik dan otoritas, akan tetapi ungkapan tersebut hanya bersifat insidental dan tidak ada pengaruhnya terhadap mekanisme teori politik atau model tertentu dari sebuah negara.
Secara umum, polarisasi kecenderungan para pemikir politik Islam dalam memandang konsep negara dapat dikelompokkan kepada:
1. Skripturalistik dan rasionalistik
Kecenderungan skripturalistik menampilkan pemahaman yang bersifat tekstual dan literal, yaitu penafsiran terhadap al-Qur'ân dan Hadis yang mengandalkan pengertian bahasa. Sedangkan kecenderungan rasionalistik menampilkan penafsiran yang rasional dan kontekstual.
2. Idealistik dan realistik
Pendekatan pertama cenderung melakukan idealisasi terhadap sistem pemerintahan dengan menawarkan nilai-nilai Islam yang ideal. Kaum idealis cenderung menolak format kenegaraan yang ada, sementara kaum realis cenderung untuk menerimanya, karena orientasi mereka yang bersifat realistik terhadap kenyataan politik.
3. Formalistik dan substantivistik
Pendekatan formalistik cenderung mementingkan bentuk dari pada isi, yang pada gilirannya menampilkan konsep negara dan simbolisasi keagamaan. Sebaliknya, pendekatan substantivistik cenderung menekankan isi dari pada bentuk. Kelompok ini tidak mempersoalkan bagaimana bentuk dan format sebuah negara, tetapi lebih memusatkan perhatian pada bagaimana mengisinya dengan etika dan moralitas agama.
Sebenarnya masalah politik atau pengaturan negara termasuk urusan duniawi yang bersifat umum. Panduan al-Qur'ân juga sunnah bersifat umum. Karena itu, permasalahan politik termasuk wilayah ijtihad umat Islam. Tugas cendekiawan muslim adalah berusaha secara terus menerus untuk menjadikan al-Qur'ân sebagai sistem yang konkrit supaya dapat diterjemahkan dalam pemerintahan sepanjang zaman. Inilah yang dilakukan empat khalîfah sesudah Nabi, sehingga walaupun mereka berada dalam rangka pengamalan ajaran Islam, pengorganisasian pemerintahnya berbeda antara satu dengan lainnya.
Dalam rangka menyusun teori politik Islam mengenai konsep negara yang ditekankan bukanlah struktur "negara Islam", melainkan substruktur dan tujuannya. Sebab struktur negara akan berbeda di satu tempat dan tempat lainnya. Ia termasuk wilayah ijtihad kaum muslimin sehingga bisa berubah. Sementara substruktur dan tujuannya tetap menyangkut prinsip-prinsip bernegara secara Islami.
Namun penting untuk dicatat, bahwa al-Qur'ân mengandung nilai-nilai dan ajaran yang bersifat etis mengenai aktifitas sosial politik umat manusia. Ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang keadilan, persamaan, persaudaraan, musyawarah, dan lain-lain. Untuk itu sepanjang negara berpegang kepada prinsip-prinsip tersebut maka pembentukan "negara Islam" dalam pengertian yang formal dan ideologis tidaklah begitu penting.
Ada beberapa ayat al-Qur'ân yang menggambarkan prinsip-prinsip di atas, atau secara implisit menampilkan sebagai ciri negara demokrasi di antaranya adalah:
1. Keadilan (QS. 5:8)
Berlaku adillah kalian karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.
2. Musyawarah (QS. 42:38)
Sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka.
3. Menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran (QS. 3:110)
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan berimanlah kepada Allah.
4. Perdamaian dan persaudaraan (QS. 49:10)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqkwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.
5. Keamanan (QS. 2:126)
Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo'a, Ya Tuhanku jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa.
6. Persamaan (QS. 16:97 dan 40:40)
Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (QS. 16:97).
Penulis berkeyakinan, apabila prinsip-prinsip di atas benar-benar ditegakkan dalam sebuah negara, tanpa melihat simbol atau bentuk legal-formal negara itu sendiri maka apa yang Allah telah lukiskan dalam al-Qur'ân surat Saba' ayat 15 akan dapat dirasakan. Firman Allah tersebut:
Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): Makanlah olehmu rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun (QS. 34:15).
