Materi Pembelajaran MODERNISASI PENDIDIKAN PESANTREN
KEBERADAAN pesantren yang tetap survive sampai sekarang tentu menjadi kebanggaan tersendiri
bagi umat Islam. Di tengah arus globalisasi, individualisme, dan pola hidup materialistik yang kian
mengental, pesantren masih konsisten menyuguhkan kitab kuning dan sistem pendidikan yang oleh
sebagian orang dianggap tradisional. Pengajaran kitab-kitab kuning (klasik) adalah salah satu elemen
dasar dari tradisi pesantren di samping kiai, pondok, masjid, dan santri.
Doktrin-doktrin dalam kitab kuning, yang senantiasa merujuk Al Quran dan Sunah Nabi sebagai
sumber utama, merupakan salah satu roh yang menjiwai kehidupan pesantren. Seluruh sisi kehidupan
pesantren bersifat religius-teosentris, sehingga semua aktivitas pendidikan dipandang sebagai ibadah
an sich kepada Tuhan. Aktivitas belajar, misalnya, bukan hanya diposisikan sebagai media (alat), tetapi
sekaligus sebagai tujuan. Karena itu, proses belajar-mengajar di pesantren sering kali tidak mengalami
dinamika dan tidak memperhitungkan waktu, strategi, dan metode yang lebih kontekstual dengan
perkembangan zaman.
Padahal, seiring pergeseran zaman, santri membutuhkan formalitas-sebutlah seperti ijazah serta
penguasaan bidang keahlian (keterampilan) tertentu-yang dapat mengantarkannya agar mampu
menjalani kehidupan. Di era modern santri tidak cukup hanya berbekal nilai dan norma moral saja,
tetapi perlu pula dilengkapi dengan keahlian dan skills yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja
modern.
Berkaitan dengan hal tersebut, pada dekade terakhir sebagian kaum santri memperlihatkan
kecenderungan untuk mempelajari sains dan teknologi di lembaga-lembaga pendidikan formal di luar
pesantren. Namun, pada saat yang sama mereka juga enggan meninggalkan pesantren sebagai
wahana untuk mendalami agama dan memperteguh nilai-nilai moral. Gejala ini menyiratkan adanya
kegelisahan sebagian kaum santri dalam merespons tuntutan modernisasi yang tak mungkin dielakkan.
Kenyataan di atas seharusnya dapat melecut mereka yang berkompeten dalam pengembangan
pesantren agar melakukan langkah-langkah transformatif, bila pesantren akan dijadikan sebagai
institusi pendidikan yang menjanjikan pada era modern. Kini saatnya bagi pesantren untuk melakukan
reorientasi tata nilai dan tata operasional pendidikannya, agar lebih relevan dengan dinamika
kemodernan, tanpa meninggalkan nilai-nilai tradisional yang telah lama mengakar kuat di pesantren.
uuu
DI antara sekian persoalan dalam sistem pendidikan pesantren, masalah metodologi belajar-mengajar,
visi dan kerangka dasar kurikulum pendidikan sangat penting untuk dikaji ulang dan disempurnakan.
Misalnya, fokus utama metode halaqah sebagai metode bersama antarsantri untuk memahami ajaran
kiai (ustad) dan isi kitab, selama ini masih mengacu pada pertanyaan dari sisi ''apa'' dan guna
''memiliki'' ilmu-ilmu yang diajarkan kepada santri. Dalam praktiknya, metode ini lebih menekankan cara
menghafal tanpa disertai sikap kritis.
Metode halaqah perlu ditingkatkan menjadi forum dialog. Melalui dialog akan berkembang bukan saja
pertanyaan dari segi ''apa'' dan ''memiliki'', tapi juga pertanyaan dan pemahaman tentang ''mengapa''
dan ''bagaimana'' perspektif atau perkembangan ilmu-ilmu tersebut di masa mendatang. Dengan begitu
santri akan memandang ilmu bukan hanya sebagai sesuatu yang harus dimiliki sebagaimana adanya,
tetapi juga memaknainya sebagai sesuatu yang harus dikembangkan, sekaligus sebagai sarana untuk
mengembangkan kepribadian intelektualnya.