Apa yang dikatakan Ibn Taimiyah, negara sebagai sesuatu yang perlu untuk menegakkan suruhan agama, tetapi eksistensinya adalah sebagai alat belaka dan bukan lembaga keagamaan itu sendiri. Jadi, kalau negara adalah alat yang perlu untuk menegakkan agama, maka manusia tentu tidak akan menggunakan alat yang sama dari suatu masa ke masa yang lain. Suatu alat dalam makna yang lazim dipahami mungkin akan lebih canggih berbanding dengan alat yang lain yang dipergunakan di masa silam meskipun keduanya dipergunakan untuk mencapai maksud yang sama. Tuhan akan melanggengkan suatu negara yang menjaga prinsip keadilan, walaupun negara tersebut secara formal bukan negara Islam. Tetapi sebaliknya, Tuhan akan menghancurkan apabila nilai-nilai tersebut dikesampingkan.
Penutup
Al-Qur'ân maupun sunnah tidak memiliki preferensi terhadap sistem politik yang mapan untuk menetukan bentuk legal-formal negara yang ideal. Islam hanya memiliki seperangkat nilai etis yang dapat dijadikan rujukan dalam penyelenggaraan negara yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Persoalan politik (negara) lebih merupakan urusan kreatifitas manusia, atau kerangka wilayah fiqh yang perlu dilakukan ijtihad. Sebagai wilayah fiqh maka setiap rumusan dan interpretasi yang dihasilkan tentu berbeda, karena paradigma yang digunakan pun juga berbeda.
Sepanjang negara berpegang kepada nilai-nilai yang ada dalam al-Qur'ân maka pembentukan "negara Islam" dalam pengertian yang formal dan ideologis tidaklah begitu penting. Yang penting adalah substansinya, artinya nilai-nilai al-Qur'ân seperti, musyawarah (syûrâ), keadilan ('adâlah), persamaan (musâwah), hak-hak asasi manusia (huqûq al-adamî), perdamaian (shalâh), keamanan (aman) dan lain-lain bisa direalisasikan dalam konteks bernegara. Sehingga pada akhirnya baldatun toyyibatun wa robbun ghafur bukan hanya sekedar ide dan cita-cita, tetapi sebuah realita yang bisa dirasakan.
Buku Bacaan
'Imârah, Muhammad,
al-Islâm Wa Ushûl al-Hukm Lî 'Ali 'Abdur Râziq (beirut: Dâr al-Fikr, 1972)
Al-Qur'an al-Karim,
terj. Departemen Agama, RI, 2000
Effendy, Bahtiar,
Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998)
Jindan, Khalid Ibrahim,
Teori Politik Islam Telaah Kritis Ibn Taimiyah Tentang Pemerintahan Islam, ter. Masrohin (Surabaya: Risalah Gusti, 1995)
Khan, Qamaruddin,
Political Concepts in the Qur'an (Lahore: Islamic Book Foundation, 1982)
______________,
Pemikiran politik Ibn Taimiyah, terj. Anas Mahyudin (Bandung: Pustaka, 1995)
Madjid, Nurcholis,
Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan kemodernan (Jakarta: Paramadina, 1992)
Mahendra, Yusril Ihza,
"Islamika Jurnal Dialog Pemikiran Islam" (kerja sama Mizan dan Missi, Januari-Maret 1994), No. 3.
Masdar, Umaruddin,
Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
Nasution, Harun,
Teologi Islam, Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986)
Pulungan, J. Suyuthi,
Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995)
Rahman, Fazlur,
Islam (New Tork: The Chicago University Press, 1966)
Shiddiqi, Nourouzzaman,
Jeram-Jeram Peradaban Muslim (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996)
Sjadzali, Munawir,
Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1991)
Surbakti, Ramlan,
Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Grafindo, 1992), 2.
Syamsuddin, M. Din,
"Usaha Pencarian konsep Negara dalam sejarah Pemikiran Politik Islam", ed. Abu Zahra dalam Politik Demi Tuhan (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999)
Thaba, Abdul Azîz,
Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insani Press, 1996)
Penulis:
Akhmad Muzakki
Rois Qismut Tarbiyah wat Ta'lim Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Nurul Huda Mergosono-Malang, sekarang sedang menimba ilmu pada PPs (S3) IAIN Sunan Ampel Surabaya.


KH. Masduqi Machfudz: Berdirilah di barisan Ulama
Indeks > Artikel > Nasihat Kyai > Amm 14apr09
Bila dulu kita sering mendengar puji-pujian sebelum sholat atau sekarang sudah dilagukan yang berjudul Tombo Ati, (Obat Hati) yang lima, agar kita mendapat obat hati, haruslah berusaha berkumpul dengan orang-orang shaleh.
Perintah dari puji-pujian yang merupakan terjemahan dari pernyataan Sheikh Ibrahim al Khowas tersebut, merupakan perwujudan dari firman Allah dalam surat al Zumar ayat 71-74 yang menceritakan bahwa di hari akhir nanti masing-masing dari kita akan dimasukkan surga atau neraka sesuai dengan golongan-golongan yang disukainya
وَسِيقَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ إِلَىٰ جَهَنَّمَ زُمَرًا ۖ حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءُوهَا فُتِحَتْ أَبْوَٟبُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَآ أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌۭ مِّنكُمْ يَتْلُونَ عَلَيْكُمْ ءَايَٟتِ رَبِّكُمْ وَيُنذِرُونَكُمْ لِقَآءَ يَوْمِكُمْ هَٟذَا ۚ قَالُوا۟ بَلَىٰ وَلَٟكِنْ حَقَّتْ كَلِمَةُ ٱلْعَذَابِ عَلَى ٱلْكَٟفِرِينَ ﴿٧١﴾ قِيلَ ٱدْخُلُوٓا۟ أَبْوَٟبَ جَهَنَّمَ خَٟلِدِينَ فِيهَا ۖ فَبِئْسَ مَثْوَى ٱلْمُتَكَبِّرِينَ ﴿٧٢﴾
71. Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahannam berombong-rombongan. sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: "Apakah belum pernah datang kepadamu Rasul-rasul di antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu akan Pertemuan dengan hari ini?" mereka menjawab: "Benar (telah datang)". tetapi telah pasti Berlaku ketetapan azab terhadap orang-orang yang kafir.
72. Dikatakan (kepada mereka): "Masukilah pintu-pintu neraka Jahannam itu, sedang kamu kekal di dalamnya" Maka neraka Jahannam Itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri.
وَسِيقَ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوْا۟ رَبَّهُمْ إِلَى ٱلْجَنَّةِ زُمَرًا ۖ حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءُوهَا وَفُتِحَتْ أَبْوَٟبُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا سَلَٟمٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَٱدْخُلُوهَا خَٟلِدِينَ ﴿٧٣﴾ وَقَالُوا۟ ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِى صَدَقَنَا وَعْدَهُۥ وَأَوْرَثَنَا ٱلْأَرْضَ نَتَبَوَّأُ مِنَ ٱلْجَنَّةِ حَيْثُ نَشَآءُ ۖ فَنِعْمَ أَجْرُ ٱلْعَٟمِلِينَ ﴿٧٤﴾
73. Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam syurga berombong-rombongan (pula). sehingga apabila mereka sampai ke syurga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: "Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu. Berbahagialah kamu! Maka masukilah syurga ini, sedang kamu kekal di dalamnya".
74. Dan mereka mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada Kami dan telah (memberi) kepada Kami tempat ini sedang Kami (diperkenankan) menempati tempat dalam syurga di mana saja yang Kami kehendaki; Maka syurga Itulah Sebaik-baik Balasan bagi orang-orang yang beramal".
Menegaskan ayat di atas, Tafsir Ibn Arabi menyitir Hadits Rasulullah:
المرء يحشر مع من أحبّ
Seseorang akan dikumpulkan beserta orang-orang yang dicintainya.
Apapun status kita di hadapan Allah, upaya kita untuk berusaha berkumpul dan mencintai orang-orang shaleh dan para ulama, akan menjadi doa di hadapan Allah agar kita di hari pembalasan nanti dikumpulkan dengan orang-orang yang kita cintai para ulama salaf shalih meskipun amal ibadah kita tidak sebanding dengan mereka. Karena itu kami menyeru kepada semua ummat muslim untuk berdiri di barisan para ulama shalihin yang senantiasa ikhlas berdakwah di jalan Allah.
KH. Masduqi Machfudh: Orang Bodoh Gampang Dirayu Syetan
Indeks > Artikel > Nasihat Kyai > Amm 19jun08
Manusia memiliki musuh bebuyutan yang namanya syetan. Ketika syetan diusir dari neraka mereka sudah memproklamirkan diri akan ajak-ajak manusia agar mengikutinya ke jalan neraka. Seyogyanya, seorang hamba bersungguh-sungguh menolak bisikan dan godaan syetan di dalam dirinya. Karena Allah SWT sudah mengingatkan melalui firmanNya:

Innassyaithoona lakum ‘aduwwun, fattakhidzuuhu ‘aduwwan
Sesungguhnya syetan adalah musuh bagi kalian maka jadikanlah syetan itu sebagai musuh.