Masih berkenaan dengan metode belajar-mengajar, yang tak kalah penting adalah mengenai masa
belajar di pesantren yang relatif panjang. Padahal, prinsip masyarakat modern cenderung
praktis-pragmatis. Prinsip ini tidak hanya berlaku di sektor ekonomi saja, tetapi juga mulai merambah
dunia pendidikan. Masalah ini akan dapat diatasi kalau pesantren mampu melakukan transformasi
terhadap metode belajar-mengajar, kerangka dasar kurikulum, dan visi pendidikannya.
Di banyak pesantren tradisional, pengajaran kitab-kitab kuning berbahasa Arab, baik secara
''bandongan'' dan ''sorogan'', memiliki kelemahan metodologis yang memprihatinkan, karena para
santri tidak dibekali terlebih dahulu dengan keterampilan berbahasa Arab yang memadai. Akibatnya,
santri hanya mampu menguasai kitab yang pernah diajarkan saja, serta lemah dalam mengkaji secara
mandiri kitab-kitab yang belum pernah dipelajari. Kelemahan metodologis ini juga menyebabkan masa
belajar yang ditempuh santri menjadi lebih lama.
Dalam melakukan usaha-usaha transformatif-antisipatoris terhadap sistem pendidikan yang
dijalankan, pesantren perlu mempertimbangkan aspek-aspek substansial. Di antaranya, selayaknya
santri tidak hanya diposisikan sebagai subyek pasif, tetapi harus diperlakukan sebagai subyek yang
aktif-kritis. Di samping itu, salah satu jalan yang bisa dilakukan guna mendorong kreativitas santri
adalah dengan membudayakan tradisi membaca dan menulis. Dengan ini diharapkan mereka menjadi
individu yang dinamis dan responsif terhadap dinamika perubahan sosial, budaya dan politik, tanpa
kehilangan prinsip-prinsip keagamaan sebagai pegangan hidup.
SUMBER TERKAIT :
NIHAYATUL WAFIROH
Editor majalah Iftitah PPP Darussalam Banyuwangi dan alumnus PPP
Al Fathimiyyah Tambakberas Jombang
o v x y z www.smu-net.com ... Portal Pendidikan SMUnet
------------------------------------------------------------------------------------
bagi umat Islam. Di tengah arus globalisasi, individualisme, dan pola hidup materialistik yang kian
mengental, pesantren masih konsisten menyuguhkan kitab kuning dan sistem pendidikan yang oleh
sebagian orang dianggap tradisional. Pengajaran kitab-kitab kuning (klasik) adalah salah satu elemen
dasar dari tradisi pesantren di samping kiai, pondok, masjid, dan santri.
Doktrin-doktrin dalam kitab kuning, yang senantiasa merujuk Al Quran dan Sunah Nabi sebagai
sumber utama, merupakan salah satu roh yang menjiwai kehidupan pesantren. Seluruh sisi kehidupan
pesantren bersifat religius-teosentris, sehingga semua aktivitas pendidikan dipandang sebagai ibadah
an sich kepada Tuhan. Aktivitas belajar, misalnya, bukan hanya diposisikan sebagai media (alat), tetapi
sekaligus sebagai tujuan. Karena itu, proses belajar-mengajar di pesantren sering kali tidak mengalami
dinamika dan tidak memperhitungkan waktu, strategi, dan metode yang lebih kontekstual dengan
perkembangan zaman.
Padahal, seiring pergeseran zaman, santri membutuhkan formalitas-sebutlah seperti ijazah serta
penguasaan bidang keahlian (keterampilan) tertentu-yang dapat mengantarkannya agar mampu
menjalani kehidupan. Di era modern santri tidak cukup hanya berbekal nilai dan norma moral saja,
tetapi perlu pula dilengkapi dengan keahlian dan skills yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja
modern.
Berkaitan dengan hal tersebut, pada dekade terakhir sebagian kaum santri memperlihatkan
kecenderungan untuk mempelajari sains dan teknologi di lembaga-lembaga pendidikan formal di luar
pesantren. Namun, pada saat yang sama mereka juga enggan meninggalkan pesantren sebagai
wahana untuk mendalami agama dan memperteguh nilai-nilai moral. Gejala ini menyiratkan adanya
kegelisahan sebagian kaum santri dalam merespons tuntutan modernisasi yang tak mungkin dielakkan.
Kenyataan di atas seharusnya dapat melecut mereka yang berkompeten dalam pengembangan
pesantren agar melakukan langkah-langkah transformatif, bila pesantren akan dijadikan sebagai
institusi pendidikan yang menjanjikan pada era modern. Kini saatnya bagi pesantren untuk melakukan
reorientasi tata nilai dan tata operasional pendidikannya, agar lebih relevan dengan dinamika
kemodernan, tanpa meninggalkan nilai-nilai tradisional yang telah lama mengakar kuat di pesantren.
uuu
DI antara sekian persoalan dalam sistem pendidikan pesantren, masalah metodologi belajar-mengajar,
visi dan kerangka dasar kurikulum pendidikan sangat penting untuk dikaji ulang dan disempurnakan.
Misalnya, fokus utama metode halaqah sebagai metode bersama antarsantri untuk memahami ajaran
kiai (ustad) dan isi kitab, selama ini masih mengacu pada pertanyaan dari sisi ''apa'' dan guna
''memiliki'' ilmu-ilmu yang diajarkan kepada santri. Dalam praktiknya, metode ini lebih menekankan cara
menghafal tanpa disertai sikap kritis.
Metode halaqah perlu ditingkatkan menjadi forum dialog. Melalui dialog akan berkembang bukan saja
pertanyaan dari segi ''apa'' dan ''memiliki'', tapi juga pertanyaan dan pemahaman tentang ''mengapa''
dan ''bagaimana'' perspektif atau perkembangan ilmu-ilmu tersebut di masa mendatang. Dengan begitu
santri akan memandang ilmu bukan hanya sebagai sesuatu yang harus dimiliki sebagaimana adanya,
tetapi juga memaknainya sebagai sesuatu yang harus dikembangkan, sekaligus sebagai sarana untuk
mengembangkan kepribadian intelektualnya.
Masih berkenaan dengan metode belajar-mengajar, yang tak kalah penting adalah mengenai masa
belajar di pesantren yang relatif panjang. Padahal, prinsip masyarakat modern cenderung
praktis-pragmatis. Prinsip ini tidak hanya berlaku di sektor ekonomi saja, tetapi juga mulai merambah
dunia pendidikan. Masalah ini akan dapat diatasi kalau pesantren mampu melakukan transformasi
terhadap metode belajar-mengajar, kerangka dasar kurikulum, dan visi pendidikannya.
Di banyak pesantren tradisional, pengajaran kitab-kitab kuning berbahasa Arab, baik secara
''bandongan'' dan ''sorogan'', memiliki kelemahan metodologis yang memprihatinkan, karena para
santri tidak dibekali terlebih dahulu dengan keterampilan berbahasa Arab yang memadai. Akibatnya,
santri hanya mampu menguasai kitab yang pernah diajarkan saja, serta lemah dalam mengkaji secara
mandiri kitab-kitab yang belum pernah dipelajari. Kelemahan metodologis ini juga menyebabkan masa
belajar yang ditempuh santri menjadi lebih lama.
Dalam melakukan usaha-usaha transformatif-antisipatoris terhadap sistem pendidikan yang
dijalankan, pesantren perlu mempertimbangkan aspek-aspek substansial. Di antaranya, selayaknya
santri tidak hanya diposisikan sebagai subyek pasif, tetapi harus diperlakukan sebagai subyek yang
aktif-kritis. Di samping itu, salah satu jalan yang bisa dilakukan guna mendorong kreativitas santri
adalah dengan membudayakan tradisi membaca dan menulis. Dengan ini diharapkan mereka menjadi
individu yang dinamis dan responsif terhadap dinamika perubahan sosial, budaya dan politik, tanpa
kehilangan prinsip-prinsip keagamaan sebagai pegangan hidup.
SUMBER TERKAIT :
NIHAYATUL WAFIROH
Editor majalah Iftitah PPP Darussalam Banyuwangi dan alumnus PPP
Al Fathimiyyah Tambakberas Jombang
o v x y z www.smu-net.com ... Portal Pendidikan SMUnet
------------------------------------------------------------------------------------
Komentar
Posting Komentar