Ingatlah, bahwa syetan akan terus menerus mencari teman ke neraka. Syetan menggoda manusia melalui kemaksiatan yang dihiasi dengan berbagi kesenangan dan kenikmatan yang bisa menjerumuskan kebanyakan manusia. Oleh karena itu kita harus mengerti dan jangan jadi orang-orang yang bodoh. Sebab orang bodoh gampang dikibuli syetan.
Tanda-tanda orang bodoh itu ada empat.
Pertama, suka marah-marah yang tidak jelas sebabnya.
Kedua, suka nuruti kemauan nafsu yang bathil.
Ketiga, menafkahkan hartanya dengan cara yang tidak dibenarkan syara', suka menghambur-hamburkan harta yang tidak jelas manfaatnya, apalagi digunakan untuk maksiat.
Keempat, tidak sadar kalau musuh yang sebenarnya adalah syetan.
Oleh karena itu hendaknya kita sebagai orang yang berakal menyadari dengan benar bahwa syetan itu musuh kita. Mari kita mengikuti kebenaran dan jangan mengikuti musuh kita. Tengoklah hati kita. Bukankah ternyata lebih sering mengikuti bisikan dan perintah syetan daripada mengikuti perintah Allah?
Sebagian ahli hikmah mengatakan:
"ketahuilah bahwa syetan itu mendatangi manusia melalui sepuluh pintu".
Kesepuluh pintu yang dimasuki syetan itu adalah:
1. syetan akan masuk melalui pintu suudzon (berburuk sangka)
2. syetan akam masuk melalui pintu panjang angan-angan
3. syetan akan masuk melalui pintu memperoleh nikmat
4. syetan akan masuk melalui pintu ‘ujub (membanggakan diri)
5. syetan akan masuk melalui pintu meremehkan orang lain
6. syetan akan masuk melalui pintu hasud
7. syetan akan masuk melalui pintu riya' (ingin dipuji orang)
8. syetan akan masuk melalui pintu bakhil (kikir)
9. syetan akan masul melalui pintu sombong
10. syetan akan masuk melalui pintu tamak (serakah).
Kalau syetan berhasil mendekati kita, maka syetan akan berusaha masuk di hati kita. Nah, kalau ia sudah berhasil masuk, maka ia akan bersembunyi di hati kita.
Oleh karena itu jangan biarkan ia bersembunyi. Usirlah dia! Caranya dengan memperbanyak dzikir (ingat) kepada Allah SWT.
Sebab, kalau hati kita sudah dikuasai syetan maka ia telah berhasil menjadikan kita temannya. Berarti kita telah menjadikan syetan sebagai pemimpin bagi hati kita. Na'udzubillah.
Ingatlah peringatan Allah dalam Al Qur'an:
"Hai anak adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syetan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu (Nabi Adam dan Ibu Hawa) dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihatmu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syetan-syetan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman" (QS. Al A'raaf:27)
Mudah-mudahan kita diberi kekuatan oleh Allah untuk melawan godaan syetan.
77 Cabang Iman
Indeks > Artikel > Cabang Iman > 02
Dalam ajaran agama Islam disebutkan bahwa rukun atau sendi iman ada enam sebagaimana tersebut dalam hadits riwayat Imam Muslim. Iman tersebut mempunyai cabang sebanyak 77 (tujuh puluh tujuh). Setiap cabang berupa pekerjaan yang harus dikerjakan oleh setiap orang yang mengaku beriman. Apabila 77 pekerjaan tersebut dilakukan seluruhnya, maka sempurnalah iman seseorang. Apabila ada yang ditinggalkan, maka berarti berkurang ketebalan imannya. Cabang iman sebanyak 77 adalah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh para ahli hadits yang berbunyi:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ شُعْبَةً ، اَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَاَدْنَاهَا اِمَاطَةُ الاَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيْمَانِ رَوَاهُ الْمُحَدِّثُوْنَ
Rasulullah saw bersabda: "Iman itu 77 cabangnya. Yang paling utama dari cabang-cabang tersebut adalah mengucapkan "La ilaha illallah" (tiada Tuhan melainkan Allah) dan cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan dari jalan. Malu (berbuat maksiat) adalah satu cabang dari iman." H.R. Para Ahli Hadits.
Ketujuh puluh tujuh cabang iman tersebut dituturkan dalam bait syair:
اِيْمَانُنَا بِضْعٌ وَعَــيْنٌ شُعْبَـةً * يَسْتَكْمِلَنْهَا اَهْـلُ فَضْلٍ يَعْظُمُ
Iman kita ada 77 cabang, yang para ahli keutamaan benar-benar akan menyempurnakannya, sehingga menjadi orang besar di sisi Allah.

Komentar

Postingan Populer